Isu lain yang pernah berembus adalah BLBI hingga transaksi penjualan satu bank nasional di masa lalu. Tentu saja, semua itu perlu dibuktikan dengan audit investigatif atau audit forensik; suatu pekerjaan itu mencemaskan sejumlah orang, termasuk auditornya.
Di bidang politik, kebijakan kepartaian dan pemilu menciptakan sistem dan proses politik yang mahal. Untuk jadi kandidat elite politik, baik caleg di tingkat daerah maupun pusat, bupati, wali kota, gubernur, diperlukan biaya sangat besar, bahkan untuk pengeluaran yang sah, misalnya iklan, kampanye, pengawas kotak suara. Semua itu memaksa calon mendapat "sponsor" yang harus dibayar kembali setelah dia berkuasa lewat berbagai cara tak wajar.
Memang proses demokrasi tidak murah. Namun, kalau hasilnya justru cenderung merobek demokrasi, itu merupakan cerminan kebijakan, sistem, dan situasi masyarakatnya.
Harapan agar masyarakat yang menghukum caleg yang korup tak bisa diandalkan. Sebab, untuk memberantas korupsi diperlukan strategi dan masyarakat yang sungguh- sungguh melek politik. Hope is not a strategy, kata Rick Page (2002).
Demokrasi republik membutuhkan lembaga-lembaga penyeimbang, khususnya lembaga pengadilan yang bersih dan arif. Tanpa itu semua, demokrasi justru bisa menjadi alat penindasan baru dengan melahirkan sistem politik plutokrasi; suatu sistem yang dikuasai orang kaya dan para pemodal, di samping juga memunculkan para demagog dan narsisis politik.
Korupsi paling jahat
Korupsi kebijakan adalah korupsi yang paling jahat. Kebijakan publik adalah mesin pencipta kesejahteraan bangsa. Jika mesinnya korup, hilanglah kesempatan bangsa itu untuk mencapai kesejahteraan. Hari ini kita melihat, lembaga seperti MA pun tidak berpihak kepada publik dengan alasan membela tersandera UU di atasnya.
Saat ini, pusat korupsi tidak berada pada transaksi-transaksi gelap atau tidak sah, tetapi pada kebijakan-kebijakan publik yang menciptakan ekosistem bernegara dan berbangsa yang korup. Semua bergumam dalam gelap. Kita tidak tahu, kapan bangsa ini dapat berbicara lantang melawan kebijakan korup.
Kebijakan untuk menghukum koruptor seberat-beratnya telah jadi agenda publik sejak reformasi digulirkan, termasuk hukuman memiskinkan koruptor hingga hukuman mati.
Namun, sampai hari ini kebijakan pemberantasan korupsi terus berhadapan dengan ambiguitas. Dalam hal korupsi kebijakan, bukan lagi kebijakannya dikorupsi, melainkan kebijakannya sendiri sudah korup.
Korupsi kebijakan seharusnya jadi mata kuliah baru yang harus diajarkan di mana-mana agar publik menyadari persoalan serius itu. Dengan telaah semacam "audit forensik" kita dapat melihat bahwa kerusakan bangsa terjadi karena kebijakannya sudah korup. Artinya, korupsi ada sejak di hulu, pada kebijakan dan peraturannya.