Dini Pusianawati yang pertama kali menantangku untuk mendaki tujuh puncak gunung sebagai syukuran wisudaku. Tentang Dini Pusianawati, beliau merupakan salah satu anggota dari Aranyacala Trisakti yang saat ini berprofesi sebagai seorang dokter kandungan, punya hobi lari dan di tengah jadwal kesibukannya sebagai seorang SPOG beliau masih sering mendaki gunung, yang aku tahu beliau telah mendaki gunung Kinabalu. Tantangan ini, dia berikan ketika selesai mendaki Gunung Ciremai. Dengan suara meninggi, ia memberi tantangan, “Masa hanya satu gunung sekalian! Seven summit-lah, meski cukup gunung di Pulau Jawa.” Tantangannya kubalas dengan senyuman saja.
Gunung Ciremai yang pertama kudaki. Aku mendaki via Linggarjati atas ajakan Ichi dan Mahdi. Dua orang kawan kuliah di Teknik Lingkungan ITB yang suka mendaki gunung. Bagi mereka berdua Ciremai via Linggarjati telah tiga kali mereka dika sedangkan bagiku sama sekali belum pernah. Untuk urusan pendakian mereka berdua yang akan mengurus tentang transportasi menuju desa terakhir. Pada gunung ini, menurut keduanya, hal khusus yang perlu kuperhatikan yakni medan yang terus menanjak juga tidak adanya sumber air. Sejujurnya aku tidak sempat “browsing” tentang jalur ini. Ketika diajak, langsung mengatakan iya saja.
7 April 2015, 21.00 WIB kami meninggalkan Bandung menuju Linggarjati di Kabupaten Kuningan. Pendakian ke Ciremai kami tidak melakukan prosedur perizinan. Hal ini dikarenakan tiba di base camp (kemah induk) pada pukul 01.00 WIB dan setelah salat subuh perjalanan dilanjutkan. Menurut Mahdi, jalur Linggarjati ini merupakan paling berat dan sangat menantang. Meski demikian, penanda jalur yang dilalui sangat jelas dan memiliki banyak tanda-tanda penunjuk jalan sehingga memudahkan pendakian.
Untuk mencapai puncak Ciremai harus melalui beberapa pos yakni Cibunar, Leuweung Datar, Kondang Amis, Kuburan Kuda, Pangalap, Tanjakan Seruni, Bapa Tere, Batu Lingga, Sangga Buana, dan terakhir Pengasingan lalu puncak 3078 mdpl. Siang itu keberuntungan berada di kami, ketika melakukan istirahat siang, hujan turun dan langsung saja mengisi botol.
Kami beristirahat di Bapa Tere, pukul 03.00 WIB. Sesuai hasil kesepakatan, kami berencana bergerak ke puncak tetapi karena hujan, maka dibatalkan. Mahdi mempertimbangkan, jika masih hujan sampai pagi maka tidak perlu ke puncak, dan kembali ke kemah induk. Sepertinya hujan awet, sehingga langsung berkemas untuk menuju kemah induk.
Dalam perjalanan turun, bertemu dengan tiga pendaki dari Jakarta yang saat itu sedang melakukan operasi (untuk nama tiga orang itu aku lupa). Mereka bersiap menuju ke puncak. Mahdi memberi saran, agar bergabung dengan para pendaki tersebut, sedangkan ia dan Ichi menunggu di kemah induk. Perjalanan ke puncak memang terasa berat, apalagi dengan teriknya matahari dan jalur menanjak tentu saja membuatku kehausan dan ngos-ngosan. Dari Pos Sangga Buana (2500 mdpl) ke puncak tersisa 1.5 km. Di pos ini aku meminta kepada mereka untuk istirahat sejenak, Setelah itu, melanjutkan perjalanan dan tepat pukul 12.45 WIB tiba di puncak Ciremai (3078 mdpl)
Pukul 13.30 WIB setelah mengabadikan momen, kemudian bergerak turun ke camp. Pukul 15.45 WIB, tiba di camp, beristirahat dan mengisi perut yang keroncongan. Masih ditemani gerimis, ketika berkemas untuk kembali menuju kemah induk. Tak menunggu lama, mobil jemputan tiba di lokasi. Sebelum berangkat tak lupa aku ucapakan terima kasih kepada mereka.
Dari Gunung Ciremai selanjutnya menuju Jawa Tengah. Tujuanku ke Gunung Lawu di puncak Hargo Dumilah (3265 mdpl) yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keberangkatan ke Lawu bersama Anton dan Mas Pur. Mereka berdua merupakan anggota dari Hancala Biologi UNY. Pendakian ke Gunung Lawu melalui Cemoro Kandang.
Senin, 13 April 2015 pukul 08.15 WIB kami meninggalkan kemah induk. Di jalur cemoro kandang kami hanya bertemu dua tim pendaki. Menurut Mas Pur, jalur Cemoro Sewu lebih ramai, jalur semakin menanjak. Di setiap pos terdapat warung. Menjelang puncak terdapat warung makan Mbok Yem. Meskipun terdapat warung makan dan pendaki dapat menginap di warung tersebut, tapi tetap membawa peralatan dan ransum. Selasa, 14 April 2015, 07.19 WIB, tiba di puncak Gunung Lawu. Informasi yang aku dapatkan dari Anton dan Mas pur, gunung ini dikeramatkan. Itu sebabnya, sempat bertemu dengan orang yang melakukan ziarah.
Berdasarkan hasil pengamatanku, Pasar Bubrah adalah sebuah pos terakhir di kaki Gunung Merapi. Di lokasi ini, pada hujan, angin kencang, dan kabut menjadi tantangan untuk semakin tangguh menuju puncak. Untuk mencapai puncak dari Pasar Bubrah memakan waktu sekitar 1.5 jam dengan jalur sangat ekstrim. Tak ada petunjuk sama sekali sehingga agak menyulitkan mencari jalan untuk menuju puncak. Jalur yang harus di lewati berupa pasir dan bebatuan yang rawan longsor. Total waktu tempuh pendakian mencapai 14 jam.
Pukul 15.15 WIB kami meninggalkan pos 2. Perjalanan menuju pos 3 harus melewati delapan air terjun. Di air terjun ke empat, kaki kiriku kram, tetapi masih bertahan dan tetap melanjutkan perjalanan. Tidak selesai sampai disitu saja, rasa sakit bertambah, ketika di air terjun ke delapan kedua kakiku kram. Rasa sakit mereda, ketika ditolong oleh Mamet dan Kak Eko (pertama kali kenal di pendakian ini, hobinya naik gunung) yang ada di belakang, sedangkan tujuh teman yang lain telah berjalan duluan. Aku berfikir sepertiya teman yang di depan telah menemukan camp dan beristirahat. Ketika agak baikan, perjalanan dilanjutkan. Sejujurnya aku berdoa, semoga saja kami nge-camp di pos 3, badanku sudah menggigil dan kaki terasa berat melangkah, bahkan meski hanya sekedar diangkat. Mamet langsung berteriak ada kita camp di pos 3, tuh teman-teman telah mendirikan tenda. Di depan telah berdiri dua buah tenda di pos 3. Alhamdulillah kulafaskan, itulah yang sanggup aku ucapkan ketika doa terkabul.
Ahad, 4 Desember 2016, Pukul 06.30 WIB aku, Mamet, dan Raka meningglkan pos 3 dan tiba di. pos 4, pukul 08.20 WIB lalu beristirahat. Pukul 09.45 kami semua tiba di puncak Sumbing (3371 mdpl)
Karena cuaca yang sangat dingin, di camp langsung mendirikan tenda, memasak, makan malam, dan kemudian istirahat. Dari Sabana 1 menuju puncak masih tetap gerimis, malah aku sempat berpikir untuk tidak melanjutkan perjalanan, tetapi Anto (teman yang berasal dari Salatiga dan yang membantu dan menemaniku ke puncak) mengatakan, “kamu kan bawa jas hujan!” Itu berarti, gerimis bukan penghalang dan tetap menyemangati diri sendiri. Dari Sabana 1 (06.10 WIB) ke puncak membutuhkan waktu 2 jam 3 menit, sehingga pukul 08.13 WIB, tiba di puncak gunung Merbabu (3142 mdpl)
Dari puncak kembali ke Sabana 1 tidak perlu berlama-lama, sehabis istirahat, makan, dan packing langsung bergerak untuk menuju kemah induk. Pukul 16.00 WIB aku akhirnya sampai di kemah induk. Pikiranku selanjutnya bergerak untuk mendaki ke gunung mana lagi. Ternyata, masih tersisa satu gunung maka selesailah tantangan dari kak Dini.
Dari kemah induk tersebut, jalur menanjak dan melewati area perkebunan. Teriknya matahari membuatku bercucuran keringat apalagi beban dalam carrier-ku yakni empat botol air mineral (@1500 ml). Tidak ada pengecualian, meskipun perempuan, aku tetap memikul carrier. Pukul 10.40 WIB kami meninggalkan kemah induk dan tiba di candi pertama yang disebut candi Bayi pada pukul 13.00 WIB. Di candi ini yakni terdapat sesajen dan kami bertemu dengan sekelompok orang yang akan melakukan ritual.
Pendakian ke Penanggungan via Jolotunda dapat melihat situs-situs peninggalan kerajaan Majapahit berupa 11 candi dan satu gua. Untuk camp, kami memutuskan di depan candi Wisnu. Kekhususan dari jalur ini yakni tidak ada sumber air. Saat malam, hujan pun turun. Kak Eko langsung unjuk kebolehan terkait kemampuannya menampung air. Senin, 26 Desember 2016, pukul 08.00 WIB aku tiba di puncak Penanggungan (1653 mdpl)
Berdasarkan informasi dari seorang kawan via Kledung lebih cepat. Jalur melewati kemah induk – pos 1 – pos 2 – pos 3 – pos 4 dan terakhir puncak. Terdapat ojek dari kemah induk hingga pertengahan antara pos 1 dan pos 2 dengan tarif Rp 25.000/orang. Pemandangan dengan perkebunan dan ladang milik warga. Berangkat dari kemah induk pukul 07.50 WIB dan baru tiba di pos 3 pada pukul 15.00 WIB. Dari pos 2 ke pos 3 dengan medan menanjak dan berbatu.
Ahad, 22 Januari 2016, 05.40 WIB kami meninggalkan pos 3 menuju pos 4, trek dari pos 3 menuju pos 4 berupa jalanan yang cukup curam dan di dominasi dengan batuan. Pemandangan dengan pepohonan yang rindang dan alang-alang menemani perjalananku membuat rasa capek hilang. Saat tiba di pos 4, kami beristirahat sekedar mencicipi makanan penambah energi. Pos 4 ini disebut Batu Tanah. Saat di sini angin bertiup cukup kencang, membuat kami tidak berlama-lama. Pos 4 menuju puncak menemukan hutan lamtoro kemudian padang edelweiss. Sayangnya saat itu bunga edelweis sedang tidak berbunga. Tepat pukul 09.15 WIB, kami berempat akhirnya tiba di puncak Sindoro (3153 mdpL). Ucapan syukur tak terhingga kupanjatkan kepada Sang Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H