Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Buton: Dari Aspal, Air Terjun, Parende Hingga Naga Bau-Bau

20 Juli 2021   00:13 Diperbarui: 20 Juli 2021   08:35 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai saat ini, keseluruhan area masjid masih menyimpan banyak sekali misteri yang mungkin suatu saat bisa kupaparkan.  Nah, di depan Masjid Keraton Buton terdapat sebuah tiang bendera yang sudah berusia sekitar 300 tahun, bahkan lebih. Nah, tiang bendera ini pun memiliki cerita misteri. Tidak sekarang kuceritakan misteri tambahan itu, karena masih ada sedikit bagian lain yang patut kugambarkan seperlunya.

Sore hari, menuju puncak bukit. Berada di puncak bukit, aku tentu saja tidak melewatkan menikmati pemandangan alam yang tersajikan, sungguh elok. Dari sini, nampaklah kapal hilir mudik melewati celah sempit antara Pulau Buton dan Pulau Muna. Matahari mulai meninggalkan peraduannya, ketika bagian akhir pulau itu tuntas kujelajahi.

Esok hari melanjutkan perjalanan di kota Bau-Bau. Aku mengunjungi kampung warna-warni di daerah Topa Sula'. Pernah dengar kampung warna-warni yang ada di Jodipan, Malang? Seperti halnya di Malang, kampung warna-warni di Topa ini disponsori oleh salah satu perusahaan cat yakni Pacific Paint. Nah, di kampung ini juga disebut kampung tenun.  Di kampung ini penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan untuk kaum lelaki sedangkan wanita menjadi penenun. Aku teringat, hari itu bersama kawanku Charles. Kami berdua mencari kain tenun, harganya berkisar Rp. 200.000,- hingga Rp. 1.500.000,- tergantung coraknya. Untuk pembuatan kain tenun memakan waktu sekitar dua pekan, itu pun tergantung pilihan corak dan tingkat kesulitan.

Saat kunjunganku, kampung ini sunyi. Aku tak tahu pasti, ke mana saja warga sehingga hanya sedikit yang terlihat berlalu-lalang. Mungkin, karena kedatanganku siang hari, maka paduan warna di kampung ini terlihat eksotik, apalagi pemukiman mereka didominasi rumah panggung. Sebagai kampung nelayan tentu saja memiliki dermaga atau pelabuhan Topa. Dari sini aku menyeberang menuju Pulau Siompu, Pulau Ular dan Pulau Kadatua dengan menggunakan katinting.  Biaya Rp. 10.000,- per orang. Durasi perjalanan sekitar 45  menit.

Perjalanan menuju Pulau Siompu, aku dihadapkan oleh birunya langit dan atraksi lumba-lumba. Tentu berbeda rasanya ketika melihat mamalia laut yang cerdas itu di kolam sempit daripada di perairan luas. "Ah, pemandangan lumba-lumba di perairan memang lebih indah daripada melihat sirkus lumba-lumba." Tiba di Siompu, air laut sedang surut. Di pinggir pantai terlihat banyak warga masyarakat, baik itu mamak-mamak dan anak-anak mencari cacing laut. Cacing laut ini mereka kumpulkan untuk dikonsumsi sendiri. Setelah aku merasa cukup puas, aku pun bermain ke laut, snorkling lebih tepatnya. Dari sekian banyak ikan, aku menyaksikan empat ekor nemo. Di sini tentu lebih indah daripada menyaksikannya di film animasi.

Pulau Ular

Dari Pulau Siompu, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Ular. Dalam hati, aku berucap, "Pulau Ular, tidak asing bagiku." Bagaimana tidak, pada 2015, saat aku berada di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara, aku juga mengunjungi Pulau Ular. Nah di pulau Ular itu memang banyak ditemukan ular. Apakah di pulau dengan nama yang serupa di Pulau Buton banyak juga ular? Entahlah, aku masih penasaran. Aku sempat cerita-cerita dengan seorang bapak yang mengemudikan katinting dan mengajukan pertanyaan, "apakah di Pulau Ular itu banyak terdapat ular?" Jawabannya yang menggelikan, membuatku ingin tertawa, tetapi aku tahan. Ketika ia mulai serius, ia justru memastikan tidak ada ular di sana. "Terus mengapa diberikan nama Pulau Ular?" Dia memberikan jawaban, "nggak tau." Bila lelaki ditanya tentang ular, kalau bercanda, pasti jawabannya tak berbeda ketika memberikan tanggapan tentang buaya. Sama-sama tidak menggambarkan dua binatang itu sama sekali.

Tiba di pantai, aku disuguhkan pasir putih. Seperti halnya daerah pesisir pantai lainnya. menuju daratannya akan tampak pohon nyiur melambai yang berjejer rapi di pinggir pantai. Oh ya, dermaga pulau Ular ini sudah rusak dan saat itu yang tersisa hanya puing-puingnya saja. "Untungnya dermaga ini nggak menjadi butiran debu, seperti ular yang tak pernah ada itu." Gumamku. 

Di Pulau Ular, aku bertemu dengan satu keluarga yang sedang berkemah. Aku juga sempat mengitari wilayah pantai. Sayangnya, keindahan pulai ini dirusak oleh sampah yang banyak aku temukan di sepanjang perjalananku. Apakah aku juga menemukan ular? Tidak ada satu ekor pun, bahkan tidak pula bayangan atau gerakan tertentu yang bisa kuanggap sebagai kehadiran ular.

Pulau Ular (dok. pribadi)
Pulau Ular (dok. pribadi)
Wilayah pantai ini, sepertinya dikotori dengan sampah-sampah ini berasal dari pengunjung yang tidak membawa pulang lagi sisa-sisa pembungkus makanan mereka. Pemandangan di sini, diimbuhi dengan pantai pasir putih dengan air bening, lalu dilengkapi karpet alam berupa padang savana dan pemandangan sang mentari jingga. Bila sempat ke sini, kusarankan jangan pulang dulu, hingga mentari turun ke peraduannya. Dalam hati aku bergumam, "andai saja pemerintah daerah "sedikit fokus' dalam pengelolaan ini, maka tentu saja akan menjadi destinasi andalan, sehingga pada akhirnya mendatangkan pendapatan asli dari objek wisata." Itu hanya mengandai-mengandai, tapi mungkin belum terpikirkan oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun