Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Manusia yang Bermedia Sosial, Antara Eksistensi atau Esensi?

10 Oktober 2020   06:37 Diperbarui: 11 Oktober 2020   03:03 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bermedia Sosial. Sumber: freedomandsafety.com

Media sosial merupakan salah satu penemuan yang revolusioner dalam sejarah umat manusia. Media sosial telah membentuk tatanan sosial dan budaya masyarakat modern. 

Keberadaan media sosial telah memberikan warna tersendiri dalam peradaban manusia. Media sosial berevolusi menjadi perangkat yang melekat dan menjadi kebutuhan bagi umat manusia.

Eksistensi Manusia

Pada dasarnya media sosial hadir agar kita tetap terhubung atau memiliki relasi dengan orang lain, dimanapun dan kapanpun. Teknologi ini hadir untuk menjawab kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. 

Sebelum era internet hadir, lazimnya kita membangun koneksi dengan teman atau keluarga yang jauh melalui surat. Sekarang, cukup dengan smartphone dan aplikasi seperti WhatsApp, kita bisa langsung terhubung melalui video call.

Dalam perkembangannya, media sosial tidak hanya dipakai sebagai sarana untuk membangun relasi. Media sosial telah berevolusi agar bisa memenuhi setiap hal yang diinginkan atau dibutuhkan oleh manusia. 

Kini, media sosial telah banyak digunakan dalam segala bidang kehidupan manusia. Mulai dari urusan pekerjaan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik hingga urusan pribadi.

Kehidupan manusia terus berkembang dan media sosial yang melekat pada manusia turut beradaptasi. Satu- satunya jenis manusia yang masih ada hingga saat ini adalah Homo sapiens

Jenis lainnya telah mengalami kepunahan. Salah satu yang menjadi pembeda Homo sapiens dibandingkan yang lain adalah kemampuannya dalam beradaptasi. Kemampuan ini yang menjadikan Homo sapiens mampu bertahan hidup atau survive.

Dulu sekali, nenek moyang kita di masa pemburu-pengumpul akan curiga dan lari bila melihat semak belukar bergoyang. Entah itu diakibatkan oleh angin atau keberadaan hewan buas, Homo sapiens pada saat itu akan menjauh untuk menyelamatkan dirinya. Pun, ketika menghadapi masa ice age, Homo sapiens mencari tempat baru, salah satunya adalah daerah pinggir pantai atau pesisir. 

Dari situ, Homo sapiens belajar bagaimana caranya menangkap ikan dan mengolahnya untuk dimakan. Kemampuan ini diturunkan hingga ke generasi sekarang. Dan ini pula yang mendorong kita untuk tetap eksis di era digital. 

Media sosial telah menjadi instrumen yang tak terpisahkan untuk melanjutkan keberadaan manusia. Bila tidak memiliki akun media sosial, kita dianggap kuno atau katrok.

Media sosial adalah simbol kemajuan manusia dalam berinteraksi. Eksistensi manusia di dunia maya sudah dianggap sama pentingnya dengan kehidupan nyata. 

Hampir setiap saat kita masuk ke dalam dunia media sosial. Kita dituntun untuk sekadar melihat perkembangan timeline, status orang lain, ataupun sekadar kepo untuk melihat apa yang sedang viral. Rasanya tak lengkap bila satu hari saja tidak mampir di dunia media sosial.

Perilaku Bermedia Sosial

Sayangnya, kegunaan media sosial sama besarnya dengan ekses yang dihasilkan. Ini terjadi karena manusia kerap menyalahgunakan media sosial. Perilaku ini mengingatkan kita pada kantong plastik. 

Kantong plastik yang ditemukan oleh ilmuwan Sten Gustaf Thulin, dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan manusia pada kantong kertas yang proses produksinya telah merusak alam. 

Namun, dalam perkembangannya, manusia tidak mampu menggunakan kantong plastik dengan bijak. Konsekuensi yang harus kita terima sekarang adalah sampah plastik semakin tahun semakin memenuhi bumi.

Ini semakin membuktikan bahwa tidak semua manusia di planet biru ini mampu beradaptasi dengan baik dengan perkembangan zaman. Inilah paradoks kita sebagai manusia. 

Ilustrasi Bermedia Sosial. Sumber: freedomandsafety.com
Ilustrasi Bermedia Sosial. Sumber: freedomandsafety.com
Media sosial yang semula dibuat untuk mendekatkan yang jauh justru bisa menjauhkan yang dekat. Kita bisa lihat di kafe ataupun pertemuan keluarga, apakah semua yang berkumpul saling mendengar dan memperhatikan atau malah sibuk dengan gadgetnya? 

Misalnya lagi, dalam sebuah seminar atau diskusi, berapa orang yang benar-benar memperhatikan orang yang sedang berbicara tanpa sibuk dengan melihat akun media sosialnya?.

Bila perilaku tersebut sudah menjadi budaya kita, pertanyaannya adalah apakah dunia media sosial memang lebih menarik dibandingkan dunia nyata, sehingga kita mengabaikan orang disamping kita karena sibuk dengan WhatsApp-an atau melihat foto- foto di Instagram? Apakah media sosial membuat kita semakin bahagia?.

Sekarang ini, masalah terbesar manusia sebagai makhluk sosial adalah kedangkalan. Tidak ada lagi kedalaman dalam sebuah relasi.

Disatu sisi, media sosial telah membuat jurang sosial antar manusia semakin lebar. Banyak teman di media sosial tetapi tetap merasakan kesepian. Ratusan bahkan ribuan berteman dengan orang lain di media sosial, tetapi hanya segelintir orang yang betul- betul kenal dan pernah ngobrol. Itupun cuma sebatas say hello dan basa- basi. 

Media sosial telah membajak hati dan pikiran manusia untuk tenggelam dan lebih menikmati relasi buatan (artificial relationship) di dunia maya yang semu, daripada relasi di dunia nyata yang terkadang bisa melukai hati.

Penyalahgunaan media sosial telah menumpulkan etika dan nurani kita sebagai manusia. Saat terjadi kebakaran atau kecelakaan, kita malah terobsesi untuk merekam dan menyebarkannya di media sosial. Ketika sedang makan pun, kita telah terbiasa menikmati makanan sambil bermedia sosial. 

Sebelum tidur pada malam hari atau setelah bangun tidur pada pagi hari, ritual utama kita adalah melihat timeline dan perkembangan dunia media sosial. Kita kecanduan menggunakan media sosial, sampai- sampai kita menjadi sakau bila sehari saja tidak muncul di media sosial.

Laporan Hootsuite yang dirilis pada Januari 2019 yang lalu, menunjukkan bahwa orang Indonesia rata- rata menghabiskan 3 jam 26 menit setiap harinya. Bahkan, menurut GlobalWebIndex tahun 2019, menempatkan Indonesia di peringkat keenam di dunia sebagai negara yang paling "sosial" di media sosial dengan rata-rata 195 menit setiap hari.

Masalah Sosial

Kecanduan akan media sosial telah merusak tubuh dan jiwa kita. Waktu, uang bahkan hidup kita habiskan di media sosial. Akibatnya, pikiran dan hati kita sulit berfungsi sebagaimana mestinya. 

Kita tidak lagi menjadi manusia seutuhnya. Kecanduan untuk senantiasa aktif di media sosial telah membuat kita lupa diri. Media sosial telah merampas hidup kita.

Psikolog Mark D. Griffiths dalam papernya yang berjudul Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned, seperti yang dikutip dari Psychology Today, menulis bahwa penggunaan media sosial bisa menimbulkan masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, kesepian, kecanduan, dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). 

Mark D. Griffiths menambahkan, kebiasaan untuk selalu memeriksa media sosial setiap saat telah membuat kita "takut ketinggalan" atau biasa disebut FOMO (Fear Of Missing Out). Dan gangguan mental akibat penyalahgunaan media sosial setiap tahun terus meningkat, khususnya remaja dan anak- anak muda.

Di media sosial tidak ada yang lebih buruk selain jari netizen yang liar. 

Jari tangan kita bisa menjadi air yang menyejukkan dan bisa menjadi api yang membakar. Dengan media sosial, orang yang sedang mengalami kesulitan bisa ditolong. Sebaliknya, perilaku buruk seperti menghujat, menyebar berita bohong, pornografi, bahkan membunuh bisa juga terjadi melalui media sosial.

Ilustasi Rasis dan Ujaran Kebencian di Media Sosial, Sumber : diverseeducation.com
Ilustasi Rasis dan Ujaran Kebencian di Media Sosial, Sumber : diverseeducation.com
Menjadi hakim moral bagi orang lain sudah menjadi penyakit sosial bagi manusia di masa sekarang. Media sosial membuat kita merasa lebih suci seakan-akan tidak memiliki aib. 

Terkadang kita memamerkan kerohanian dan ritus keagamaan lewat media sosial. Tetapi di lain waktu kita memaki orang lain di media sosial. Ada yang mengobral ayat Kitab Suci dan menampilkan simbol agama di media sosial, tetapi disisi lain kita rasis terhadap negara Vanuatu. 

Kita menunjukkan aksi bantuan sosial yang kita lakukan melalui media sosial. tetapi disisi lain kita menyebar kebencian. Tidak hanya itu, ada juga diantara kita yang berdoa kepada Tuhan lewat media sosial. Padahal dalam kesehariannya, mungkin tidak pernah berdoa kepada Tuhan secara pribadi. Semuanya menjadi paradoks ketika manusia bermedia sosial,

Media sosial telah membuat manusia semakin kreatif menunjukkan kemunafikannya. Kemunafikan paling halus tanpa kita sadari adalah sikap narsis di media sosial. 

Obsesi diri agar terlihat baik dan penting telah membuat sebagian warganet hanya menampilkan potongan dirinya yang baik. Malah, tidak sedikit yang menggunakan topeng ketika "hidup" media sosial.

Sisi terang dalam dirinya ditampilkan ke media sosial dalam bentuk kenarsisan diri. Perilaku tersebut sah-sah saja. Tetapi yang menjadi persoalan apabila kita melakukannya karena ego dan bersifat manipulatif. 

Sikap narsis agar selalu terlihat menarik bagi orang lain telah menjadi topeng yang selalu kita pakai di media sosial. Itulah sebabnya kasus penipuan marak terjadi melalui media sosial. Dan relasi yang dibangun di media sosial umumnya dangkal dan egois.

Disisi lain, ada juga yang biasa-biasa saja memperlihatkan sisi gelapnya. Aib atau kasus yang dialaminya, dituangkan dalam kicauan di media sosial. Alasan orang melakukannya sangat beragam. 

Ada yang melakukannya demi sensasi dan popularitas. Ada juga yang percaya media sosial bisa membantu menyelesaikan masalahnya. Harus kita akui, media sosial punya kekuatan untuk mewujudkan hal tersebut.

Coba kita perhatikan yang pernah viral di jagat maya, kebanyakan yang menjadi topik hangat dan populer adalah sesuatu hal yang tidak bermutu. Kebanyakan orang lebih suka mengikuti isu kebangkitan komunis daripada informasi tentang siapa- siapa saja yang mendapatkan hadiah nobel tahun ini.

Di negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, media sosial adalah saluran yang populer untuk bersuara. Media sosial bisa menjadi wadah untuk pertarungan ide dan perdebatan yang sehat dan konstruktif. Tetapi, sayangnya masih banyak diantara kita yang mudah sekali kehilangan akal sehat dalam menyikapi perbedaan.

Matinya akal sehat telah menjadikan media sosial sebagai lahan subur perilaku ad hominem. Pendapat dan argumen orang lain dibalas dengan menghujat pribadinya. Kritik dari orang lain dibalas dengan memberikan stigma buruk. 

Di media sosial, kita sering ribut dan gaduh oleh karena sesuatu hal yang receh. Akibatnya, persatuan bangsa menjadi rusak oleh karena diskursus yang tidak bermutu. Tidak hanya itu, akun media sosial yang kritis dan berbeda ide atau ideologi, begitu mudahnya dibungkam, diteror dan diretas.

Di era paska kebenaran atau post truth batasan antara benar dan salah menjadi bias dan abu-abu. Barangkali, hal ini disebabkan karena sebagian besar warganet menjadikan media sosial sebagai sumber kebenaran. 

Meskipun disinformasi dan kebohongan banyak tersebar di media sosial, kita masih saja terjebak didalamnya. Di masa kini, semua orang memiliki “kebenaran” versinya masing- masing. 

“Kebenaran” itu sekadar dipamerkan di media sosial tetapi tidak dihidupi. Celakanya “kebenaran” yang diyakini (meskipun keliru) dijadikan sebagai standar moral untuk menghakimi orang lain di media sosial.

Eksistensi atau Esensi?

Ilustrasi Manusia dan Media Sosial yang Berevolusi. Sumber : Akun medium WAAM.
Ilustrasi Manusia dan Media Sosial yang Berevolusi. Sumber : Akun medium WAAM.
Fenomena perilaku manusia dalam bermedia sosial akhir-akhir ini telah menunjukkan bagaimana perkembangan manusia dalam berinteraksi. Teknologi senantiasa mengupdate dirinya untuk menyesuaikan diri terhadap perilaku manusia. 

Sayangnya, manusia sering kebablasan dan tidak lagi memiliki prinsip. Artinya, ketika bermedia sosial, kita sering kehilangan etika dan moral untuk diri sendiri.

Meminjam teori evolusinya Charles Darwin, manusia berevolusi hanya untuk survive dan eksis. Ukuran dan nilai eksistensi dalam bermedia sosial di masa sekarang juga sangat dangkal.

Filsuf Soren Kierkegaard pernah mengatakan bahwa eksistensi manusia pada dasarnya adalah setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk memberikan makna hidup dan kehidupan serta menghidupinya secara bergairah dan otentik. Bukankah itu juga adalah esensi kita sebagai manusia, yang membedakan manusia dari ciptaan lainnya?

Yang patut kita renungkan dan refleksikan bersama adalah apakah selama ini media sosial adalah “tuan” atau “hamba” bagi kita? Apakah selama ini kita sekadar eksis di media sosial? Bagi kita, apa esensinya bermedia sosial?.

Selama media sosial menjadi tuan bagi kita, maka selama itu pula penyalahgunaan media sosial akan selalu ada. Artinya, kita telah dikendalikan oleh media sosial bukan sebaliknya. 

Dan selama ukuran eksistensi kita sebagai manusia diukur sebatas ada dan aktif di media sosial, maka bersikap rasional dalam bermedia sosial tidak akan pernah menjadi gaya hidup kita. 

Dampaknya sangat besar apabila kita mampu bersikap bijak dan rasional dalam bermedia sosial, salah satunya adalah kita terhindar dari gangguan kejiwaan seperti yang dijelaskan oleh Psikolog Mark D. Griffiths. 

Bila dulu filsuf Prancis Rene Descrates pernah mengatakan: "Aku berpikir, maka aku ada". Maka, filosofi manusia di masa sekarang adalah aku bermedia sosial, maka aku ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun