Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Buton: Dari Aspal, Air Terjun, Parende Hingga Naga Bau-Bau

20 Juli 2021   00:13 Diperbarui: 20 Juli 2021   08:35 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mesjid Keraton Buton (dok. pribadi)

Kejayaan Aspal Buton 

Kedatanganku kali ini di Pulau Buton karena alasan pekerjaan. Aku ingat, tahun 2006 itu bersama teman-temanku, Chia, Adry. Samrul, Ammank, Ari, Abe dan Munhsir menginjak pulau penghasil aspal ini, karena ada kegiatan kampus yakni Ekspedisi Hoga. Kali ini tujuanku menuju Desa Banabungi Kecamatan Pasarwajo. Pukul 07.10 WITA tiba di Bandara Betoambari Kota Bau-Bau. Sebelum menuju kabupaten tersebut, aku sarapan dulu menikmati semangkuk coto makassar dengan satu buah ketupat. Lumayan mengisi lambung tengah dulu. 

Dari Kota Bau-Bau perjalanan menuju Kabupaten Buton ditempuh sekitar satu jam. Dalam perjalanan aku sempat tertidur. Lelah yang harus disembunyikan dengan mengatupkan mata.  Sebelum kelopak tertutup, lamat-lamat masih sempat melihat pemandangan bukit sabana yang ditumbuhi alang-alang. Tanpa 'aiueo', aku langsung bertanya nama bukit ini. Supir langsung menjawab, "ini Bukit teletubbies." Dalam hati aku berkata, "pasti aku akan ke sini". Memasuki Kecamatan Pasarwajo, aku dihadapkan dengan Tugu Aspal dan Tugu Nanas di dekat BNI. Pemandangan pertama  yang terlihat di kala terbangun. 

Ingatanku kembali saat duduk di bangku sekolah dasar. Dalam buku RPUL, disebutkan Buton adalah pulau penghasil aspal. Berdasarkan hasil pengamatan dan indepth interview di Kabupaten tersebut, terdapat berapa Ijin Usaha Pertambangan (IUP), baik yang berlokasi di Kabungka Kecamatan Pasarwajo dan satu lagi di Lawele Kecamatan Lasalimu.

Dari hasil cerita-cerita, perusahaan aspal ini pernah berjaya sekitar 1970-an. Banyak kapal-kapal yang hilir mudik di salah satu pelabuhan perusahan di Desa Banabungi, bahkan karyawan bisa menerima gaji sebulan, empat sampai lima kali. Kala itu Pasarwajo merupakan skawasan yang ramai. Masyarakat Bau-Bau jika sakit, maka akan berobat di Pasarwajo, tepatnya di rumah sakit perusahaan tersebut. Tenaga medis dan fasilitasnya yang lengkap. Bukan hanya dalam pengobatan, tapi juga hiburan gratis. Jika tahun baru perusahaan akan mendatangkan artis ibukota.

Tahun 1995, Presiden Soeharto pernah mengunjungi perusahaan aspal ini. Ia menginap di salah satu rumah di dalam kompleks permukiman perusahaan. Sekarang, rumah tersebut nampak tidak terawat. Rumah yang seharusnya dilestarikan sebagai bagian dari kejayaan aspal buton, kini terabaikan. Selain itu, terdapat ironi besar di sini. Meskipun pulau penghasil aspal, tetapi infrastruktur seperti jalan menuju salah satu tambang aspal di Kabungka, justru luar biasa yakni rusak parah. Sekarang, aspal bongkahan hanya bisa dijual setahun dua kali. Mungkinkah karena kurang promosi atau adanya persaingan dengan aspal minyak, entahlah.

Jalanan di Kabungka (dok. pribadi)
Jalanan di Kabungka (dok. pribadi)

Air Terjun Hingga Parende

Dari tambang aspal yang tak lagi menjadi raja di jalanan Buton, aku penasaran dengan wisata yang ada di pulau ini. Baik kita mulai mengeksplorasi tempat wisata di Pasarwajo. Ada beberapa air terjun di Kecamatan Pasarwajo. Aku memulai dari Desa Winning, di sini terdapat air terjun Wabalamba. Untuk mencapai air terjun ini, harus melewati area tambang aspal. Jarak dari pintu gerbang perusahaan ke air terjun sekitar enam kilometer.  Selain air terjun Wabalamba, ada juga air terjun yang terletak di Kaongke-ongkea.

Air Terjun Kaongke-Ongkea (dok. pribadi)
Air Terjun Kaongke-Ongkea (dok. pribadi)

Dari area air tawar, aku menuju kawasan yang pasti terasa asin. Aku tak melewatkan ajakan seorang kawan untuk menyelami keindahan bawah laut Pulau Buton. Ada dua tempat yang aku selami, di belakang Puskesmas Pasarwajo dan di Wabulo Kabupaten Buton. Lokasi penyelaman pertama di belakang puskesmas tersebut di kedalaman 12-17 meter. Di sini terdapat gua, spot dinding yang overhang karang, topografi karang dan berbagai jenis ikan. Karang didominasi oleh acropora. Acropora merupakan genus kecil karang polip berbatu di filum Cnidaria. Tergantung pada spesies dan lokasi, spesies Acropora yang aku lihat tumbuh seperti meja sehingga orang-orang menyebutnya karang meja.

Diving di Pasarwajo (dok. K' Diar)
Diving di Pasarwajo (dok. K' Diar)

Sedangkan lokasi di Wabula, aku menyelam di kedalaman 9-11 meter. Aku melihat lobster, beberapa bintang laut, berbagai jenis ikan karang, dan karang yang didominasi karang masive. Hamparan terumbu karang dengan ikan-ikan adalah pemandangan yang tak terbayangkan bagi yang belum mengalaminya secara langsung. Hampir tak bisa ditemukan padanan keindahannya di daratan. Yang unik adalah lokasi penyelaman di Wabula, yang dikelola dengan sistem Nambo. Dengan sistem ini, masyarakat lokal yang terlibat langsung untuk mengelola dan melindungi keindahan bawah air ini. Pokoknya, sebelum menyelam harus mendapat ijin dari tetua adat.

Diving di Wabula (dok. pribadi)
Diving di Wabula (dok. pribadi)
Setelah mengunjungi air terjun dan menyelam, saatnya menikmati kuliner khas Buton. Di Pasarwajo, seorang kawan menyarankan, "jika ingin menikmati parende, cobalah ke rumah makan Wangi-Wangi harga seporsinya Rp. 30.000." Dengan harga itu dan bayangan tentang kegurihannya, aku tak perlu lagi mengecek ketebalannya isi dompetku. Untuk harga seperti itu, sama sekali tidak perlu memperlihatkan uang merah bergambar dua sosok Bapak Proklamator. Cukup dengan dengan selembar uang berwarna hijau bergambar Sam Ratulangi ditambah seorang pahlawan lagi, Frans Kaisepo  .

Rumah makan ini terletak di Kelurahan Saragi.  Jika diperhatikan secara seksama, warung ini tidak terlalu besar, mirip rumah tinggal yang dialihfungsikan menjadi rumah makan. Kata seorang kawan, pemilik rumah makan ini dulu bekerja di perusahaan aspal, sebelum memasuki masa pensiun, ia membuka rumah makan ini. Di rumah makan ini, tidak akan ada pelayan atau pemilik warung yang akan mengajukan pertanyaan, "anda akan pesan apa?"  Sehingga tentu saja membuatku langsung masuk ke ruang dekat TV, kemudian memesan parende. Selain parende, terdapat pilihan menu lainnya yang serasa tidak membuatku jauh dari Makassar, yakni coto makassar (hanya daging saja tanpa isi dalam seperti hati, jantung dan limpa ), ayam parende, ayam goreng, konro, dan kikil.

 

Ikan Parende di RM Wangi-Wangi (dok. pribadi)
Ikan Parende di RM Wangi-Wangi (dok. pribadi)
Rasanya aku mau menggambarkan rasa dari semangkok parende ini, tapi kupikir lain kali saja. Yang pasti bila seseorang memiliki uang enam puluh ribu rupiah dan masih punya lambung cadangan, pasti akan memesan semangkok lagi. Aku sendiri tidak menambah, karena ini masalah lambung yang cadangannya harus kukosongkan saja dulu. Entar ngantuk dan tidak bisa berwisata ke area lain yang akan menjadi bahan tulisan.

Benteng Batu Kapur

Sekarang berpindah ke Kota Bau-Bau. Mari kita mulai dari benteng keraton Buton. Benteng Keraton Buton itu sudah pastilah merupakan bekas Ibukota Kesultanan Buton. Bangunan ini memiliki bentuk arsitek yang unik. Keunikan terletak pada area yang dilindunginya. Benteng ini mempertahankan wilayah satu pulau. Benteng yang mengitari area 23.375 Ha ini disebut sebagai bangunan pertahanan terluas di dunia.

Benteng keraton ini terbuat dari kapur. Kata beberapa orang, susunan batunya dikuatkan menggunakan putih telur sebagai perekatnya. Tapi, aku pernah baca dan dengar cerita-cerita beberapa orang, justru memberikan informasi berbeda. Menurut versi lain itu yakni batuan kapur yang menyusun benteng tersebut merekat secara alami karena terkena hujan dan panas selama bertahun-tahun. Sejujurnya, aku masih sulit untuk mempercayai keduanya. Karena, hingga aku menulis cerita perjalanan ini belum ada penelitian ilmiah yang dapat membenarkan salah satu di antaranya. Setidaknya aku belum sempat menemukan publikasi ilmiah tentang hal tersebut. 

Aku tak ingin melihat sekilas saja, lalu kuputuskan mengelilinginya. Dari hasil pemantauan dari jarak dekat, terlihat benteng ini bisa dimasuki dari 12 pintu gerbang yang disebut lawa.

Sebagai perbandingan di Bahasa Makassar terdapat satu kata serupa, yang maknanya bisa berarti pembatas, penghalang, pelindung, atau penyekat. Orang atau benda yang digunakan untuk melindungi atau menyekat di sebut pallawa. Saya tak tahu persis, apakah itu merupakan bahasa serapan dari Buton atau sebaliknya. Oh ya, ada lagi istilah serupa dalam Bahasa Bugis yakni pallawa lipu, pelindung dari segala masalah. Frase tersebut dipakai sebagai motto Pataka Polda Sulsel.

Benteng ini juga memiliki senjata pertahanan kaliber besar berupa adanya 16 meriam yang disebut baluara. Jika dilihat dari letaknya yakni di puncak bukit maka sudah pasti berfungsi sebagai meriam-meriam tersebut sebagai pusat pertahanan. Penempatan meriam seperti ini seperti halnya benteng yang ada di Tidore yakni Benteng Tahula dan Benteng Torre. Bila saja pada hari tertentu, meriam-meriam itu diledakkan menuju target yang diskenariokan sebagai musuh, tentu rasa perlindungan pada benteng ini akan terasa semakin kuat.

Memasuki benteng Kesultanan Buton, selanjutnya akan ditemui Batu Wolio, Batu Popaua, masjid, tiang bendera, makan Sultan Murhum, Istana Badia, dan meriam kuno. Dari papan informasi, terbaca bahwa batu wolio yang berwarna gelap itu berukuran tinggi sekitar 1.40 meter dengan lingkar keliling antara 0.5 hingga 1 meter. Menurut tradisi Buton, menyebutkan bahwa di sinilah, Wakaaka, sosok perempuan yang pertama kali ditemukan bersamaan dengan kehadiran kelompok Mia Patamiana. Wakaaka inilah yang kemudian dinobatkan sebagai raja/ratu pertama.  Penobatan itu dilakukan setelah mendapat restu dari menteri Pataliombona yaitu Baluwu, Peropa, Barangkatopa, dan Gundugundu.

Batu wolio biasa juga disebut batu yi gandangi, karena tempat tersebut ditabukan gendang menjelang pelantikan raja, ratu, atau sultan. Di samping sebagai tempat pengambilan tirta untuk dijadikan air mandi setiap calon raja atau sultan, maka batu wolio hingga saat ini masih tetap disakralkan oleh masyarakat Buton. Batu itu dianggap sebagai simbol kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Sedemikian melegendanya, bahkan para pengunjung atau pendatang dari luar daerah dianggap belum tiba di negeri Buton, sebelum memegang batu wolio ini.

Akh, mitos batu itu teramat sulit dipercaya.  Aku sendiri sampai saat ini belum memegang batu ini. Bagaimana caranya bisa memegang batu ini. Letak batu ini dipagari, sepertinya untuk mencegah vandalisme. Meski ada kemungkinan dianggap belum tiba di Buton, gegara batu yang dipagari itu, tapi tentu saya tidak sendiri. Selama pagar itu masih ada, mitos itu terkunci bersama legendanya.

Nah, masih berurusan dengan batu yang disakralkan, di sini terdapat popaua. Benda itu merupakan batu alam yang mempunyai lubang dan dikeramatkan karena dijadikan sebagai tempat pengambilan sumpah para raja atau Sultan Buton. Disebut juga batu popaua, karena di atas batu ini raja atau sultan akan memasukkan kaki kiri dan kaki kanan secara bergantian. Lalu diputarkan payung kebesaran kerajaan di atas kepala raja atau sultan ketika hendak diucapkan sumpah jabatan oleh seorang dari dewan Siolimbona atau anggota legislatif dewan adat.

Di dalam area kompleks utama Benteng Keraton Buton, terdapat Mesjid Keraton Buton. Alhamdulillah, aku pernah masuk, kemudian melaksanakan salat di masjid ini. Menurut kabar warga setempat, masjid ini dulu menjadi pusat pertahanan orang Buton. Pusat kekuatan orang Buton pada rumah ibadah tersebut. Saya tak tahu pasti, apakah ada yang pernah mengusik jamaah dan imam salat, langsung hingga ke dalam masjid, sebagaimana yang kini marak terjadi. Entah hukuman apa yang akan diterima pengganggu kemakmuran masjid, bila ada yang melakukannya di Mesjid Keraton Buton.

Mesjid Keraton Buton (dok. pribadi)
Mesjid Keraton Buton (dok. pribadi)

Sampai saat ini, keseluruhan area masjid masih menyimpan banyak sekali misteri yang mungkin suatu saat bisa kupaparkan.  Nah, di depan Masjid Keraton Buton terdapat sebuah tiang bendera yang sudah berusia sekitar 300 tahun, bahkan lebih. Nah, tiang bendera ini pun memiliki cerita misteri. Tidak sekarang kuceritakan misteri tambahan itu, karena masih ada sedikit bagian lain yang patut kugambarkan seperlunya.

Sore hari, menuju puncak bukit. Berada di puncak bukit, aku tentu saja tidak melewatkan menikmati pemandangan alam yang tersajikan, sungguh elok. Dari sini, nampaklah kapal hilir mudik melewati celah sempit antara Pulau Buton dan Pulau Muna. Matahari mulai meninggalkan peraduannya, ketika bagian akhir pulau itu tuntas kujelajahi.

Esok hari melanjutkan perjalanan di kota Bau-Bau. Aku mengunjungi kampung warna-warni di daerah Topa Sula'. Pernah dengar kampung warna-warni yang ada di Jodipan, Malang? Seperti halnya di Malang, kampung warna-warni di Topa ini disponsori oleh salah satu perusahaan cat yakni Pacific Paint. Nah, di kampung ini juga disebut kampung tenun.  Di kampung ini penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan untuk kaum lelaki sedangkan wanita menjadi penenun. Aku teringat, hari itu bersama kawanku Charles. Kami berdua mencari kain tenun, harganya berkisar Rp. 200.000,- hingga Rp. 1.500.000,- tergantung coraknya. Untuk pembuatan kain tenun memakan waktu sekitar dua pekan, itu pun tergantung pilihan corak dan tingkat kesulitan.

Saat kunjunganku, kampung ini sunyi. Aku tak tahu pasti, ke mana saja warga sehingga hanya sedikit yang terlihat berlalu-lalang. Mungkin, karena kedatanganku siang hari, maka paduan warna di kampung ini terlihat eksotik, apalagi pemukiman mereka didominasi rumah panggung. Sebagai kampung nelayan tentu saja memiliki dermaga atau pelabuhan Topa. Dari sini aku menyeberang menuju Pulau Siompu, Pulau Ular dan Pulau Kadatua dengan menggunakan katinting.  Biaya Rp. 10.000,- per orang. Durasi perjalanan sekitar 45  menit.

Perjalanan menuju Pulau Siompu, aku dihadapkan oleh birunya langit dan atraksi lumba-lumba. Tentu berbeda rasanya ketika melihat mamalia laut yang cerdas itu di kolam sempit daripada di perairan luas. "Ah, pemandangan lumba-lumba di perairan memang lebih indah daripada melihat sirkus lumba-lumba." Tiba di Siompu, air laut sedang surut. Di pinggir pantai terlihat banyak warga masyarakat, baik itu mamak-mamak dan anak-anak mencari cacing laut. Cacing laut ini mereka kumpulkan untuk dikonsumsi sendiri. Setelah aku merasa cukup puas, aku pun bermain ke laut, snorkling lebih tepatnya. Dari sekian banyak ikan, aku menyaksikan empat ekor nemo. Di sini tentu lebih indah daripada menyaksikannya di film animasi.

Pulau Ular

Dari Pulau Siompu, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Ular. Dalam hati, aku berucap, "Pulau Ular, tidak asing bagiku." Bagaimana tidak, pada 2015, saat aku berada di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara, aku juga mengunjungi Pulau Ular. Nah di pulau Ular itu memang banyak ditemukan ular. Apakah di pulau dengan nama yang serupa di Pulau Buton banyak juga ular? Entahlah, aku masih penasaran. Aku sempat cerita-cerita dengan seorang bapak yang mengemudikan katinting dan mengajukan pertanyaan, "apakah di Pulau Ular itu banyak terdapat ular?" Jawabannya yang menggelikan, membuatku ingin tertawa, tetapi aku tahan. Ketika ia mulai serius, ia justru memastikan tidak ada ular di sana. "Terus mengapa diberikan nama Pulau Ular?" Dia memberikan jawaban, "nggak tau." Bila lelaki ditanya tentang ular, kalau bercanda, pasti jawabannya tak berbeda ketika memberikan tanggapan tentang buaya. Sama-sama tidak menggambarkan dua binatang itu sama sekali.

Tiba di pantai, aku disuguhkan pasir putih. Seperti halnya daerah pesisir pantai lainnya. menuju daratannya akan tampak pohon nyiur melambai yang berjejer rapi di pinggir pantai. Oh ya, dermaga pulau Ular ini sudah rusak dan saat itu yang tersisa hanya puing-puingnya saja. "Untungnya dermaga ini nggak menjadi butiran debu, seperti ular yang tak pernah ada itu." Gumamku. 

Di Pulau Ular, aku bertemu dengan satu keluarga yang sedang berkemah. Aku juga sempat mengitari wilayah pantai. Sayangnya, keindahan pulai ini dirusak oleh sampah yang banyak aku temukan di sepanjang perjalananku. Apakah aku juga menemukan ular? Tidak ada satu ekor pun, bahkan tidak pula bayangan atau gerakan tertentu yang bisa kuanggap sebagai kehadiran ular.

Pulau Ular (dok. pribadi)
Pulau Ular (dok. pribadi)
Wilayah pantai ini, sepertinya dikotori dengan sampah-sampah ini berasal dari pengunjung yang tidak membawa pulang lagi sisa-sisa pembungkus makanan mereka. Pemandangan di sini, diimbuhi dengan pantai pasir putih dengan air bening, lalu dilengkapi karpet alam berupa padang savana dan pemandangan sang mentari jingga. Bila sempat ke sini, kusarankan jangan pulang dulu, hingga mentari turun ke peraduannya. Dalam hati aku bergumam, "andai saja pemerintah daerah "sedikit fokus' dalam pengelolaan ini, maka tentu saja akan menjadi destinasi andalan, sehingga pada akhirnya mendatangkan pendapatan asli dari objek wisata." Itu hanya mengandai-mengandai, tapi mungkin belum terpikirkan oleh mereka.

Naga Bau-Bau

Ikon kota Bau-Bau berupa patung kepala naga yang terletak di Pantai Kamali, sedangkan ekor naga terletak di daerah Palagimata. Di kantor lama Bupati Buton terdapat patung naga di atap gedung, bahkan di dalam gedung tersebut juga terlihat lukisan naga. Selain di tempat pemerintahan, bahkan beberapa rumah panggung di Pasarwajo juga terpasang ukiran atau patung naga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa teman, menurutnya keberadaan makhluk mitologi tersebut merupakan simbol hubungan persahabatan dan perdagangan yang sudah terjalin sejak lama antara pihak Kesultanan Buton dengan bangsa Cina. Laksamana Dungku Changia dalam catatan sejarah Kerajaan Buton masa lalu disebut sebagai petinggi armada lau asal Cina yang memiliki andil dalam membangun hubungan persahabatan dan meluaskan perekonomian rakyat melalui perdagangan di masa-masa kerajaan. Jadi kalau sekarang ada pepatah yang bermakna sarkasme berupa, "naga sedang membelit garuda,"---yang menunjukkan kepatuhan atau kekalahan negara terhadap para pemodal dari negara Cina atau taipan dalam negeri---maka khusus di Buton, tidaklah demikian. 

Tapi jika urusan perdagangan dengan negeri Cina dijadikan dalih historis untuk membuat patung, lukisan dan ukiran naga, maka hal demikian tidak terjadi di Makassar. Meskipun perekonomian Makassar dikuasai oleh etnis Cina sekarang ini. Bahkan dalam sejarah perdagangan teripang juga tersambung dengan pedagang dari kekaisaran Cina. Sejarah masa jaya pelaut Makassar yang mengambil teripang dari Australia, hingga dijual ke pedagang Cina masih terjadi menjelang Revolusi Cina 1911-1912*.  Meski demikian aspek historisnya, tak terlihat rumah-rumah warga Makassar dihiasi dengan motif naga. Malah di Makassar kalau seseorang tubuhnya apek dan tercium aroma tidak mengenakkan, maka disebut dengan ungkapan, 'berbau naga'. Naga bagi mereka, makhluk yang berbau.

Patung Kepala Naga (dok. pribadi)
Patung Kepala Naga (dok. pribadi)

Menutup perjalananku, wisata kuliner tak kuabaikan. Aku menyantap ikan parende. Atas ajakan kawanku, Inrasari, bersama Firman menikmati parende di warung Mama Ardan di Pasar Wameo. Warungnya sederhana, berdinding gamacca. Dalam bahasa Makassar, gamacca merupakan dinding yang dibuat dari anyaman bambu. Meskipun sederhana, tanpa banyak polesan aksesoris, jangan salah, di luar banyak antrian. Menurut Inrasari, warung Mama Ardan cukup populer di kalangan penikmat parende. 

Masuk ke dalam warung, ramai. Maklumlah kedatangan kami di jam makan siang. Inrasari lah yang memesan. "Tiga porsi parende dan tiga piring nasi, lomboknya ulek yah," katanya. Pelayan di warung makan ini tampak akrab dengan Inrasari, sepertinya sahabatku itu pelanggan tetapnya. Ketika pesanan kami datang, dua buah kepala kakap merah untukku dan firman, sedangkan untuk Inrasari adalah bagian tengah hingga ekor ikan, nikmat sekali. Aku pun mulai paham alasan orang-orang menggemari makan di warung Mama Ardan, jaminan rasa yang menjadi magnetnya. 

Berdasarkan pengamatanku, sepertinya warung ini memiliki sejumlah daya tarik unggulan, misalnya, lokasinya dekat dengan laut sehingga ketika menyantap, terasa angin sepoi-sepoi. Kemudian ikan yang disajikan segar-segar. Sangatlah wajar, karena lokasinya di tepi laut. Aku langsung teringat salah satu lirik lagu yang dipopulerkan Anci Larinci, "enakna mamo biking lupa utanga. mandi karingat, basah tommi bajuta" (Makassar: alangkah enaknya, hingga utang dilupakan, bermandikan keringat, hingga basah baju). Nah, kondisi seperti ini, bila tubuh tak terjaga kebersihan kulitnya, juga ketiak tak diberi deodorant dan antiperspirant, maka berpeluang memunculkan 'bau naga'. Kami bertiga dan semua pelanggan warung di hari itu tak memunculkan naga dalam bentuk bebauan. 

* : Lebih lanjut tentang penangkapan dan perdagangan teripang ini bisa ditelusuri dalam Ostaf al Mustafa, Ekspedisi Pelayaran Akademis: Menapaktilasi Jalur Pencari Teripang Makassar-Australia, Penerbit Inninawa, cetakan pertama, September 2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun