Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Otomatisasi Mendisrupsi Esensi Manusia sebagai Pekerja

6 Desember 2021   06:00 Diperbarui: 8 Desember 2021   14:05 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bekerja adalah hakikat manusia. Bekerja adalah sesuatu yang mulia dan luhur. Tapi sayangnya esensi bekerja sering terdegradasi. 

Tanpa disadari kita sering diperbudak oleh pekerjaan, entah karena sistem, keadaan maupun diri sendiri.

Banyak yang menilai pekerjaan adalah segala-galanya. Dalam budaya kita seringkali nilai kita sebagai manusia - dalam hal pekerjaan - ditentukan oleh status dan apa yang telah kita lakukan (capai).

Dalam masyarakat kita profesi dokter atau insinyur lebih dihargai ketimbang profesi satpam atau guru. 

Ukuran kesuksesan dalam karir sering diasosiasikan dengan nominal gaji, merk institusi/perusahaan dan jabatan.

Dengan kata lain, mengutip pendapat Hegel, pekerjaan adalah sarana untuk menemukan dan mengaktualisasikan diri.

Kita boleh saja tidak setuju tetapi prinsip “saya bekerja untuk anda (employer), maka Anda wajib memenuhi kebutuhan saya” dari abad 20 masih tertanam dalam kita. Namun, dunia terus mengalami perubahan. Kemajuan sains dan teknologi mengubah tatanan dunia, termasuk dunia kerja.

Lalu, apakah mental “saya bekerja untuk anda (employer), maka Anda wajib memenuhi kebutuhan saya” masih relevan ketika dunia mengalami disrupsi?

Otomatisasi

Revolusi industri 4.0, khususnya melalui kecerdasan buatan, telah mendisrupsi dunia kerja. Otomatisasi akan semakin dominan dalam dunia kerja. 

Tahun 2025 saja World Economic Forum dalam Future of Jobs Repot 2020 memproyeksikan tingkat otomatisasi akan mencapai 47%.

Kita akan semakin menjumpai robot humanoid - yang menurut ilmuwan sebagai Homo neanderthals versi modern - melakukan aktivitas atau bekerja.

Setiap tahun tingkat otomatisasi akan terus naik. Sumber: gettyimages
Setiap tahun tingkat otomatisasi akan terus naik. Sumber: gettyimages

Menurut ilmuwan kecerdasan buatan, tahun 2035 nanti robot cerdas akan mampu melakukan operasi bedah layaknya dokter bedah. Dan tahun 2135 yang akan datang kecerdasan buatan dapat melakukan semua pekerjaan manusia (Katja Grace, et al, 2016).

Jika hasil kajian para ilmuwan itu tepat, maka prinsip “saya bekerja untuk anda (employer), maka Anda wajib memenuhi kewajiban saya” tidak lagi relevan.

Maka, yang tersisa adalah apakah nilai kita sebagai manusia yang bekerja masih diukur dari pencapaian dan status? Apakah kita masih ditentukan dari apa yang kita lakukan?

Kebahagiaan

Pekerjaan telah membentuk kepribadian kita. Itu pula yang menentukan kita sebagai manusia. Ambisi kita untuk memperoleh karir, materi dan prestise (reputasi) dalam pekerjaan sering mengaburkan esensi bekerja.

Salah satu bentuknya adalah kita terlalu sering bekerja. Indonesia sendiri termasuk negara yang memiliki jam kerja yang panjang, yaitu 2.133,88 jam (sebelum pandemi) per pekerja dalam setahun (BPS, 2020).

Terlepas dari apapun motif yang membuat kita terlalu sering bekerja ternyata jam kerja yang panjang (lebih dari 40 jam dalam seminggu) berkorelasi dengan ketidakbahagiaan.

Data dari OECD tahun 2019 tentang Average Annual Hours Actually Worked per Worker dan World Happines Report 2019 menunjukkan bahwa orang yang memiliki jam kerja pendek umumnya lebih bahagia bila dibandingkan dengan orang yang memiliki jam kerja panjang. Bagaimana dengan produktivitas kerjanya?

Dalam penelitiannya, Clement S Bellet et al (2020) menemukan, produktivitas kerja meningkat 13% ketika pekerja merasa bahagia. Malahan, berdasarkan pendapatan domestik bruto (PDB), kontribusi pekerja di negara yang memiliki jam kerja lebih pendek cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja di negara yang memiliki jam kerja panjang (Robert C Feenstra et al, 2015).

Jam kerja yang panjang memperburuk kesehatan mental. Sumber: gettyimages
Jam kerja yang panjang memperburuk kesehatan mental. Sumber: gettyimages

Hasil penelitian tersebut tentu saja mematahkan mitos: semakin panjang jam kerja, produktivitas kerja semakin tinggi. 

Jam kerja yang panjang bukan hanya membatasi kita untuk membagi waktu bersama keluarga tetapi juga berdampak buruk terhadap kesehatan.

Kaori Satoa et al (2020) melakukan penelitian tentang korelasi jam kerja yang panjang dan kesehatan mental. Mereka menyimpulkan bahwa jam kerja yang panjang memperburuk kesehatan mental.

Tidak mengherankan apabila 41% kaum milenial dan 46% generasi Z yang telah bekerja mengalami gangguan kesehatan mental, seperti stres dan depresi (Deloitte, 2021).

Oleh karena itu, jam kerja yang pendek dengan upah yang baik adalah pilihan yang logis, bukan hanya untuk pekerja tetapi juga pengusaha dan pemerintah. 

Tentu, untuk mewujudkannya tidaklah mudah dan instan. Penyelesaiannya mesti dilakukan secara struktural, kultural dan tersistem. Namun, itu perlu diusahakan, bukan?

Bila tidak, maka kita perlu merenungkan 3 hal. Pertama, apa artinya bekerja keras bila kesehatan menurun? Kedua, adakah artinya karir cemerlang jika waktu bersama anak/istri/suami sangat minim? Dan terakhir, apa arti semua pencapaian bila kita tidak bahagia?

Kita Bukanlah Mesin

Pertanyaan di atas memang klise dan terkesan ideal. Tetapi, bukankah itu yang membedakan kita sebagai manusia pekerja dengan mesin cerdas/robot? 

Robot/mesin cerdas bisa bekerja keras, mungkin bisa memiliki karir yang bagus dan mencapai banyak hal. Tetapi, robot atau mesin secerdas apapun tidak akan bisa merasa bahagia.

Oleh karena itu, nilai kita sebagai manusia agak dangkal jika hanya diukur dengan status dan pencapaian. Kalau ukurannya sebatas aktualisasi diri robot lebih baik dari kita.

Robot tidak bisa merasa bahagia. Sumber: gettyimages
Robot tidak bisa merasa bahagia. Sumber: gettyimages

Kita perlu memperdalam esensi bekerja. Dalam bekerja, ukuran utamanya bukan hanya jumlah gaji, jabatan ataupun prestasi. Itu penting. Namun, yang lebih penting dan sering kita lupakan ialah apakah kita bahagia?

Harus diakui dimensi kebahagiaan luas dan terkadang ambigu. Tapi setidaknya dengan jam kerja pendek dan pendapatan yang baik, kita memiliki kebebasan untuk membangun kebahagiaan.

Ingatlah apa yang dikatakan begawan filsafat, Socrates, bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia.

Di sisi lain, kita juga tidak perlu terlalu kuatir meskipun semua pekerjaan rutin dan fisik diambil alih oleh mesin atau robot. Kehadiran robot dalam dunia kerja bisa memberikan manfaat bagi perekonomian dunia.

Firma PwC dalam studinya tahun 2018 menyebutkan, penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan dan mesin cerdas bisa meningkatkan pendapatan domestik bruto global tahun 2030 sebesar 14% (sekitar 15 triliun USD).

Selain akan semakin banyaknya jenis pekerjaan baru, kehadiran robot atau mesin cerdas dalam dunia kerja bisa menjadi momentum yang pas bagi kita untuk semakin terbiasa bekerja secara efektif dan efisien. Sehingga, kita lebih leluasa menjalani hidup sebagai manusia yang seutuhnya.

Semoga, bila masanya telah tiba jam kerja yang pendek akan menjadi standar dalam dunia kerja. Hal ini juga pernah diramalkan oleh ekonom John Maynard Keynes dalam esainya 9 dekade yang lalu, bahwa kita hanya perlu bekerja 15 jam dalam seminggu.

Akhirnya, hidup kita tidak hanya habis untuk bekerja, tetapi memiliki waktu yang cukup untuk “bersenang-senang”. 

Kebahagiaan harus senantiasa dibangun dan dipelihara. Sehingga, saat bekerja kita semakin berdampak kepada keluarga, institusi/perusahaan tempat bekerja dan negara.

Itulah nilai kita sebagai manusia. Bekerja dan bahagia sebagaimana mestinya karena kita bukan hanya sebagai Homo faber tetapi juga Homo ludens.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun