Pandemi Covid-19 telah membuka banyak selubung manusia. Salah satunya adalah kehidupan rumah tangga atau suami istri. Di beberapa tempat, selama pembatasan sosial yang memaksa suami/istri menghabiskan banyak waktu di rumah dengan pasangannya, angka perceraian justru meningkat pesat.
Ada banyak faktor yang menyebabkan suami istri bercerai. Penyebabnya bisa dari dalam atau dari luar. Apapun penyebabnya, intinya adalah rumah tangga tidak berfungsi dengan baik.
Rumah tangga tidak berfungsi dengan baik pasti dimulai dari orang yang membangun dan menjalani rumah tangga itu sendiri, yaitu suami dan istri. Kalau rumah tangga berfungsi dengan baik, menghabiskan waktu di rumah akibat pembatasan sosial, harusnya menjadi momen yang intim dan penuh kebersamaan dengan pasangan. Hal yang mungkin jarang terjadi sebelum pandemi karena kesibukan pekerjaan.
Memang harus diakui bahwa faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam rumah tangga. Misalnya, suami dipecat dari kantornya sehingga membuat ekonomi keluarga terguncang. Akibatnya, pertengkaran suami istri tak bisa dihindari. Disinilah kedewasaan dan komitmen pernikahan diuji. Kalau pondasi pernikahan benar, kecil kemungkinan pertengkaran berlanjut ke perceraian.
Badai bisa menghancurkan atap rumah, tetapi jika pondasinya kokoh, rumah akan tetap ada. Begitu juga dengan pernikahan. Badai yang mengguncang bahtera rumah tangga bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Termasuk pernikahan yang memiliki pondasi yang baik sekalipun.
Mungkin, sekali lagi mungkin, salah satu faktor penyebab tingginya angka perceraian selama pembatasan sosial dimasa pandemi adalah terungkapnya perselingkuhan yang selama ini menjadi selubung dalam pernikahan.
Menurut jurnal yang dipublikasikan Finchman & May tahun 2017, perselingkuhan merupakan salah satu penyebab utama perceraian. Salah satu tempat yang subur terjadinya perselingkuhan adalah tempat kerja.
Bekerja adalah hakikat manusia. Kita menghabiskan sebagian besar waktu untuk bekerja. Tempat kerja sudah menjadi rumah kedua bagi para pekerja. Selama bekerja, kita memiliki relasi dengan orang lain, salah satunya adalah rekan kerja.
Sebagai gambaran, menurut survei situs kencan Illicit Encounters yang dilakukan di Inggris Raya, sebanyak 39% perempuan dan 31% laki- laki pernah berselingkuh di tempat kerja.
Manusia adalah makhluk sosial. Memiliki relasi dengan orang lain adalah kebutuhan manusia. Setiap manusia memiliki hasrat untuk dicintai dan mencintai. Disisi lain, dalam sebuah relasi, laki- laki dan perempuan adalah ciptaan yang rapuh dan rentan
Dalam sebuah relasi atau dalam kehidupan sosial, umumnya mata adalah kelemahan laki- laki, sedangkan perempuan terletak pada telinganya. Dari titik kelemahan itu, jika tidak memiliki kendali diri yang baik, laki- laki dan perempuan bisa terjebak dalam relasi yang tidak sehat, termasuk perselingkuhan.
Sains menjelaskannya secara jelas. Ketika seorang laki- laki memandang seorang perempuan cantik, maka matanya akan memberi sinyal kepada otak bahwa perempuan itu menarik. Lalu, hormon dopamin akan menguasai otak. Timbul sensasi nikmat dan ketagihan. Itulah perasaan jatuh cinta atau kasmaran.Â
Bila perasaan itu sudah membajak otak, maka laki- laki bisa menjadi tidak rasional. Perempuan juga mirip seperti itu. Bedanya hanya diawal. Saat ia diperhatikan secara intens oleh seorang laki- laki yang menyukainya dan ia merespon dengan baik, maka otak perempuan itu akan dipenuhi dopamin, yang membuat ia "bahagia". Muncul sensasi jatuh cinta. Perasaan itu juga akan membuatnya sulit rasional bila sudah membajak otak.
Bila berlanjut ke dalam hubungan terlarang, hormon oksitosin akan memenuhi sistem tubuh. Dampaknya, seperti orang yang baru jadian atau menikah. Dan itu akan membuatnya ketagihan, ingin selalu bersama sepanjang waktu. Proses hormonal atau biokimia yang terjadi pada orang yang sedang kasmaran, menurut ahli neurosains, juga terjadi pada orang yang sedang selingkuh.
Selingkuh sejatinya tidak hanya tentang memiliki relasi dengan yang lain selain pasangan. Selingkuh adalah suatu kondisi atau proses dimana seseorang yang telah memberikan perasaannya kepada pasangan tetapi mengambilnya, sebagian atau seluruhnya, kemudian memberikannya kepada orang lain tanpa diketahui pasangannya.
Selingkuh esensinya adalah tidak setia, tidak jujur, dan berlaku serong. Sedangkan didalam cinta ada kejujuran dan kesetiaan. Selingkuh bukan memberi atau membagikan cinta kepada orang lain yang bukan pasangan. Karena "cinta" kita kepada pasangan bukanlah cinta, kalau kita selingkuh. Ketika kita selingkuh, saat itu juga, sejatinya kita sedang tidak mencintai pasangan.
Mungkin, hampir semua orang pernah selingkuh. Ada yang berselingkuh secara fisik. Selingkuh secara fisik sudah sampai ke tahap melibatkan kontak fisik dengan selingkuhan. Perseliingkuhan secara fisik biasanya sudah terjadi cukup lama dan dalam. Kalau sudah tidak terkontrol, perilaku berpelukan, berciuman, atau bahkan bercinta tidak sulit untuk dilakukan. Bahkan, ada yang sampai menikah dengan selingkuhannya.Â
Tetapi, ada juga yang berselingkuh secara emosional atau perasaan. Selingkuh pada tahap ini biasanya belum ada kontak fisik dengan selingkuhan. Prosesnya bisa sudah lama atau masih baru. Selingkuh yang seperti ini mungkin saja pernah kita lakukan tanpa kita sadari.
Kita bisa saja bukan tipikal orang yang agresif dan pemalu. Tetapi, diam-diam kita bisa memiliki perasaan suka kepada seseorang, termasuk rekan kerja di kantor. Kita ingin ketemuan, dekat denganya atau berfantasi tentang dia. Kita mungkin suka stalking media sosialnya. Ini juga termasuk perselingkuhan.
Pada tahap yang nekat, kita berani menggodanya (flirting) dan membangun hubungan Teman Tapi Mesra (TTM) atau Friend With Benefit (FWB). Meskipun belum atau tidak terjadi kontak fisik, tetap saja sudah berselingkuh. Karena, sebagian atau seluruh perasaan kita untuk pasangan telah kita berikan kepada orang lain.Â
Kita tidak setia dan tidak jujur dengan diri sendiri dan pasangan. Konsekuensinya adalah kita tidak lagi memikirkan pasangan dan mengkhianati janji pernikahan. Perasaan kepada pasangan luntur dan hilang. Waktu dan kebersamaan dengan pasangan berkurang atau menjadi tidak ada.
Orang yang selingkuh cenderung menyembunyikan perselingkuhannya dari pasangan. Kesadaran dan rasionalitasnya sudah mati. Orang yang selingkuh dengan rekan kerja akan lebih nyaman di kantor daripada rumah.Â
Kalau ini sudah menjadi kebiasaan, maka suatu saat akan menjadi bom waktu. Ketika ketahuan oleh pasangan, maka yang terjadi adalah pertengkaran dan perceraian. Barangkali, itu yang terjadi dengan kasus perceraian yang marak terjadi selama pandemi Covid-19.
Semua itu bisa terjadi karena keliru membangun pondasi pernikahan. Pondasi pernikahan yang benar juga tidak cukup. Harus dirawat. Mengapa tetap perlu dirawat?. Karena, "cuaca" dan "iklim" tidak selalu baik atau cerah. Bahkan bisa merusak rumah pernikahan.
Dengan gadget dan media sosial kita bisa menjaga relasi dengan pasangan, khususnya ketika sedang berjauhan. Tetapi, dengan gadget dan media sosial juga, kualitas hubungan suami istri bisa berkurang. Hal ini bisa terjadi karena masing- masing sibuk dengan gadget dan bermedia sosial.
Perkembangan teknologi juga memungkinkan kita berselingkuh lewat aplikasi online. Tidak hanya itu pornografi melalui internet juga telah menjadi selingkuhan bagi beberapa orang. Kecanduan akan pornografi bisa merampas cinta dan merusak keutuhan pernikahan.
Dibutuhkan komitmen dan konsistensi untuk merawat cinta dan pernikahan. Kejujuran juga penting dan menentukan. Siapa sih yang tidak pernah punya perasaan suka kepada orang lain yang bukan pasangannya?. Itu manusiawi dalam batas tertentu.
Perasaan suka kepada seseorang bisa datang sekejap lalu hilang atau sempat bersemayam dalam pikiran. Oleh karena itu, kita harus berdamai dan menyelesaikannya dengan jujur kepada diri sendiri dan pasangan- termasuk selingkuh dengan pornografi-, agar api kecil itu tidak membakar rumah yang kita bangun dengan pasangan.
Dengan komitmen dan konsisten merawat cinta dengan pasangan serta relasi yang dijalani dengan kejujuran, maka pernikahan yang sudah dibangun dengan benar akan tetap kokoh dan berfungsi dengan baik. Suami dan istri yang membangun dan menjalani pernikahan yang seperti itu tidak akan mudah jatuh dalam godaan perselingkuhan. Dan bagi mereka, tidak ada kata perceraian dalam kamus pernikahannya.
Kuncinya adalah pondasi pernikahan. Kalau rumah tangga tidak dibangun dengan pondasi yang benar, pasti kesulitan dan kebingungan untuk merawatnya. Maka yang tersisa hanyalah sebuah rumah tangga yang tidak berfungsi dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H