Ini merupakan kunjunganku yang pertama kali di Propinsi Sumatera Barat. Dalam catatanku, ingin mengunjungi kawasan seribu rumah gadang di Kabupaten Solok Selatan. Hari itu, Selasa (19 Januari 2016) aku pun mengunjungi kawasan tersebut. Dari Kota Padang, berangkat menggunakan travel, bertarif Rp. 60.000,-  dengan tujuan Muaro Labuh. Waktu tempuh perjalanan sekitar 2 jam.
Di kawasan Nagari Saribu tersebut, terletak di Kecamatan Sungai Pagu. Penanda keberadaan kawasan ini berupa sebuah gerbang. Setelah melewati pintu gerbang, terdapat mesjid. Dari masjid tersebut, kemudian menelusuri kawasan ini. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa warga masyarakat, juga pengamatan langsung, terdapat sekitar 130-an rumah gadang. Masyarakat percaya, rumah gadang bukan hanya sekedar bangunan, tapi didirikan atas beberapa filosofi.
Dari kawasan Seribu Rumah Gadang, aku ke museum Adityawarman yang terletak di jalan Diponegoro Kota Padang. Setelah itu, aku pun mengunjungi Istana Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar dan menyambangi Pusat Informasi Minangkabau di Kota Padang Panjang.
Rumah gadang memiliki nilai dan filosofi yang berhubungan dengan alam, yang selanjutnya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal.
Hal ini dibenarkan oleh kawanku Rindha dan Kak Rima. Menurut keduanya, sistem tersebut ditunjukkan antara lain berupa pewarisan rumah gadang yang hanya akan diserahkan kepada anak perempuan. Keturunan laki-laki akan mengikuti istrinya, yang biasanya ada yang tinggal di surau.
Menurut Yoseptian Suheri S.Pd, yang kutemui saat mengunjungi Istana Pagaruyung, istana tersebut memiliki 72 tiang penyangga yang melambangkan daerah-daerah yang berada di kawasan Minangkabau. Gonjong sebanyak 11 buah yang menyerupai tanduk kerbau, melambangkan pola pikir yang berbeda, tetapi akan menyatu. Â Satu tiang yang berupa tonggak tua berdiri tegak lurus, melambangkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Rumah gadang dibuat berbentuk persegi panjang, yang terbagi atas bagian depan dan bagian belakang. Rumah tersebut berbahan kayu, yang atapnya berbentuk runcing. Pada atap ada yang menggunakan ijuk sebagai pengganti genteng atau seng. Bentuk dinding dari rumah gadang tidak rata, hal ini bertujuan agar tahan akan terjadinya angin kencang dan gempa bumi. Pondasi berbentuk pasak kayu besar, agar bertahan kuat mencengkeram dalam tanah.Â
Ketika mengunjungi Pusat informasi Minangkabau kusempatkan untuk bertemu staff yakni Ibu Suaeta. Beliau kemudian menjelaskan tentang rumah gadang. Dalam rumah gadang, ruangan berjumlah ganjil, melambangkan keseimbangan antara kanan dan kiri. Rumah gadang dibuat memanjang, karena didalamnya hidup beberapa keluarga. Jumlah jendela yang banyak dibuat demikian, sehingga membuat sirkulasi udara lebih lancar. Rumah gadang memiliki ukiran yang menggambarkan kehidupan masyarakat, yang kemudian dipahatkan pada dinding rumah.Pada halaman rumah terdapat rangkiang untuk meyimpan padi. Dalam penerimaan tamu pun diatur secara ketat. Tuan rumah duduk menghadap ke dalam rumah, sedangkan tamu menghadap keluar ke halaman.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H