[caption id="attachment_353936" align="aligncenter" width="300" caption="Cottage di Bukit Berahu (dok.pribadi)"]
Bukit Berahu berada di daerah Tanjung Binga. Bukit ini dilengkapi dengan cottage, bungalow dan restoran. Bangunan yang berada di bukit berahu dirancang dari kayu dengan unsur tradisional Belitung. Pulang dari Bukit Berahu saya mendapatkan tumpangan dari ibu yang akan menuju Tanjung Pandan, menumpang dengan beliau ada syaratnya harus membelikannya bensin 2 liter. Bagiku tak masalah, dalam perjalanan menuju Tanjung Pandan ibu itu mengira saya adalah pedagang buku, maka kujawab bukan bu. Ujung-ujungnya dia menawari pekerjaan, tapi pekerjaan apa dulu, dia menyuruhku melamar jadi pembantu rumah tangga dengan gaji Rp. 1.000.000/bulan. Astaga... dan kujawab terima kasih ibu saya gak berminat. (Ketika pulang kuceritakan hal ini kepada mama aji dan kak Arfa mereka gak berhenti tertawa) saya menumpang hingga Jalan Pattimura. Dari jalan ini saya menggunakan ojek menuju kolong keramik dengan tarif Rp. 10.000
Kolong keramik. Terletak di jalan Ahmad Yani. Saat saya berkunjung nampak beberapa orang sedang memancing. Kolong ini merupakan saksi sejarah adanya penambangan kaolin yang digunakan sebagai bahan baku keramik. Dari kolong keramik aku menuju Ex pabrik keramik.
[caption id="attachment_353937" align="aligncenter" width="300" caption="Kolong Keramik (dok.pribadi)"]
Ex Pabrik Keramik
Terletak di jalan Ahmad Yani merupakan eks pabrik PT. KIA. Kawasan ini terbengkalai yang tersisa nampak bagiku adanya dua cerobong asap. Menurut masyarakat (Kak Arfa dan Kak Luke) pabrik ini dulunya memproduksi keramik yang akan dikirim ke seluruh Ind dan merupakan pabrik keramik modern pertama di Ind dan terbesar di Asia. Adapun penutupan pabrik ini disebabkan biaya distribusi barang ke Jakarta ternyata jauh lebih besar dibandingkan jika hanya mengirim bahan mentahnya saja.
[caption id="attachment_353916" align="aligncenter" width="300" caption=" Cerobong Asap di Ex Pabrik Keramik (dok.pribadi)"]
Minggu, 1 Maret 2015, Tujuanku adalah ke Tanjung Kelayang dan tentu saja ke Pulau Lengkuas. Kata kak Arfa, karena kau telah mengetahui jalan menuju ke Tanjung Kelayang sebaiknya kau menggunakan motor saja (sebenarnya sejak hari sabtu kak arfa menyuruhku menggunakan motor tapi dengan halus kutolak. Adapun alasanku karena ingin mengetahui jalan dulu)
Tiba di tanjung kelayang, saya menemukan teman yang akan menuju Pulau Lengkuas. Wah bisa Sharing Cost nich. Kami mendapatkan perahu dengan tariff Rp. 450.000. Berikut ini sedikit cerita yang kudapatkan saat mengunjungi tempat-tempat tersebut.
a.Tanjung Kelayang.
Tanjung kelayang merupakan pelabuhan untuk menuju pulau lengkuas. Tanjung Kelayang dikelilingi oleh pulau-pulau kecil yang terbentuk dari batu-batu granit. Dari Tanjung Kelayang ini saya dibantu pak yanto melihat bentukan batu granit yang menyerupai binatang misalnya batu garuda dan batu berlayar.
[caption id="attachment_353938" align="aligncenter" width="300" caption="Batu Garuda (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_353939" align="aligncenter" width="300" caption="Batu Berlayar (dok.pribadi)"]
b.Pulau Lengkuas
Mengutip kata Pak Yanto, belum dianggap ke Belitung jika belum mengunjungi pulau lengkuas. Di pulau ini terdapat mercusuar dan house history of Lengkuas. Mercusuar dengan tinggi 65 meter, jumlah lantai 18 dan anak tangga 313. Mercusuar ini dibangun pada tahun 1882 oleh pemerintahan colonial Belanda dan hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh dan tegak. Menurut petugas, mercusuar ini masih berfungsi dengan baik dan  merupakan penuntun lalu lintas kapal yang melewatu pulau Belitung.
[caption id="attachment_353932" align="aligncenter" width="300" caption="Mercusuar (dok.pribadi)"]
[caption id="attachment_353933" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandangan dari Mercusuar (dok.pribadi)"]
Sebelum masuk ke mercusuar, pengunjung harus membayar Rp. 5.000,-/orang dan melepas sendal kemudian mencuci kaki. Pemandangan dari puncak mercusuar sangat indah. Ough iya di pulau Lengkuas ini sendalku hilang...hikst..padahal sendal itu memiliki sejarah. Selanjutnya menuju Pulau Pasir
[caption id="attachment_353934" align="aligncenter" width="300" caption="Pulau Pasir bersama Pak Yanto (dok.pribadi)"]
Sebenarnya tempat ini belum bisa dikatakan pulau lebih cocok disebut Gusung. Sepengetahuanku di katakan pulau jika tidak tenggelam saat air pasang. Tempat ini hanya hamparan pasir yang tidak mempunyai batu-batu dan pohon-pohon. Setelah berfoto tujuan selanjutnya ke Pulau Kepayang.
[caption id="attachment_353935" align="aligncenter" width="300" caption="Restoran yang ada di Pulau Kepayang (dok.pribadi)"]
Kata bapak kapal pulau Kepayang disebut juga pulau Babi. Hal ini disebabkan karena pulau ini merupakan tempat tinggal bali di zaman orba. Di pulau ini terdapat penangkaran penyu. Jika kita berada di restoran maka pemandangan utama adalah formasi batu granit raksasa. Di pulau ini terdapat juga cottage. Pukul 15.10 saya pun tiba dengan selamat di Tanjung Kelayang. Ombaknya bersahabat. Tujuan selanjutnya adalah kampung nelayan di Tanjung Binga.
Penduduk yang berada kampung  nelayan merupakan perantauan dari suku bugis dan ternyata berasal dari kab. Bone. Alhasil saat menginjakkan kaki di tempat ini, saya merasa pulang kampung. Di tempat ini saya bertemu dengan istri-istri nelayan sedikit cerita tentang kehidupan mereka. Menurut ibu-ibu, dalam pembuatan ikan asin mereka tidak menggunakan formalin. Dari Kampung Nelayan kupacu motor untuk menuju Museum Belitung. Pukul 16. 25 saya pun tiba di Museum Belitung.
[caption id="attachment_353929" align="aligncenter" width="300" caption="Pembuatan ikan asin di kampung nelayan (dok.pribadi)"]
[caption id="attachment_353931" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama istri-istri nelayan di kampung nelayan, Tanjung Binga (dok.pribadi)"]
Museum ini berada di Jalan Melati, berdekatan dengan RS Belitung. Museum ini menyimpan berbagai jenis bebatuan. Di dalam museum akan ditampilkan sejarah perjalanan eksplorasi penambangan timah baik secara tradisional maupun modern. Museum ini diprakarsai oleh Dr. Osberger yang merupakan seorang ahli Geologi yang berkebangsaan Austria pada tahun 1962.
Museum ini memiliki 4 ruang pamer. Pada bagian belakang museum terdapat kebun binatang. Tiket masuk ke museum hanya Rp. 2.000,-/orang. Setelah berkeliling museum Belitung dan rasa lapar pun menyerang, maka kuputuskan untuk menyantap mie atep sebelum menuju ke Kolong Murai.