"Adventure is worthwhile."
(Aesop)
Jalan-jalan atau plesiran atau travelling buatku adalah sesuatu yang "wajib" dilakukan. Dalam kegiatan jalan-jalan ada tiga hal yang paling utama yakni kesehatan. Ya kalau sakit mana bisa mengeksplor keindahan kota-kota yang dikunjungi. Jadi selagi sehat manfaatkan untuk jelajahi keindahaan ciptaan-Nya.
Dana. Perjalanan tidak perlu mahal, sekali-kali jadi "gembel". Bukan masalah tempat atau besarnya dana yang dikeluarkan tetapi yang lebih penting adalah kenangan.
Waktu. Mumpung belum jadi orang kantoran dan masih ada waktu di dunia.
Petualangan 40 hari keliling Asia Tenggara dimulai pada tanggal 11 Januari-19 Februari 2018. Alasan aku memilih Asia Tenggara karena negara di Asia Tenggara tidak memerlukan visa kunjungan dengan jangka waktu yang berbeda. Perjalanan aku lakukan dengan jalur darat dan udara.
Rute Perjalanan
Ini adalah rute perjalanan 40 hari keliling Asia Tenggara, yakni Jakarta - Singapura - Johor Baru - Singapura - Melaka - Kualalumpur - Yangon - Inlay - Bagan - Mandalay - Bangkok - Nongkhai - Viantiane - Hanoi - Ho Chi Minh City - Phnompenh - Siemreap - Bangkok - Hatyai - Kualalumpur - Jakarta.
1. Perjalanan dengan pesawat
Jakarta - Singapura: 505,000 (Lion Air)
Kualalumpur - Yangon: 470,000 (Air Asia)
Mandalay - Bangkok: 1,005,000 (Air Asia)
Hanoi - Ho Chi Minh City: 339,541 (Jet Star)
Kualalumpur - Jakarta: 534,197 (Batik Air)
Beli tiket pesawat dua minggu sebelum berangkat.
2. Perjalanan dengan kereta ap
Bangkok - Nongkhai: 213 Bath
Bangkok - Hatyai: 410 Bath (cc)
3. Perjalanan dengan bus
Singapura - Johor bahru: 3.3 $
Johor Bahru - Singapura: 3.40 RM
Singapura - Melaka: 16 $
Melaka - Kualalumpur: 12 RM
Yangon - Inlay: 16,000 Kyatt
Inlay - Bagan: 14,000 Kyatt
Bagan - Mandalay: 9,000 Kyatt
Nongkhai - Viantiane: 30,000 KIP
Viantiane - Hanoi: 240,000 KIP
HCM -- Phnompenh: 10 USD
Phnompenh - Siemreap: 9 USD
Siemreap - Bangkok: 9 USD
Hatyai - Kualalumpur: 620 Bath (cc)
Sejujurnya aku sangat menginginkan perjalanan Hanoi - Ho Chi Minh City via jalur darat, tetapi apa daya waktu yang tidak memungkinkan dan harga tiket bus yang mahal sehingga aku melewatkan perjalanan ini, padahal jalur ini adalah jalur wisata.
Akomodasi dan transportasi
Cara terbaikku untuk menghemat biaya akomodasi yakni aku menginap di hostel. Waktuku di hostel hanya pagi dan malam hari, siang hari aku habiskan mengeksplorasi keindahan kota yang aku kunjungi. Di hostel juga aku bertemu banyak backpacker lain, biasanya pada malam hari jika tidak ada kegiatan maka aku dengan senang hati bergabung bersama mereka dan mendengar percakapan teman-teman, berbagi tips, dan tentu saja melatih listening-ku.
Untuk akomodasi aku menggunakan booking.com. Cari yang murah, review bagus dan yang paling penting ada breakfast. Di antara hostel yang aku datangi, aku paling suka yang di Singapura dan Bagan. Di Bagan, breakfast-nya lengkap ada nasi goreng, pancake, roti beserta kawan-kawannya, buah, juice. Aku ingat pesan Cristobal, Irma makan yang banyak yah, breakfast sekaligus lunch and dinner, hahahaha.
Cara lain untuk menghemat adalah dengan berjalan kaki. Dengan berjalan kaki, aku dapat menjelajahi sudut-sudut suatu daerah dan menemukan spot foto yang terlihat lebih jelas dan detail. Setiap berjalan kaki, aku selalu berharap dapat menemukan keseruan seperti yang terjadi HCM yakni menemukan taman kota yang saat itu sedang ada pameran tanaman hias dan buah-buahan ataukah menemukan es tebu limau murni yang sangat segar. Selain jalan kaki yang murah dan sehat, alternatief lain yakni menggunakan transportasi umum seperti bus dan MRT.
Untuk urusan perut, biasanya aku makan di restoran India. Saat di Singapura dan Malaysia tidaklah rumit mencari tempat makan, untuk murah aku mencoba street food. Lain halnya ketika di Yangon aku takut menyantap street food, di Inlay warung makan depan hostel cukup nasi putih dan telur dadar. Nah di Bagan, malah aku hanya makan saat sarapan pagi. Untuk Mandalay yang di street food, menunya tentu saja nasi goreng cukup 1000 Kyatt.
Saat di Phnompenh, aku bersyukur menemukan restoran Indonesia saat akan lari pagi. Pemiliknya orang Indonesia, letaknya di dekat museum nasional. Bali Food adalah nama restoran milik Bapak Firdaus.
Siemreap, malah lebih gampang mencari restoran muslim, pemiliknya orang Malaysia, lokasinya dekat dengan hostel dan hotel. Kadang juga mencari restoran halal di daerah night market dan. Banyak kok. Salah satu cara mengetahui budaya makan orang lokal yakni mencoba street food.
Di Singapura, tidak sulit untuk mencari masjid. Saat aku berada di kawasan Little India, aku menemukan masjid. Begitupun saat di daerah Orchard. Nah di Melaka, dekat hostel banyak juga masjid. Kadang-kadang menunaikan sholat di masjid (duhur dan ashar) kalau subuh, maghrib dan isya pasti di hostel.Â
Aku teringat, ada saat teman kamarku bertanya mengapa aku melakukan ibadah sehari lima kali, hal ini dia ungkapkan ketika aku selesai melaksanakan sholat maghrib. Alasanya sederhana, karena dia pernah melihat temannya hanya melaksanakan ibadah sehari tiga kali. Aku pun menjelaskan tentang menggabungkan sholat yakni duhur - ashar, magrib - isya, namanya sholat jamak.
Saat di Yangon, hostel tempatku tidak memungkinkan untuk sholat berdiri, akhirnya aku sholat duduk. Ada pengalaman, waktu itu aku mendengar adzan isya berkumandang. Maka aku berencana menunaikan sholat isya di masjid. Aku menemukan masjid tersebut saat pulang dari mengunjungi pagoda. Tiba di depan masjid dan akan masuk, tiba-tiba ibu yang berada di depan masjid menegurku.
Karena aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan, aku tetap melanjutkan membuka sepatuku. Nah di sinilah ada seorang lelaki yang menegurku bahwa masjid ini hanya khusus laki-laki.
Kalau di Inlay, Bagan dan Mandalay tidak ada masalah. Cerita lain di Bagan, teman kamarku Abbasi Parsa dari Kanada mengajukan pertanyaan yang sama tentang waktu sholat dan apakah aku ini pengikut syiah atau sunni? Untuk pertanyaan terakhir aku tidak menjawab, karena tidak tau.
Jika dalam perjalanan malam maka aku akan tayamum dan sholat duduk.Â
Berbaur dengan warga lokal
Mengunjungi pasar pagi dan night market, menikmati street food dan minum milk tea membuatku berbaur dengan penduduk lokal dan melihat dengan mata kepala sendiri tentu saja memberiku pengalaman yang berharga. Nah saat di pasar aku tidak lupa menggunakan "keahlianku" menawar saat berbelanja.
Dari tujuh negara yang aku kunjungi semuanya aman. Pengalaman di Inlay, aku tiba jam 04.00 am ada seorang bapak yang membantuku mencarikan tuk-tuk. Kemudian supir tuk-tuk mengantarkanku ke depan hostel (Friday Inn). Supir tuk-tuk membangunkan pemilik hostel dan baru mau meninggalkanku ketika aku sudah bertemu pemilik hostel.
Hampir sama dengan pengalaman di Inlay. Perjalanan menuju Bagan, di sepertiga malam, dinginnya udara saat itu dan aku sedang dalam keadaan tidur tiba-tiba dibangunkan oleh kondektur bus kemudian mengatakan Bagan. Aku diturunkan di SPBU, langsung dikerubuti oleh supir taksi dan tukang ojek. Parahnya, mereka berbicara dalam bahasa Myanmar.
Bahasa Inggris pun, ada yang aku mengerti dan tidak aku mengerti. Keadaanku saat itu, masih mengantuk, menggigil meskipun udah pake jaket dan takut karena langsung dikerubuti oleh orang-orang yang tidak aku kenal.
Aku terdiam, bingung apa yang harus aku lakukan. Lalu menghela nafas, saat itu helaan nafas lebih indah daripada gema tawa. Solusinya aku memperlihatkan alamat hostel tujuanku yakni Golden Crown Motel dan tukang ojek tersebut mengantarkanku ke hostel dengan selamat. Dia juga yang berbaik hati membangunkan resepsionis hostel, agar aku bisa beristirahat.Â
Jika aku menunggu di teras hotel, dia takut aku kedinginan. Untuk harga ojek, dia memberiku harga yang seharusnya. Bagiku si tukang ojek telah memperlakanku dengan sopan dan melayaniku dengan ramah.Â
Selama di Myanmar, khususnya Inlay dan Bagan aku sangat terkesan dengan perlakuan masyarakatnya. Masyarakat telah memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam kemajuan pariwisata salah satunya adalah rasa aman bagi wisatawan. Sepertinya ini sebuah pesan bahwa kota kami aman bagi para wisatawan dan kami adalah orang-orang yang ramah, maka berkunjunglah ke tempat kami.
Sedangkan untuk penginapan, tidak semua memiliki loker. Awal-awal perjalanan aku masih menggunakan loker seperti di Singapura, Melaka, Yangon, dan Inlay. Setelah itu aku tidak menggunakan loker lagi. Bersyukur barang-barangku tidak ada yang hilang. Aku rajin membongkar dan merapikan lagi daypack-ku, mengecek satu persatu kantong-kantong daypack. Jangan sampai ada sesuatu yang berbahaya yang dimasukkan oleh orang. Waspada tetap harus dilakukan.
Semua tempat yang aku kunjungi memiliki keunikan masing-masing, semuanya sukses membuat sebuah pertanyaan. Akhirnya, jangan pernah sayang uang untuk jalan-jalan, memang betul bukan sebuah barang tetapi yang lebih penting sebuah pengalaman dan wawasan sehingga menjadikanku lebih toleran, tidak gampang tersinggung, pribadi yang bijaksana dan dapat menemukan kemampuan dalam diriku untuk menyelesaikan masalah yang aku hadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H