Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah yang (Belum) Menjadi Identitas

28 September 2020   07:11 Diperbarui: 30 September 2020   10:13 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentara Mengiringi Orang- Orang yang Dituduh Terkait PKI. Sumber : Perpustakaan Nasional RI via Historia.id

Tidak semua yang dibunuh adalah simpatisan PKI. Sejarah pembantaian massal itu tidak lain dan tidak bukan adalah peristiwa "bersih- bersih" ala Soeharto. Menurut banyak Sejarawan, korban pembantaian massal 1965-1968 setidaknya mencapai satu juta orang. Belum lagi jumlah orang yang menjadi korban tahanan politik karena dianggap antek atau mendukung komunis.

Negara pada saat itu terlibat langsung dan belum mau bertanggung jawab sampai hari ini. Kita (termasuk negara) tidak mau mengakuinya karena sejarah itu adalah aib yang memalukan. 

Orang Indonesia, rezim orde baru dan pendukungnya, membunuh sesamanya sendiri demi kekuasaan dan kebencian. Sampai sekarangpun, mereka yang keturunan dari korban 1965-1968 masih dicap sebagai pengkhianat bangsa. Tidak hanya itu, propaganda bangkitnya komunis atau PKI dan logo arit palu sangat laris sebagai barang dagang dalam konstelasi politik. Kita adalah bangsa yang ahistoris.

Sejarah Sebagai Identitas Bangsa

Kita bukanlah bangsa yang luhur ketika hanya mau merayakan sejarah kemerdekaan 1945 tanpa menyelami dan meluruskan sejarah kelam 1965-1968. Jangan harap kita bisa menjadi bangsa yang besar bila kita tidak mau memahami, mengakui dan menyelesaikan sejarah 1965-1968. Hanya dengan cara itu, kita bisa belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang sama dimasa depan.

Adalah suatu anomali ketika bangsa ini mau mengejar impian Indonesia maju pada tahun 2045, tetapi punya utang sejarah yang belum lunas. Ingin berlari ke masa depan tetapi ada beban masa lalu dipundaknya. Kita harus belajar dari negara Jerman dan Jepang. Jerman dan Jepang menjadi negara besar, antara lain, karena dua negara itu telah belajar dari masa lalunya. Walaupun belum sepenuhnya, Jerman dan Jepang telah mengakui dan menuntaskan sejarah kelamnya dimasa lalu.

Sebagai bangsa, peranan sejarah sangat penting sebagai identitas nasional. Barangkali, salah satu yang membuat kita sulit menerapkan nilai- nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa sekarang adalah karena kita telah meninggalkan sejarah bangsa.

Baik atau buruk peristiwa sejarah, tetap saja sejarah itu telah mewarnai identitas bangsa Indonesia. Kita tidak bisa menyangkal sejarah yang gelap seperti peristiwa 1965-1968, karena itu melekat dan membekas dalam perjalanan bangsa. Diperlukan sikap yang terbuka, jujur dan mau belajar. Karena, melalui sejarah kita belajar menjadi bijak. Sejarah adalah pijakan kita (bangsa ini) untuk melangkah ke masa depan agar tidak kehilangan identitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun