Dalam penelitiannya, Clement S Bellet et al (2020) menemukan, produktivitas kerja meningkat 13% ketika pekerja merasa bahagia. Malahan, berdasarkan pendapatan domestik bruto (PDB), kontribusi pekerja di negara yang memiliki jam kerja lebih pendek cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja di negara yang memiliki jam kerja panjang (Robert C Feenstra et al, 2015).
Hasil penelitian tersebut tentu saja mematahkan mitos: semakin panjang jam kerja, produktivitas kerja semakin tinggi.Â
Jam kerja yang panjang bukan hanya membatasi kita untuk membagi waktu bersama keluarga tetapi juga berdampak buruk terhadap kesehatan.
Kaori Satoa et al (2020) melakukan penelitian tentang korelasi jam kerja yang panjang dan kesehatan mental. Mereka menyimpulkan bahwa jam kerja yang panjang memperburuk kesehatan mental.
Tidak mengherankan apabila 41% kaum milenial dan 46% generasi Z yang telah bekerja mengalami gangguan kesehatan mental, seperti stres dan depresi (Deloitte, 2021).
Oleh karena itu, jam kerja yang pendek dengan upah yang baik adalah pilihan yang logis, bukan hanya untuk pekerja tetapi juga pengusaha dan pemerintah.Â
Tentu, untuk mewujudkannya tidaklah mudah dan instan. Penyelesaiannya mesti dilakukan secara struktural, kultural dan tersistem. Namun, itu perlu diusahakan, bukan?
Bila tidak, maka kita perlu merenungkan 3 hal. Pertama, apa artinya bekerja keras bila kesehatan menurun? Kedua, adakah artinya karir cemerlang jika waktu bersama anak/istri/suami sangat minim? Dan terakhir, apa arti semua pencapaian bila kita tidak bahagia?
Kita Bukanlah Mesin
Pertanyaan di atas memang klise dan terkesan ideal. Tetapi, bukankah itu yang membedakan kita sebagai manusia pekerja dengan mesin cerdas/robot?Â