Mohon tunggu...
Rianti Marena
Rianti Marena Mohon Tunggu... -

kulikata

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sandiwara Radio

27 Januari 2015   23:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:16 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miris rasanya jika mendengar komentar - terlebih dari orang-orang terdekat - yang meremehkan sandiwara alias drama radio.

Oh... masih ada, yak, sandiwara radio?

Er... Brama Kumbara? Raden Bentar?  Arya Kamandanu? Mei-Shin ...?

Wah, udah nggak kenal yang namanya radio, tuh. Dengerin aja jarang, apalagi muter drama. Mending nonton TV atawa nyetel film sendiri. Udah, habis perkara. Ngapain susah? Radio? Hare gene? Ahak-ahak... Kagak jaman keles!

Mungkin jika saya ini hidup pada era 70-80'an, apa yang saya (dan teman-teman) lakukan saat ini akan lebih dihargai. Curhat, nih, ceritanya. Sakit hati? Sedikit. Kecewa, ya. Patah semangat? No!

Mengapa saya harus miris? Saya beri tahu alasannya. Saya adalah seorang penulis naskah drama radio sekaligus pengarah dialog (bahasa kerennya dalam kasus ini adalah sutradara). Kenapa? Aneh? Ah, mungkin, hanya tidak biasa. Tidak bagi Anda, tidak pula saya. Ini bukan profesi saya. Belum. Tapi mungkin pada waktu mendatang ini akan jadi salah satu titik fokus saya. Percaya atau tidak, saya bahkan keluar dari pekerjaan reguler supaya bisa fokus menggali potensi diri dalam dunia penulisan. Hmm, langkah yang nekad? Mungkin. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya sukai. Menulis naskah drama radio adalah salah satunya, meski saya masih belajar.

Nah, lalu apa masalahnya? Menjadi sulit bagi saya mengajak orang-orang sekitar untuk kembali mengenal dan memperhatikan sebuah benda bernama radio. Fungsi radio dalam era 'gadget-baru-tiap-bulan' seperti sekarang mungkin nyaris terlupakan atau sengaja ditinggalkan. Jangankan menyimak drama radio, mendengarkan lagu lewat radio saja mungkin tidak. Bisa jadi generasi 'cucu-cicit' saya nanti menganggap radio adalah sebuah benda purba atau bersejarah layaknya saya memandang komputer analog pada masa ini.

Jadi, ngapain susah-susah bikin drama radio segala? Gila! Mending bikin naskah ftv atau sinetron. Hasil plagiasi pun dihargai tinggi dan dianggap sebagai karya adaptasi berkualitas tinggi. Tak hanya itu! Bandingkan saja, berapa jumlah pemasukan yang bisa diperoleh? Membuat naskah drama serial televisi bersambung (1x kontrak biasanya 13 episode yang tentu dapat diperpanjang jika rating penonton dan sponsor banyak) bisa dihargai 2x lebih tinggi daripada mengonsep+menyusun naskah+menyutradarai drama serial radio 25 episode dengan durasi tayang/putar yang sama. Lumayan menggiurkan? Ya begitulah fakta yang saya hadapi sekarang.

Lalu kenapa tidak banting setir saja? Bikin saja naskah lalu jual ke rumah produksi. Kalau tidak dinakali, honor naskah itu sudah pasti lumayan. Dan itu pun honor ide-konsep dan menulis saja.

Sempat terlintas begitu. Tapi, saat ini saya sedang mengulas sandiwara radio yang sejak 2012 saya buat. Drama yang saya tulis dan diperdengarkan di Yogyakarta juga Papua, tepatnya Wamena. Meski kontrak terus diperpanjang dan permintaan terus ada, apakah sungguh-sungguh didengar dan dinikmati oleh khalayak, ya? Jujur saya jadi bertanya-tanya. Selama ini tidak ada tanggapan, adem-ayem saja. Bahkan adanya drama radio itu pun cenderung tidak diketahui.

Emang beneran diputar? Iya. Sungguh-sungguh drama radio itu diperdengarkan. Sejak tahun 2012 (resminya) naskah yang saya buat sungguh-sungguh diproduksi dalam arahan saya sendiri. Saya punya daftar judul dan salinan seluruh naskahnya. Tapi saya tidak dapat feed-back-nya. Apa yang dikatakan para pendengar soal drama-drama ini? Adakah yang mendengarkan? Adakah yang menikmati dan merasakan manfaatnya? Menghiburkah? Cukup edukatif atau informatifkah? Hingga saat ini, saya belum tahu. Terlebih orang-orang di sekitar saya sepertinya susah sekali diajak ikut mendengarkan drama radio. Alasan mereka seperti yang saya tulis di atas, sebelum ini. Tentunya masih banyak lagi dan rata-rata sumbang, tidak enak untuk didengar dan cukup membuat saya malas melihat mereka lagi. Sebal dan kesal boleh, dong. Wajarlah. Tapi bukan berarti saya membenci mereka. Justru sekarang saya masih berusaha mencari tanggapan dari apa yang sudah saya dan teman-teman lakukan. Apa yang kurang dari drama radio kami? Bukankah radio juga media untuk berekspresi dan mengeksplorasi talenta diri? Jadi, perkataan bahwa radio itu benda purba dan mendengarkan radio adalah kegiatan yang nggak jaman alias jadul bukan dalih dari 'malas-aja-dengerin-radio-hare-gene-geto-loh', kan?

Lain lagi ketika saya kebetulan berbicara dengan orang-orang sepuh atau katakanlah orang-orang yang mengingat bagaimana jayanya drama radio jaman baheula. Drama radio yang mereka bahas adalah drama yang dulu diputar tatkala es abadi di kutub utara belum kentara mencair, permukaan air laut belum setinggi abrasi sepanjang pantai Jakarta dan pesisir pantai utara Jawa, banjir di Muara Gembong dan Indramayu belum menghanyutkan tambak-tambak udang sekaligus spot birdwatching for waterbird paling menarik, facebook dan tweeter masih diuji coba, e-mail masih terlalu canggih dibanding bel kring-kring onthel pak pos, dan para pemeran Mahabarata yang asli India itu belum seganteng-senarsis-dan-se'terekspos sekarang. Mereka masih asyik membicarakan drama radio era 70-80'an yang nota bene ketika itu diputar masih sesuai dengan kondisi lingkungan baik sosial-ekonomi-budaya-alamnya dekat dengan mereka dan dialami saat itu. Kondisi dan tantangan zaman sudah berbeda.

Mana sanggup saya jika harus membandingkan karya saya yang masih kecil dengan karya-karya yang bahkan gaungnya masih terdengar sejak saya belum lahir hingga mereka yang membahas semua itu dengan saya bahkan sudah punya cucu-cicit?

Ah... kenapa saya jadi terdengar putus asa begini? No-no! Bukan itu maksud saya. Saya hanya perlu membuat orang tertarik menyimak apa yang sudah saya dan teman-teman saya lakukan. Tapi, saya belum tahu caranya. Yah, mungkin ini yang dinamakan proses. Saya sebagai penulis berproses, teman-teman pemeran, mixingman dan editor berproses. Bahkan masyarakat selaku pendengar dan penikmat pun berproses,  kan? Kesimpulannya adalah tetap sabar dan terus berusaha. Namun, kapan proses yang melibatkan banyak elemen ini berjalan sesuai dengan harapan? Atau mungkin memang harus kandas suatu saat nanti? Bukan karena tak mampu menghadapi tantangan juga kalah dengan hambatan melainkan kehilangan tekad dan semangat untuk terus kreatif, berbenah diri, memperbaiki kualitas dan mengupayakan yang terbaik. Mungkin hanya Tuhan yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun