Agar tidak dibodohi dan dimanfaatkan oleh aktor politik, termasuk agamawan yang berpolitik, selain berpikir kritis masyarakat juga harus bersikap skeptis.
Skeptis bukan apatis apalagi sinis. Kita harus sadar memilih apatis dan sinis malah membuat politik identitas dan kebencian semakin menjamur. Kita harus buang sikap apatis dan sinis, lalu beralih menjadi skeptis.
Skeptis artinya kita meragukan atau mempertanyakannya segala sesuatunya. Sikap ini akan menolong kita untuk tidak lagi dimanfaatkan untuk kepentingan elektoral semata.
Bukan hanya itu, dengan bersikap skeptis kita lebih berhati- hati dalam mendukung tokoh politik. Skeptis adalah kunci untuk tidak terperangkap dalam fanatisme, baik sebagai pemuja ataupun pembenci.
Pendeknya, sikap skeptis akan menjaga akal sehat sehingga kita bisa rasional menyikapi dinamika politik tanah air.
Mengapa Harus Skeptis?
Pengalaman adalah guru yang baik. Ya, kita harus belajar dari pengalaman. Apa yang bisa kita pelajari dari pesta demokrasi beberapa tahun terakhir?.
Pertama, sejatinya aktor politik tidak lagi memiliki ideologi. Birahi kekuasaan lebih besar daripada pengabdian. Mereka rela melakukan apa saja agar bisa berkuasa, termasuk memecah belah rakyat. Ketika kampanye mereka membutuhkan rakyat, namun selesai pesta demokrasi rakyat dilupakan.
Memang harus diakui kompromi adalah seni dalam politik. Tetapi, ada batas- batas tertentu dimana sikap kompromi tidak etis dilakukan. Bukankah UUD 1945 dan Pancasila adalah panduan kita dalam bernegara, termasuk berpolitik?.
Apabila aktor politik menjual ketakutan atau menggunakan sentimen agama demi kekuasaan, maka sesungguhnya itu bukan kompromi politik tetapi pelacuran politik. Jika partai politik masih memiliki ideologi mestinya kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan partai.
Alasan kedua mengapa kita harus bersikap skeptis: teknologi digital telah "melahirkan" tsunami informasi. Setiap detik kita disuguhi beragam informasi politik, baik hoax atau tidak, yang sarat kepentingan politis.