Mohon tunggu...
Irma Sabriany
Irma Sabriany Mohon Tunggu... Freelancer - Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Berani, mengagumkan, kekanak-kanakan, suka jalan-jalan, mandiri punya gaya ngomong yang sopan, lucu, cuek

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ternate, Benteng, Danau, Gunung Gamalama, Kebun Cengkeh, dan Kuliner

29 Mei 2018   06:49 Diperbarui: 29 Mei 2018   08:54 1351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papeda dan teman-temannya (dok.pribadi)

Karena aku tidak memiliki dana yang berlebih untuk jalan-jalan maka aku harus menyiasatinya dengan mencari pekerjaan yang bisa membawaku untuk melihat keindahan Indonesia.

Juni 2017, aku bersyukur mendapatkan pekerjaan di Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara. Artinya ini adalah jalan untuk meng-eksplore keindahan Propinsi Maluku Utara terutama ibukotanya yakni Ternate. Kota yang banyak terdapat benteng.

Pertengahan bulan Juni 2017, melalui Whatsapp (WA) aku menghubungi Sari Wahyuni temanku saat masih di SLTP. Sari Wahyuni atau yang biasa dipanggil Nona. "Non, untuk mengeksplore Kota Ternate butuh waktu berapa jam? Tempat-tempat yang ingin aku kunjungi, pastinya benteng, batu angus, gambar uang seribu, kebun cengkeh, danau yang terkenal itu". Begitulah isi pesanku kepada Nona. 

"Dua atau tiga jam saja", kata Nona. Singkat padat dan jelas.

" Ok, kamis tanggal 20 Juni 2017 aku ke Ternate, ketemu di Pelabuhan Mangga Dua dan Jumat 21 Juni 2017  kita eksplore Ternate, Bagaimana",? Kataku

"OK, kita jelajahi kota Ternate menggunakan sepeda motor", Kata Nona

Berdasarkan yang aku lihat bahwa Kota Ternate merupakan kota kecil  di jalur sempit sepanjang lebih dari 5 km antara lereng Gamalama dan lautan. Kota ini mengalami modernisasi. Mulai dari pelabuhan Ahmad Yani, bermunculan hotel-hotel, supermarket (Hypermart dan Jati Land serta terakhir  akan ada XXI) dan masjid serta Islamic Centre yang berukuran besar yang berdiri tepat di tepi pantai.

Jumat, 21 Juni 2017 pukul 09.00 WIT bersama Sari Wahyuni, perjalananku tuk mengeskplore Ternate dimulai. Tujuan pertamaku adalah benteng Kalamata. Masyarakat Ternate menyebut benteng Kalamata dengan nama Benteng Kayu Merah, alasannya karena terletak di Kelurahan Kayu Merah. Benteng Kalamata dibangun oleh Portugis yang digunakan sebagai tempat pertahanan dalam rangka perluasan kekuasaan di Ternate dan untuk menahan serangan Spanyol. Dari hasil googling, benteng ini pernah menjadi rebutan antara Inggris, Belanda dan Tidore.

Informasi yang aku dapatkan dari Sari Wahyuni, bahwa dahulu kala pembangunan Benteng Kalamata menggunakan bebatuan sungai, batu karang dan batu kapur. Dari benteng Kalamata, aku bisa menyaksikan Pulau Maitara dan Pulau Tidore. Benteng ini cukup bersih, aku melihat ada sebuah sumur ketika aku melihatnya ternyata telah seperti tempat sampah.

Benteng Kalamata (dok.pribadi)
Benteng Kalamata (dok.pribadi)
Dari benteng Kalamata, kami menuju Benteng Kastela. Benteng ini terletak di daerah yang jauh dari keramaian pusat kota, pastinya benteng Kastela ini sepi pengunjung. Tapi di benteng ini aku justru menikmati keindahan dari arstitekturnya. Benteng ini dibangun oleh Portugis. Waktu itu, aku masuk ke dalam kastil dan disambut dengan sebuah tugu sebagai ucapan selamat datang dengan patung cengkeh yang besar.

Masuk ke dalam, aku menemukan relief yang menceritakan pembunuhan Sultan Khaerun. Sultan Khaerun merupakan Sultan ternate yang ke-25. Dalam relief digambarkan Sultan Khaerun diundang untuk makan malam oleh Antonio Pimental atas perintah Gubernur Lopez de Mosquito. Peristiwa inilah yang memicu perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis. Yang tersisa dari benteng ini adalah reruntuhannya.

Benteng Kastela (dok.pribadi)
Benteng Kastela (dok.pribadi)
Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju kelurahan Sangaji, yakni ke benteng Tolokko. Benteng Tolokko terletak di dekat Mess Antam sekitar 500 meter. Untuk memasuki benteng ini, pengunjung membeli tiket seharga Rp. 5.000,-/orang. Dari benteng Tolokko aku melihat pemandangan lepas ke laut Maluku, pulau Tidore dan pesisir barat pulau Halmahera.

Hilir mudik kapal di laut sempit itu tak berpenghalang ke segala penjuru mata angin. Hampir sama dengan fungsi benteng Kalamata karena letaknya yang strategis dapat dipastikan benteng ini digunakan untuk memantau kedatangan kapal. Yang aku tau benteng ini dibangun oleh Panglima Portugis Serrao pada tahun 1540, benteng ini juga memiliki akses untuk mengerahkan pasukan ke pantai. Sari Wahyuni menambahkan, pada awalnya benteng ini memiliki terowongan di bawah tanah yang langsung menuju laut, tetapi tahun 1996  direnovasi dan dampaknya menghilangkan bentuk asli benteng ini. Sayang sekali.

Di benteng Tolokko, aku tiba-tiba terkenang tentang beberapa kejadian saat aku "tersesat" dalam arus liar pikiran. Aku merasakan beban hidup yang melelahkan aku bahkan selalu menangis sendirian. Semua yang aku rasakan, aku sungguh menikmatinya, semua yang Tuhan suguhkan kepadaku lewat kehidupan baik itu alam, pertemanan aku mensyukurinya.  Lamunanku buyar ketika Sari Wahyuni berkata "ayok jalan lagi".

Benteng Toloko (dok.pribadi)
Benteng Toloko (dok.pribadi)
Dari daerah Sangaji, kami menuju jalan Hasan Boesoeri di daerah Ternate Tengah. Tujuannya adalah Benteng Oranje. Benteng ini merupakan benteng peninggalan Belanda didirkan pada 26 Mei 1607 oleh Cornelis Matclief de Jonge sedangkan nama Fort Oranje diberikan oleh Francois Wiltlentt pada tahun 1609. Benteng ini pernah menjadi markas VOC di Hindia Belanda.Tahun 1619, Gubernur Jenderal jan Pieterszoon Coen memindahkan markas ke Batavia. Benteng ini dilengkapi dengan taman, air mancur dan lampu-lampu hias sehingga menjadikannya tampak cantik.

Benteng Oranje (dok.pribadi)
Benteng Oranje (dok.pribadi)
Berjarak sekitar 10 Km dari pusat Kota Ternate, Sari Wahyuni membawaku ke sebuah lokasi wisata  yang isinya bebatuan yang bertumpuk-tumpuk dan berwarna hitam legam. Batu angus adalah nama tempat daerah ini. Dikenakan  tiket yakni Rp. 5.000,-/motor. Informasi aku dapatkan dari Sari Wahyuni, tahun 1673 saat letusan Gunung Gamalama, hasil letusan gunung Gamalama kemudian membentuk sebuah ladang batu yang indah dan unik. Di kawasan ini banyak terdapat batu yang terbentuk dari lava yang mengeras dan terlihat hitam mengering layaknya habis terbakar. Siang itu viewnya sangatlah indah, berlatar belakang hijaunya Gunung Gamalama, ladang batu yang menarik dipadukan dengan laut biru perairan Ternate. Aku menikmati pemandangan ini, aku mengerti bahwa betapa kecilnya dan tak berdayanya aku. Aku ingat, akan kata-kata "dia" bahwa di alam bebas akan membuat kita dekat kepadaNya, bukan alam yang membutuhkan manusia tetapi manusia yang membutuhkan alam.

Batu Angus (dok.pribadi)
Batu Angus (dok.pribadi)
Dari tempat ini, perjalanan dilanjutkan  menuju kampung Fitu. Tujuanku ke kampung Fitu yakni ingin melihat gambar yang ada di uang kertas Rp. 1.000 edisi tahun 2013. Awalnya aku mengira, untuk mengambil gambar uang Rp. 1.000 diatas bukit daerah Ngade ternyata aku salah, faktanya adalah di kampung Fitu. Pada awalnya aku pikir gambar ini hanya lukisan dan ternyata gambar tersebut real. Akhirnya aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri pemandangan yang ada di balik uang kertas tersebut. Dari kampung Fitu, aku melihat pulau Maitara dan Pulau Tidore persis dengan yang tergambar di uang Rp. 1.000,-. Nah spot ini, wajib dikunjungi jika berada di kota Ternate.

Kampung Fitu (dok.pribadi)
Kampung Fitu (dok.pribadi)
Kemudian kami menuju Danau Tolire. Danau Tolire merupakan danau vulkanik. Karena kunjunganku di bulan Ramadan, maka danau ini sangatlah sepi. Kata Sari Wahyuni, tempat ini ramai pada hari libur saja. Di dekat danau terdapat fasilitas seperti gazebo yang sayang sekali tidak terawat. Pemandangannya yakni permukaan air yang berwarna hijau muda berdampingan dengan dinding tebing yang menjulang tinggi mengelilingi permukaan air. Danau Tolire ada dua yakni danau tolire kecil dan danau tolire besar. Di lokasi ini aku puas memandangi puncak Gunung Gamalama kemudian terbesit keinginan untuk menginjakkan kaki di puncaknya. Ini hanya keinginan saja.

Masih dari Sari Wahyuni, katanya danau ini menyimpan cerita. Danau Tolire berasal dari sebuah cerita rakyat bahwa pada zaman dahulu kala terdapat dua insan manusia yang memiliki hubungan darah (ayah dan anak) melakukan perbuatan asusila kemudian terkena kutukan. Ada lagi hal unik dari danau ini yakni jika kita melempar batu ke tengah danau, batu tersebut tidak akan pernah sampai ke tengah dan akan jatuh di tepi danau. Pada awalnya aku tidak percaya tetapi setelah aku mencoba untuk melempar batu barulah aku percaya ahh bisa saja factor lain misalnya adanya gaya gravitasi yang besar pada area ini sehingga batu yang di lemparkan akan langsung jatuh tanpa menempuh jarak horizontal. Entahlah.

Danau Tolire (dok. pribadi)
Danau Tolire (dok. pribadi)
Lalu Sari Wahyuni mengajakku ke danau Laguna, Ngade tempat wisata yang mengagumkan, lokasinya yang berdekatan dengan laut membuat pemandangannya sungguh sangat menakjubkan, dari tempat ini aku bisa melihat pulau Tidore dan Maitara.  Sangat unik sekali, meskipun dekat dengan air laut namun Danau Laguna ini tetap memiliki air tawar. Di danau tampak beberapa keramba, di sekitar danau terdapat perkebunan dan terakhir danau ini bisa dijadikan lokasi pemancingan. 

Danau Laguna, Ngade (dok.pribadi)
Danau Laguna, Ngade (dok.pribadi)
Menutup perjalanan hari ini, Sari Wahyuni mengajakku ke kebun cengkeh yang terletak di dekat kampus Unkhair, kelurahan Gembesi. Cengkeh adalah alasan mengapa bangsa barat membangun benteng pertahanan di Ternate. Dulu, cengkeh menjadi komoditas berharga yang dipertahankan dengan segala cara. Jika salah tak hitung kebun cengkeh ini memiliki luas kira-kira lapangan sepak bola. Pohon cengkeh di tempat ini tertata dengan rapi ditambah dengan adanya rumput hijau  yang bersih sehingga menambah keindahan kebun. Tampak ranting dan pohon cengkeh yang mulai mengering. Menurut beberapa orang pohon cengkeh ini dipercaya tumbuh sejak lebih dari 400 tahun lalu. Karena dimakan oleh usia pohon --pohon legendaris ini sudah mati. Tetapi sisa-sisa kekokohannya masih dapat dilihat dan disaksikan sampai saat ini. Pohon cengkeh tertua dunia ini pun menjadi saksi kekayaan alam Ternate yang menarik para penjajah dari benua Eropa.

Kebun Cengkeh di Gembesi (dok.pribadi)
Kebun Cengkeh di Gembesi (dok.pribadi)
Menutup petualanganku di Ternate, aku mengunjungi pasar bahari berkesan yang indah dan bersih menikmati papeda dan gohu di rumah makan Gamalama dengan membayar Rp. 40.000,-/orang makan sepuasnya.

Papeda dan teman-temannya (dok.pribadi)
Papeda dan teman-temannya (dok.pribadi)
Akhirnya selesai sudah petualanganku di Ternate, menjelajahi kota Ternate di mulai dari mengunjungi benteng, menikmati keindahan danau, melihat aliran lahar hitam gunung Gamalama dan ke kebun cengkeh di Gembesi serta menikmati kulinernya. Bagiku kota ini menyimpan begitu banyak pemandangan yang eksotik. Di Ternate, aku mendapat banyak pengalaman, ilmu dan rasa. Dan sungguh aku sangat bersyukur, hidupku penuh nikmat dan anugerah luar biasa.

Dan terima kasih buat Sari Wahyuni yang ikhlas menemani perjalananku selama di Ternate dan keluarga di Toboko terima kasih semoga aku bisa kembali ke Ternate. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun