Kota ke tiga yang aku kunjungi dalam perjalanan #40HariKelilingAsiaTenggara adalah Melaka. Khusus Melaka, kak Rima Sylviana yang menganjurkanku. Menurut dia, Melaka merupakan kota yang banyak  sisi sejarah dan pasti aku akan menyukainya. Melaka sendiri terletak hampir di pertengahan antara Kualalumpur dan Singapura.
Senin, 15 Januari 2018, dari Singapura aku menggunakan Bus menuju Melaka lama perjalanan sekitar 3 jam. Hal ini juga tergantung macet di perjalanan, jika tak salah ingat jaraknya sekitar 238 KM.Â
Asli perjalanan ini sangat menyenangkan, nyaman karena kondisi bus dan driver yang ramah dan berpengalaman. Indah Permatasari kawanku yang bermukim di Singapura yang berbaik hati membelikanku tiket Bus. Harga tiket Bus SGD 16.
Perjalanan ini aku mulai dari Terminal Queen Street di kawasan Bugis Street. Tiba di terminal aku langsung menuju konter bis dan tentu saja harus antri. Â Keberangkatan pukul 07.00 (waktu Singapura) melewati imigrasi. Tiba di Melaka aku di turunkan di Melaka Sentral. Dari Melaka Sentral, aku tetap menggunakan bus kota menuju pusat kota dengan harga karcis RM 2.
Kesan pertama kali menginjakkan kaki kota ini masih asli, masih banyak bangunan bersejarah. Dari google aku mendapatkan informasi bahwa, tahun 2008 kota ini dinobatkan oleh UNESCO sebagai World Heritage City.
Street art ini terletak  di dekat Jonker Walk dan di sisi sungai. Ough iya di sisi sungai banyak sekali terdapat street art. Silahkan pilih untuk tempat berfoto. Berikut ini tempat-tempat yang aku kunjungi selama berada di Melaka.
Dari google, benteng ini pernah diambil alih oleh Belanda tahun 1641 dan Inggris di tahun 1795-1807. Nama A'Famousa yakni The Famous, tetapi menurut bapak yang ada di penginapan A'Fmousa diambil dari bentuk mulut gerbang yang menyerupai huruf A. Fungsi bangunan untuk mempertahankan kekuasaan kolonialnya.Â
Sejujurnya aku menyukai arsitektur bangunan-bangunan ini yang tentu saja memiliki nilai sejarah. Sampai saat ini A'Famousa merupakan seni bina Eropa yang tertua yang masih wujud di Asia Tenggara. Ada juga Porta de Santiago berupa gate house yang kecil dan masih teguh berdiri.
Museum ini merupakan replica kapal Portugis  yang tenggelam saat melakukan perjalanan ke Portugal. Replika kapal portugis ini memiliki tinggi sekitar 34 meter dan lebar 8 meter.Â
Masuk ke museum ini pengunjung diperlihatkan sejarah kelautan Malaka  dan masa keemasan Kesultanan Malaka sebagai Emporium Timur. Yang menarik museum ini adalah untuk masuk ke dalam museum pengunjung harus masuk lalu naik ke dalam kapal besar.
Di kemudian hari, kawasan ini akan dikembangkan menjadi sebuah kawasan pariwisata. Saat kunjunganku kawasan pulau Melaka ini masih sepi hanya terlihat pekerja proyek. Di masjid terapung aku melaksanakan sholat duhur.Â
Sejujurnya aku bukan anak arsitek, tetapi saat masuk ke dalam masjid ini arsitektur bangunannya sangatlah indah dan pemandangannya serta angin pinggir pantai. Setelah melaksanakan sholat duhur, aku sempatkan menggali informasi dari Jemaah. Tahun 2006, pembangunan masjid ini dimulai dan menempati lahan 1,8 Ha. Jika aku tak salah ingat masjid ini dapat menampung sekitar 2000 jemaah.
Untuk masuk ke menara ini harus membeli tiket seharga RM 23. Menara ini menara pandang setinggi 110 meter. Sayangnya saat itu menara ini sedang dalam perbaikan.Â
Akhirnya aku hanya duduk di taman dekat menara Taming sari sambil menanti sore, aku duduk bersama angin aku menceritakan seluruh mimpi dan rahasiaku tidak ada air mata hanya doa semoga semuanya terwujud.
 Yang berbeda dari masjid ini adalah tempat berwudhu. Tempat berwudhu seperti kolam renang  perkiraanku ukurannya 3 X 4m dengan tiang besi yang di tempa Moor, ada gayungnya juga. Masuk ke dalam arsitektur masjid ini seperti persilangan yang bergaya antara Sumatera, Melayu, Hindu dan Cina terdapat ukiran yang indah.Â
Pada ruang sholat ada lampu gantung yang bergaya Victoria dan mimbar terbuat dari kayu dengan ukiran yang bergaya Hindu dan Cina. Â Meskipun hari cuaca panas, tetapi masuk ke dalam masjid terasa sejuk sekali.Â
Karpet dalam masjid ini tebal dan lembut memberikan kenyamanan. Dari menara seperti pagoda. Alasan penamaan masjid Kling karena merupakan tempat pedagang  India di kampung Kling. Di depan masjid terdapat brosur-brosur dan bulletin tentang Islam.Â
Setelah aku cukup puas menikmati jonker walk aku menuju kincir air kesultanan Melaka. Kincir air ini terletak di dekat pusat informasi wisata Melaka. Kincir air ini terbuat dari kayu. Saat ini kincir air tersebut tidak berfungsi lagi hanya sebagai tempat berfoto saja.
Jika melihat sumur ini biasa aja, tetapi memiliki legenda yang cukup menarik. Bagi siapa saja yang meminum air dari sumur ini pasti akan kembali lagi ke Melaka. Ada juga versi lain yakni, siapa yang melempar koin ke dalam sumur, maka permohonannya akan terkabul, sayangnya aku tidak melakukan lempar koin.
Bagi aku, tiga hari di Malaka belumlah cukup menikmati wisata Melaka. Banyak hal yang menarik di kota ini, ketenangan dan kedamaian serta keindahan arsitektur bangunannya. Pengalaman di Melaka memberikan pemahaman bagaimana pemerintah daerah mengelola bangunan bersejarah sehingga menjadi sebuah pendapatan asli daerah. Seandainya kota Makassar dapat merawat dan mengelola bangunan bersejarahnya bukan sibuk menyusun kotak-kotak berupa RUKO yang sepertinya tidak terencana dengan baik. Mungkin saja, suatu saat kota Makassar perlu diberi penghargaan dalam bentuk rekor muri sebagai kota ruko terbanyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H