Tegaknya kedaulatan hukum serta penghormatan terhadap hak-hak setiap warga Negara tanpa adanya diskriminasi merupakan cita-cita Era Reformasi. Pada faktanya, kebebasan di era reformasi justru memunculkan tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan keyakinan.
Pilar sebuah negara menjadi kekuatan bangsa dan negara, salah satunya yakni Bhinneka tunggal ika (berbeda beda tapi tetap satu) merupakan simbol negara, namun simbol itu hanya menjadi khiasan dan kebanggaan akan simbolnya. namun pada realitanya, selalu ada yang namanya disharmoni antara kata dan fakta. Antara yang terjadi dan yang semestinya terjadi. Seperti yang terjadi di wilayah jawa terhadap kelompok minoritas agama lain.Â
Perlu diketahui bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk melakukan perlindungan hukum terhadap kelompok minoritas. Hal ini bisa kita lihat dari kebijakan-kebijakan yang sudah diterbitkan. Adapun aturan hukum terhadap hak asasi kelompok minoritas di Indonesia diatur dalam Pasal 28D, Pasal 28E dan Pasal 28I undang-undang dasar 1945, dan juga tersirat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Diskriminasi merupakan suatu sikap, perilaku, dan tindakan yang ditujukan pada suatu kelompok berdasarkan latar belakang diri seperti ras, warna kulit, bentuk fisik, suku, agama, dan kelas sosial untuk mendapatkan sumber daya.Â
Umumnya, tindakan diskriminasi dilakukan oleh golongan yang lebih besar (mayoritas) kepada golongan lain yang lebih kecil (minoritas). Hal ini tentu bukanlah hal yang baik, mengingat kita memegang ideologi Pancasila, yaitu ideologi yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila tindakan ini terjadi terus-menerus dalam jumlah yang banyak, tentu akan menodai kemurnian Pancasila serta menimbulkan perpecahan antar golongan di kehidupan bermasyarakat.
Menilik dari beberapa peristiwa di beberapa daerah jawa seperti larangan membangun tempat peribadahan agama lain, dilarang beribadah dan lain sebagainya. hal ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan pemahaman nilai-nilai, norma-norma serta doktrin ajaran yang dipegang oleh masyarakat dapat menimbulkan kekerasan serta diskriminasi antar umat beragama. Ironisnya, perbedaan yang ada di lingkungan masyarakat juga dapat menjadi faktor timbulnya tindakan diskriminasi.
Penyebab lain dari timbulnya sikap diskriminasi adalah adanya stereotip. Stereotip adalah pandangan yang tidak tepat terhadap suatu individu atau kelompok. Hal ini disebabkan karena stereotip adalah suatu hal yang dilekatkan terhadap seseorang atau kelompok tanpa mengetahui kebenarannya terlebih dahulu.Â
Timbulnya diskriminasi yang dikarenakan lemahnya hukum diawali dari sikap pemerintah daerah yang mendukung kelompok yang intoleran seperti tidak adanya keberpihakan kebijakan bagi kelompok minoritas dalam melawan intoleran. Hal itu menimbulkan kekerasan terhadap kelompok minoritas karena merasa mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Bagaimana Strategi yang dapat meminalisir Diskriminasi terhadap kelompok minoritas?
Masyarakat Indonesia secara umum masih awam dalam melihat kelompok minoritas. Sesuatu yang berbeda dengan mainstream atau kebiasaan umum seringkali dianggap asing, abnormal. Hal ini bisa dilihat dari tindakan masyarakat itu sendiri, yang mana sifat intoleransi terhadap sesama masih dialami di dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan masih belum mampu diterima secara utuh oleh rakyat kita yang notabenenya terdiri dari beragam suku bangsa, agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat. Hal ini bisa kita lihat kasus diatas yang terjadi terhadap kelompok minoritas.
Untuk memulainya, masyarakat harus melakukan identifikasi masalah yang dapat menimbulkan diskriminasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menolak segala unsur yang menyatakan gagasan bahwa agama minoritas itu salah melalui dialog-dialog interaktif di berbagai media atau tempat ibadah-ibadah. karena hal ini menjadi artikulasi yang melahirkan pandangan-pandangan yang salah, sehingga menyebar layaknya virus di kalangan umat beragama.
Strategi kedua adalah menyelesaikan insiden diskriminatif yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Dalam kejadian ini bahwa pemerintah membuat kebijakan keras di berbagai daerah khususnya di wilayah jawa yang diperbolehkan pendirian tempat ibadah bagi kelompok minoritas dan peribadahannya.
Sebagai pengalaman penulis dengan data informasi dan observasi langsung, bahwa di wilayah timur khususnya Maluku dan Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi model toleransi antar umat beragama, hal itu dapat dibuktikan dengan pengakuan serta penghargaan yang diterima oleh kedua provinsi ini.Â
Dan dapat dikatakan bahwa dalam setiap peringatan hari umat beragama, misalnya perayaan idul fitri ditandai dengan sholat Id berjamaah di masjid atau tempat umum, maka umat dari katolik dan Kristen akan menjaga keamanan selama umat muslim melakukan ibadah sholatnya, begitupun saat perayaan natal, umat muslim bersedia menjaga keamanan bagi umat katolik dan Kristen yang melaksanakan ibadah natal.
Strategi ketiga adalah menciptakan wadah alternatif dalam ajaran agama tentang nilai perdamaian. Karena semua agama tidak mengajarkan diskriminasi. Faktanya, semua agama mengajarkan kebaikan, kasih sayang, toleransi, dan persatuan. dan tidak kalah penting bahwa akarnya harus melakukan perubahan pada sistem pendidikan agama yang menjadi pertimbangan dalam upaya meminimalisir tindakan diskriminasi.Â
Hal ini berguna karena sistem pendidikan agama yang diberikan tidak hanya kepada anak-anak, tetapi juga kepada orang tuanya dan masyarakat luas. dan sebagai harapan bahwa hal ini berdampak langsung pada pola pikir umat beragama di seluruh wilayah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H