Seseorang bisa menghentakkan kaki atau menggoyangkan badan bila mendengarkan musik tertentu, semakin keras hentakan musik mereka bisa jadi bergoyang lebih kencang tanpa peduli berapa kali senar bass di petik, fals atau tidak, apa ada bunyi senar yang ganjil, mereka terus bergoyang.
Sepak bola tak lagi sama dengan musik, penonton tidak hanya bersorak karena gol yang tercipta, lebih jauh, dalam perkembangannya sepak bola bisa menjadi hal yang valid dan terukur. Bahkan angka-angka dengan detail berhasil disuguhkan, bukan hanya untuk penikmat sepak bola, tetapi juga untuk kepentingan pelatih tentang instruksi kepada pemainnya tentang apa yang perlu diwaspadai dari tim lawan, berapa lama menguasai bola atau seberapa akurat tembakan Cristiano Ronaldo ke gawang lawan misalnya, sampai sedetail itu.
Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, bisa dibilang sedikit terlambat. Karena sepak bola eropa sudah memperkenalkan statistik sejak 66 tahun lalu, Thorold Charles Reep, adalah nama yang disebut sebagai sosok yang mencatatkan namanya sebagai tokoh statistik di sepak bola, menurut buku The Numbers Game: Why Everything You Know About Football is Wrong karya Chris Anderson dan David Sally. Menuliskan bahwa pada 18 Maret 1950, ada pertandingan Swindon melawan Bristol Rovers. Pertandingan inilah yang akhirnya menjadi laga pertama yang statistiknya dicatat oleh Reep. Cikal bakal statistik di laga sepak bola yang kita nikmati hingga saat ini.
Kembali ke laptop, maksud saya Labbola, hadir menjadi pionir bagaimana mereka bisa menyajikan data yang akurat, hingga data-data yang mereka himpun dengan tingkat kejelian tinggi seolah menjadi harta karun bagi pelatih-pelatih di Indonesia, tujuannya kalau tidak mencari kelebihan atau kekurangan, tentunya dengan amat detail dan terukur!
Nama Labbola semakin berkibar saat menjadi partner resmi GTS dalam penyelenggaraan Torabika Soccer Championship A, mereka menyediakan statistik secara umum yang disediakan secara gratis di web resmi Indonesiansc.com.
Lambat laun, perkembangan statistik memunculkan masalah-masalah baru. Bukan soal bagaimana pelatih mematikan tim lawan dengan melihat detail kelemahan pemain, bagaimana tingkat kepanikan bisa dilihat dari berapa lama dia menguasai bola atau jarak antar pemain yang bisa diukur.
Bagaimana baru saja kita baca di media bahwa Arema Cronus marah besar setelah mereka melawan Bali United, bukan karena hasil imbang 2-2, tetapi lebih kepada persoalan kejujuran (statistik), bagaimana mungkin Nemanja Vidakovic yang sudah mengantongi 5 kartu kuning, artinya dia tidak mendapatkan hak untuk tampil lawan Arema Cronus , ternyata bisa main?.
Lebih parah lagi ada dugaan bahwa situs resmi milik Torabika Soccer Championship A begitu pertandingan berakhir langsung mengubah kartu kuning milik Nemanja menjadi 6, dimana satu kartu yang dia dapatkan? Hingga saat ini GTS belum memberikan pernyataan resmi terkait hal tersebut.
Apa ini ada kong kalikong? Belum bisa disimpulkan, tapi kenapa persoalan ini hadir di penghujung turnamen Torabika Soccer Championship A yang didengung-dengungkan bahwa ini adalah miniatur kompetisi sepak bola professional masa depan Indonesia.
Jika GTS tetap kekeuh bahwa saat menghadapi Bali United Nemanja mengantongi 6 kartu kuning, maka lawan Bali United sebelumnya, Persegres, berhak marah besar karena di laga itu Nemanja merupakan pemain illegal.
Indra Sjafrie kepada media dengan tegas menyangkal tudingan yang dialamatkan kepada Nemanja, dia mengaku memiliki catatan sendiri soal status Nemanja. “Tanyakan hal itu pada GTS, kita memiliki catatan sendiri,” ucap mantan pemain pelatih Timnas U-19 ini.
Lepas dari hal itu, sepak bola tetaplah hal yang menarik, ingat Diego Maradona dengan gol Tangan Tuhan? Seluruh dunia tahu dan memahami, termasuk Maradona sendiri yang dengan jantan mengakui, meski selamanya akan menjadi kontroversi.
Dimana kejujuran Indra Sjafrie? Labbola dan GTS?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H