Kamis, (26/05/2016), perjalananku dimulai dari Pamdi, Distrik Supiori Barat dengan menggunakan perahu motor yang bermesin 40 pk. Perjalanan melintasi Samudera Pasifik, medan perairan yang terbuka memaksa perahu motor menembus goncangan ombak dan hembusan angin yang lebih kuat.
Tiga jam perjalanan dan untuk pertama kalinya aku tidur di perahu motor. Dalam hati, aku tak henti-hentinya berdoa, apalagi sejauh mata memandang hanya lautan yang entah kapan akan berakhir. Dari jauh, laut biru, hamparan pasir putih, dan perairan yang masih alami. Bebas dari campur tangan manusia pada sebuah pulau yang terpencil.
Meos Bepondi atau Pulau Bepondi merupakan salah satu dari enam pulau terluar yang ada di Propinsi Papua. Meos Bepondi terletak dibagian utara Pulau Papua di Samudera Pasifik, berbatasan langsung dengan negara Republik Palau. Pulau ini bagian dari Distrik Supiori Barat Kabupaten Supiori yang hanya memiliki satu kampung yakni Masyai.
Sedikit sejarah tentang pulau terpencil ini. Berdasarkan wawancara secara mendalam dengan masyarakat, Meos artinya pulau dan Bepondi artinya terdepan sehingga Meos Bepondi adalah pulau yang terdepan.
Meos Bepondi juga memiliki keterbatasan yakni dalam sarana komunikasi dan sarana transportasi. Di Meos Bepondi sama sekali tidak ada jaringan HP. Transportasi laut yakni kapal reguler tidak ada sama sekali. Jika ingin kesana harus mencarter kapal dengan biaya Rp. 500.000 (pp), yang harus ditambah uang rokok dan pinang sirih kapur. Meski sudah mencarter, kapal tak langsung menjemput, tapi harus menunggu satu hingga tujuh hari. Di Pariyem, Yanem, Sabarmiokre, Pamdi, hingga Rumbori. Hari itu aku beruntung, aku tidak perlu menunggu berhari-hari di Pamdi untuk menuju ke Meos Bepondi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Yakob (tanpa umur), potensi perikanan yakni hasil tangkapan nelayan berupa ikan yang memiliki nilai ekonomis misalnya ikan batu (Synanceia verrucosa), ikan tuna (Euthynnus allecterates), ikan kambing dan ikan kerapu (Epinephelus fuscoguttaus). Hasil tangkapan ini kemudian dijual ke Sabarmiokre, Sorendiweri atau langsung ke Biak.
Sayur mayur seperti daun petatas dan daun pepaya melimpah ruah. Singkong, pisang, dan keladi juga banyak ditanam masyarakat. Karena keterbatasan aksesbilitas sayur mayur tersebut tidak dijual hanya untuk konsumsi saja. Pisang disini juga unik loh! Kenapa aku bilang unik? Karena buahnya besar dan warnanya orange terang. Sayangnya waktu itu aku lupa mengambil gambarnya. Masyarakat Meos Bepondi bermata pencaharian sebagai nelayan.
Dari Supriono (28 tahun) selaku guru SD YPK Syalom Meos Befondi, aku mendapatkan informasi tentang tempat wisata yang ada di Meos Bepondi yakni batu hitam. Kata guru tersebut tempatnya tidak jauh dari batas kampung. Untuk mencapai batu hitam, aku harus melewati kebun warga, kemudian naik bukit dan kembali turun menuju ke laut. Saat tiba di batu hitam, aku melihat pemandangan dengan pantai yang bersih. Aku kemudian duduk di atas batu-batu, sambil menikmati suara ombak. Suara alam yang paling merdu di dunia.
Pemandangan di dalam kampung Masyai juga indah dan cantik. Bangunan rumah warga tertata dengan rapi. Halaman rumah mereka ditumbuhi dengan bunga-bunga yang berwarna-warni. Bukan itu saja, mereka juga menanam pohon jeruk nipis dan pepaya, dalam jumlah yang banyak untuk setiap kepala keluarga. Saat aku menyusuri jalan di kampung Masyai, selalu disapa oleh warga sekitar, seperti “selamat pagi Kaka”, “selamat sore Ibu” atau “selamat malam Kaka”.