Mohon tunggu...
Ria Nofemri Rahmadani
Ria Nofemri Rahmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Baca novel, komik. Nonton Anime

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pers pada Masa Reformasi

29 Juni 2024   16:53 Diperbarui: 29 Juni 2024   17:35 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teman-teman tau tidak mengenai pers pada masa reformasi itu bagaimana?

Sebelum pembahasan mengenai pers pada masa reformasi, sebenarnya pers itu apa si?

Pers dalam arti sempit diartikan sebagai surat kabar, majalah dan media cetak. Sedangkan dalam arti luas disebut sebagai media massa. Lalu pengertian pers menurut UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang terdapat pada Bab I Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Pers adalah lembaga kemasyarakatan dan merupakan sarana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan semua jenis saluran yang tersedia (Apendi 2020).

Jadi pers merupakan media komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang diolah baik dalam bentuk semua jenis saluran yang tersedia.

sumber:SIBERONE.COM
sumber:SIBERONE.COM
Nah, karena kita sudah mengetahui pengertian pers. Selanjutnya kita akan membahas pers pada masa Reformasi. Yuk simak.
Dengan runtuhnya kekuatan orde baru pada tanggal 21 Mei 1998, muncullah tatanan reformasi yang menuntut perubahan di semua bidang pembangunan, seperti pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Reformasi telah membuahkan hasil. Ciri yang menonjol dari reformasi ini adalah adanya kemerdekaan dan kebebasaan.
Salah satu hasil pada era reformasi yaitu kemerdekaan pers. Pers dapat menikmati kebebasan itu. Tidak ada yang menghalanginya untuk berkreasi dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. Pers berkembang dengan pesat bahkan cenderung lepas kendali. Negara berada dalam dunia maya, yang seolah-olah sudah tidak ada lagi batas-batas negara. Oleh karena itu, kemerdekaan pers, baik melalui media massa cetak maupun elektronik, merupakan hak asasi manusia yang mendasar dan berkembang sesuai dengan perkembangan budaya suatu masyarakat (Harahap, 2019).

Selain itu, Pers juga diberikan keistimewaan berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dimana sudah tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap pers pada masa reformasi. Di sisi lain, perkembangan kebebasan media massa pada masa orde baru juga menghadapi tantangan pada masa reformasi. Meski dikatakan sudah tidak ada campur tangan pemerintah, namun independensi media pers tetap saja terganggu. Menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Pasal 3 menyatakan bahwa pers mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai media informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial. Dalam hal informasi, pers berperan untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat yang ingin berlangganan atau membeli surat kabar. Tujuannya untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Dari segi edukasi, media massa merupakan media pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan minat membaca masyarakat khususnya pelajar.

Fenomena konglomerasi media yang muncul pada masa reformasi menjadi tantangan baru bagi pers. Meski pemberitaan media di era reformasi bersifat bebas dan terbuka, namun masih terkendala oleh konglomerasi media yang cenderung melemahkan independensi media itu sendiri. Sehingga, komunikasi pers yang terkesan sarat kepentingan, tidak murni mewarta kebenaran, yang juga berdampak pada kualitas dan idealisme media pers. Hal ini masih menjadi tantangan yang belum terjawab. Selain itu, kehadiran fenomena digital disrupsi membuat Batasan kaidah-kaidah jurnalistik yang semakin kabur. Hal ini juga berdampak pada komunikasi media pers yang bias dan tidak memperhatikan kode jurnalistik. Komunikasi media pers akhirnya menjadi tidak memiliki Batasan yang jelas (Palupi, Irhamdhika, & Medianti, 2023).

Pihak pers dinilai cenderung mengedepankan konsep berita yang kurang objektif, sensasional dan sangat partisipan. Dalam tataran kemanusiaan dan etika, kebebasan pers dinilai telah melanggar nilai dan norma moral masyarakat serta meruntuhkan kaidah jurnalistik itu sendiri. Kenyataannya, dalam rapat dengar pendapat yang dihadiri oleh perwakilan kalangan pers, antara lain : Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PWI, MPPI dan anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR, masih menunjukkan keraguan dan kekhawatiran terhadap kebebasan pers. Mereka mengkhawatirkan kebebasan pers akan menjadi sebebas-bebasnya sehingga mereka menyatakan bahwa kebebasan pers itu harus diatur. Respons ini merupakan kebangkitan kembali konsep penindasan pers yang dilakukan pemerintah sebelum transisi. Kekhawatiran ini sejalan dengan kecurigaan pemerintah bahwa kebebasan pers yang tidak terkendali akan menciptakan model kebebasan pers yang berlebihan dan menjadi sumber kekuasan baru. Kekhawatiran masyarakat terhadap kebebasan pers juga diwujudkan dalam tindakan perlawanan masyarakat berupa kekerasan pers. Hal ini terutama terlihat dalam penyerangan terhadap harian Jawa Post di Surabaya yang dilakukan oleh Banser (Barisan Serba Guna) Anshor, seorang pendukung Presiden Abdulrahman Wahid.

Setelah kebebasan pers meluas di Indonesia, banyak orang khawatir bahwa pemberitaan yang sensasional akan menyebabkan kemunduran negara. Proses pembodohan akan terkristalisasi melalui dunia pers. Dari sinilah muncul berbagai ancaman terhadap pers, seperti isu SARA, tekanan massa, bahkan ancaman gugatan, kepentingan bisnis, suap dan sebagainya. Yang menjadi ancaman saat ini adalah kekecewaan terhadap kebebasan pers, yang jika dicermati dapat menimbulkan opini publik yang tersebar luas di masyarakat yang disebut dengan pers kebablasan. Namun, lebih baik pers kebablasan daripada tidak bebas sama sekali (Saptohadi, 2011).

Sebagai juru bicara informasi publik, Pers harus memperjuangkan kebenaran dengan mencari, mengumpulkan dan mengolah informasi itu untuk menjadi sebuah berita. Dalam mengolah dan membentuk sebuah berita, wartawan harus netral atau berimbang dalam memberlakukan narasumber atau subjek berita. Wartawan tidak boleh nakal, harus jujur, profesional dan bertanggungjawab terhadap isi berita. Pertanggungjawaban dalam bidang pers bisa dari segi pidana, jika itu menyangkut isi redaksional. Kalau itu menyangkut segi keperdataan seperti masalah pengangkatan dan pemberhentian karyawan pers, penggajian, jual beli berita dan asuransi itu menjadi tanggungjawab pemimpin umum perusahaan pers (Harahap, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun