Mutiara dari Timur, begitulah bangsa Eropa menjuluki Nusantara yang dulu dikenal dengan Hindia Timur dikarenakan kejayaan dan kekayaan rempah-rempah terutama dari Maluku. Kejayaan dan kekayaan rempah-rempah tersebut merupakan salah satu faktor kedatangan bangsa Barat untuk menjelajah, berpetualang, berlayar hingga akhirnya memutuskan untuk menjajah Nusantara selain dikarenakan terjadinya Perang Salib ataupun jatuhnya Konstatinopel ke Turki Utsmani.Â
Harga rempah-rempah Nusantara dibeli dengan harga murah dan berkualitas terbaik. Pada sekitar abad ke 14 mereka memonopoli pasar rempah Indonesia, membeli dengan harga rendah dari para petani Indonesia dan menjual dengan harga tinggi kepada para pedagang di Eropa. Rempah-rempah tersebut diandalkan bangsa Eropa sebagai obat-obatan, bumbu makanan atupun pengawet bahan makanan. Sebagai wilayah yang belum berdaulat dan pasar terbuka, Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda melihatnya sebagai sebuah peluang untuk menguasai kelimpahan Mutiara dari Timur.
Adalah buah pala yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para penjajah hingga mereka rela mengarungi lautan beribu-ribu kilometer untuk menguasai perdagangannya. Di Banda Neira, jika berjalan-jalan sambil menikmati bangunan yang berarsitektur Eropa peninggalan abad 17-an maka di kanan dan kiri akan terlihat  jemuran pala yang melimpah ruah.
Banda Neira, Pulau yang termasuk ke dalam wilayah propinsi Maluku, ternyata menyimpan sejuta keindahan dan sejarah di dalamnya. Mulai dari keindahan alam, tempat bersejarah dan kelezatan selai palanya.
Juni 2017, ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di propinsi Maluku Utara, aku berdoa semoga aku bisa mengunjungi Morotai dan Banda Neira. Aku percaya saja, Tuhan mengenggam semua doaku. Lalu dilepaskanNya satu persatu di saat yang paling tepat. Maka setelah jalan-jalanku  selesai dari Morotai, aku pun membuat rencana operasional perjalanan (ROP) ke Banda Neira. Mulailah aku mencari tiket pesawat dan mengajukan cuti. Tak lupa aku menghubungi teman-teman seperti Kak Saleh Ramelan, Kak Agus Salim dan La Ode Maruf terkait perjalananku ke Ambon kemudian Banda Neira.
Dengan menumpang kapal cepat dengan tariff Rp. 410.000. Pukul 09.21 WIT perjalanan dari pelabuhan Tulehu (Ambon) menuju Banda Neira dengan waktu tempuh 7 jam. Bosan? Tentu saja tidak. Untuk mengusir rasa bosan, aku memilih menikmati hamparan laut biru, menikmati camilan dan bersosialisasi dengan orang-orang yang berada di dekatku. Pukul 14.00 WIT, rasanya aku sudah tidak sabar untuk menginjakkan kakiku di pulau sejarah nan cantik ini, Banda Neira.
Pukul 16.21 WIT aku tiba di pelabuhan Banda Neira. Aku langsung mengaktifkan HP dan seseorang menelponku mengatakan aku yang menjemputmu di pelabuhan Banda Neira. Risty Fadilah Ramalan atau biasa di panggil Cici dan oleh kawan-kawannya di pulau Banda Neira dipanggil John adalah orang yang menjemputku di pelabuhan. Cici merupakan sepupu dari Kak Saleh Ramelan. Â Aku sangat menyukai aroma laut dan bagiku aroma pulau Banda Neira yang menyegarkan telah menusuk penciumanku.
Pulau Banda merupakan pulau yang sarat dengan sejarah. Pulau Banda mencatat sejarah dengan diasingkannya empat orang pahlawan besar bangsa yakni Mohamad Hatta, Sutan Syahrir, dr. Tjipto Mangunkusumo dan Iwan K. Sumantri agar terisolir dari dunia internasional.
Hari pertama berada di Banda Neira, Cici mengajakku mengunjungi pulau Hatta. Pulau Hatta menawarkan dua sensasi keindahan bawah lautnya dengan gugusan karang dan berbagai jenis ikan yang bisa dilihat seperti hammerhead. Untuk mencapai pulau Hatta aku menggunakan kapal kayu dengan biaya Rp. 100.000 untuk dua orang plus dapat makan siang.Â
Perjalanan dari Pulau Banda menuju pulau Hatta aku melihat atraksi lumba-lumba. Tiba di pulau Hatta, aku mengabaikan terik matahari bersama Cici. Aku menyusuri pulau Hatta. Aku melihat dive center, maka singgahlah pada awalnya sekedar berbasa-basi hingga aku berniat menyelam.
Tak lengkap rasanya bila tak merasakan sensasi bawah laut Pulau Hatta, merasakan atraksi menarik ikan-ikan itulah pesan dari seorang Abdi Hasan juniorku di kelautan UH. Adapun biaya sekali dive yakni Rp. 500.000/orang. Titik penyelaman luar biasa banyak. Bahkan menurut referensi yang aku terdapat lokasi bertelur penyu. Entah mengapa, ikan disini luar biasa banyak. Bukan saja ikan mungil nan imut yang suka menyelinap di coral, ikan-ikan besar yang pantasnya terhidang di atas piring ribuan jumlahya.
Setelah menyelam, aku duduk di pantai menikmati siang menuju sore. Aku mengamati sekelilingku, tampak anak-anak yang sedang berlarian di pinggir pantai bahagia sekali, aku sangat suka memperhatikan kerumunan orang banyak. Aku menikmati kesendirianku di tengah keramaian manusia. Menjelang matahari terbenam, waktunya kembali ke pulau Banda.
Hari kedua, aku mengawali hari ini dengan lari pagi di pulau Banda Neira. Tujuan hari ini adalah ke Lonthoir. Matahari pagi mulai meninggi, langit cerah dihiasi taburan awan yang menggumpal, mesin kapal pun sudah menyala. Tidak sabar rasanya ingin segera menyaksikan pesona keindahan di sekitar Lonthoir.
Dari benteng Hollandia, di depanku pemandangan gunung api Banda, laut biru dan permukiman Lonthoir. Aku terdiam dan menikmati keindahan yang diciptakanNya. Tak terasa ada hangat yang menggumpal di kedua sudut mataku.
Rumah Bung Hatta masih berdiri megah. Di mulai dari selasar yang berisi kursi dan papan tulis tempat beliau biasa mengajar anak-anak, ada mesin ketik yang saat itu menjadi alat 'perangnya' ada juga peci dan kacamatanya. Aku juga sempat melihat surat beliau yang ditujukan kepada istrinya, ibu Rahmi Hatta. Â Barang lainnya seperti jas, rak buku, rak pakaian, ranjang, pakaian, foto-foto beliau, peralatan makan, kendi dan lainnya.
Tujuan selanjutnya adalah rumah budaya. Rumah budaya terletak tepat di depan Delfika guest house. Di dalam rumah budaya terdapat berbagai catatan sejarah, banyak terdapat barang-barang peninggalan VOC seperti keramik, meriam, lukisan mengenai situasi pada zaman itu dan mata uang. Pada ruang utama museum tergantung sebuah lukiasan yang menceritakan tentang pembantaian orang-orang di Banda pada tahun 1621.
Sun Tian Kong merupakan satu-satunya klenteng yang ada di Banda Neira. Tampak luar, klenteng ini sangat tertutup dengan pintu berwarna merah terang. Waktu itu aku mencium bau dupa dari dalam klenteng. Informasi yang aku dapatkan dari ibu penjual kenari, bahwa klenteng ini dibangun sebelum Belanda datang sekitar tahun 1500-an. Di dalam klenteng terdapat patung Dewi Kham Im, Dewa Kwan Kong dan Dewa Hok Sen. Aku tidak sempat memasuki klenteng ini, jika ingin masuk harus bertemu dulu dengan sang juru kunci.
Di dekat kantor camat terdapat sebuah gereja Tua Hollandische Kerk, terdapat empat pilar yang besar. Dari berbagai sumber , bahwa gereja ini dibangun pada 20 April 1873 dan diresmikan pada 23 Mei 1875 oleh dua orang misionaris Belanda bernama Maurits Lantzius dan John Hoeke. Dindingnya didirikan di atas tiga puluh batu nisan yang di atasnya di ukir nama-nama dan kata dalam bahasa Belanda.Â
Dari hasil cerita-cerita dengan Cici dan teman-temannya bahwa bangunan ini merupakan saksi bisu peradaban Neira selama berabad-abad. Tahun 1998, ketika terjadi kerusuhan Ambon gereja ini sempat dirusak tapi Alhamdulillah telah diperbaiki dan kini tetap kokoh berdiri. Â Ough iya di gereja tua ini terdapat juga lonceng kuno yang terbuat dari bahan tembaga yang sampai saat ini hanya tersisa empat buah di seluruh dunia.
Aku juga mengunjungi istana mini. Saat kunjunganku di istana mini sedang diadakan seminar tentang kanker serviks. Informasi yang aku dapatkan, bahwa istana mini merupakan tempat tinggal gubernur VOC Â Joen Pieterszoem Coen.
Dari istana mini tujuanku selanjutnya adalah rumah pengasingan dr. Tjipto Mangunkusumo. Rumah ini berdaya Indis perpaduan arsiektur colonial Belanda dan tropis. Bangunan ini terdiri dari rumah utama trus gudang, dapur serta kamar mandi. Dinding bangunan dibuat dari bata yang diplester dan di cat warna putih. Adapun lantai bangunan berupa terakota yang berwarna merah tua.
Ada juga Parigi Pante yang merupakan tempat pembantaian saudagar-saudagar kaya di Banda Neira di buang. Ada ratusan nama yang terpampang di tembok ini.
Pemandangannya sangat indah. Pada masa Belanda benteng belgica beralih fungsi menjadi tempat untuk memantau lalu lintas kapal dagang di perairan pulau Banda Neira.Â
Menurut abang-abang penjaga benteng Belgica, benteng belgica dibangun dengan gaya bangunan persegi lima. Jika dilihat dari semua penjuru hanya akan terlihat empat buah sisi. Konstruksi terdiri dari atas dua lapis bangunan. Di tengah benteng terdapat ruang terbuka terus ada dua sumur. Abang-abang penjaga benteng Belgica juga menambahkan penjaga Benteng Belgica tidak dibuka setiap saat karena ditakutkan dijadikan tempat minum-minum dan pengunjung yang melakukan vandalism.
Ucapan terima kasih buat Kak Agus, Kak Saleh, Cici dan Mamak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H