Di perbatasan terlihat banyak petugas, baik yang berasal dari Polri, TNI AD dan TNI AL. Sebenarnya aku ingin menyeberang ke Tawau, tapi apa daya, karena adanya pandemi ini, sehingga perbatasan ditutup.
Di Sebatik, transaksi jual beli dapat dilakukan dengan menggunakan rupiah dan ringgit. Aku sempat membeli mie instan lima bungkus seharga tujuh ringgit, jika dirupiahkan Rp.20.000,-. Saat mengunjungi pasar pagi, aku mendengar dialek yang sangat aku kenal, bahkan  aku bisa mengucapkannya. Para pedagang menggunakan dialek Bugis. Ternyata di Pulau Sebatik banyak perantau Bugis. Dari hasil cerita dengan Ima, perantau Bugis banyak bermukim di Kalimantan, tersebar di mana-mana. Ada yang bergiat di sektor bisnis, bahkan ada yang menjadi kepala daerah.Â
Sebuah pertanyaan menggeliat di benakku, kenapa orang Bugis selalu ada? Ima tidak memberiku jawaban, mungkin pertanyaan ini akan aku ajukan ke seniorku ketika aku di Tanjung Selor. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Dr. Saharuddin, seorang akademisi senior IPB University menyebutkan alasan-alasan dari para perantau itu antara lain yakni adanya masalah keamanan pada masa terjadinya pergolakan DI/TII. Mereka dicurigai oleh tentara sebagai bagian dari penyokong gerakan tersebut atau sebaliknya dianggap bagian dari sekutu ‘Tentara Jawa’.  Tentu saja masih terdapat alasan lain, yakni pertautan historis di masa-masa kerajaan Bugis maupun alasan mencari penghidupan yang lebih baik secara ekonomi.Â
Aku sempat melihat pengembangan usaha produk hasil perikanan di daerah Sebatik Tengah. Hasil perikanan misalnya ikan dan cumi kering, yang langsung dijual ke pengumpul.Â
Esoknya, aku kembali ke Tarakan, berganti speedboat menuju Tanjung Selor, yang merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Utara.Â
Tiba di Tanjung Selor aku berkeinginan untuk lanjut ke Tanjung Redeb, tapi apa boleh buat karena terikat janji dengan Bang Tiang dan Uchy. Kembali pertanyaan itu kuajukan ke Bang Tiang, mengapa perantau Bugis itu ada di mana-mana?Â
Menurut Bang Tiang, mereka sangat mudah diterima karena ada keterikatan sejarah. Etos kerja orang Bugis sangatlah hebat. Yang aku tahu perantau Bugis memiliki semangat rantau yang membuat mereka untuk tahan banting. Sehingga dapat memenangkan area tarung di berbagai bidang.
Selasa, pukul 11.00 WITA, kumulai petualangan yang sesungguhnya. Dengan menumpang bus Damri, mulai meninggalkan Tanjung Selor. Dari Tanjung Selor tujuan menuju Tanjung Redeb atau yang lebih dikenal Berau. Hujan menemani perjalananku.Â
Di sini jalanan banyak yang berlubang, sehingga seluruh penumpang selalu terguncang-guncang, tapi gangguan itu, tetap tak bisa mengusik tidurku. Aku masih bisa terlelap seperti bayi dalam ayunan. Â Sepanjang perjalananku, terlihat buah rambutan bergelantungan dan begitu juga durian. Berharap tiba di Berau, aku bisa menikmati salah satunya. Mendapatkan keduanya, tentu itu harapan utama.
Pukul 14.23 WITA tiba di Berau. Yuniorku Rahmadi di Kelautan Unhas (08) yang berbaik hati menjemputku di terminal. Langsung saja aku mengajaknya makan siang, naga dalam perut sudah meronta-ronta. Di Berau, tetap bertemu lagi dengan perantau Bugis. Berdasarkan hasil googling, tahun 1810 terjadi konflik internal di Kerajaan Berau. Raja kemudian memindahkan kerajaan ke kampung Bugis.Â
Tindakan itu merupakan sebuah strategi untuk mendapatkan dukungan perantau Bugis. Sepertinya raja tak puas dengan dukungan tersebut, sehingga raja menikahi putri Raja Wajo di tanah Bugis. Dan bisa ditebak, dengan pernikahan tersebut, lengkaplah dukungan untuk mengembangkan perkampungan itu menjadi satu kerajaan, yang pada akhirnya melawan Belanda.