(pernah diterbitkan pada Kolom, Kompas, 25 September 2018)
Hari-hari terakhir ini, ambiguitas kebijakan memberantas korupsi kembali terpapar dengan putusan Mahkamah Agung yang mencabut Pasal 4 Ayat 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 20/2018.
Putusan uji materi itu membatalkan pasal yang melarang bekas terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak jadi calon anggota legislatif. Pasal itu dianggap bertentangan dengan UU Pemilu. Dengan demikian, bekas napi untuk jenis kejahatan itu boleh jadi caleg dalam Pemilu 2019 asal memenuhi syarat yang ditentukan UU Pemilu karena putusan MA juga mencabut Pasal 60, huruf (j) PKPU No 26/2018.
Pernyataan Presiden Jokowi bahwa dirinya tidak bisa mengintervensi putusan MA mungkin benar. Namun, dia lupa bahwa keyakinannya mengenai semakin matangnya masyarakat pemilih tidak bisa diandalkan.
Dalam setiap proses pemilu, politik uang masih terus berlangsung. Sejauh ini belum ada pasal khusus yang mengatur segala hal terkait politik uang, termasuk manipulasinya, dalam penyelenggaraan pemilu. Apalagi slogan "terima uangnya, jangan pilih orangnya" terus didengungkan.
Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang memberikan pembelajaran bagi semua warga negara, baik secara individu maupun organisasi atau lembaga, untuk hidup lebih baik, lebih bermutu. Kebijakan yang tidak mampu menjangkau ke sana bukan kebijakan publik, melainkan kebijakan rezim, kebijakan golongan, dan/atau kebijakan pribadi.
Pelunakan ekosistem
Putusan MA itu secara sistematis menciptakan pelembekan ekosistem pemberantasan korupsi. Para legislator adalah aktor utama pembuat kebijakan UU, di pusat ataupun daerah. Jika aktornya bekas terpidana korupsi, sulit dihindari pikiran korup jadi pertimbangan pembuatan kebijakan.
Tak mengherankan jika ada sejumlah kebijakan publik pada tingkat UU yang korup karena kebijakan itu menciptakan kesempatan atau sistem yang korup. Kebijakan itu membentang mulai dari sektor ekonomi hingga UU sektor politik.
Di sektor ekonomi, contoh kebijakan yang dapat dianggap menciptakan kesempatan korupsi adalah UU 22/2001 tentang Migas, dan sejumlah kebijakan turunannya. Sektor paling "basah" dan tidak banyak diketahui publik isu-isu teknisnya.
Kebijakan yang ditengarai punya masalah, baik secara material maupun secara formal itu, telah menjadi perhatian publik pada Agustus-September 2008, tetapi kemudian menguap.