Perdagangan orang (Human Trafficking) ialah suatu kejahatan yang bentuknya merekrut orang dari suatu wilayah ke wilayah lain ataupun antar negara yang bertujuan untuk mengeksploitasi dengan penyalahgunaan kekerasan, penipuan, penculikan, dan paksaan. Biasanya perdagangan orang ini korbannya akan dijadikan budak. Korban seringkali diiming-imingi imbalan yang besar tetapi pada kenyataannya justru seringkali dijadikan sebagai buruh paksa di luar negeri atau untuk tujuan lainnya.
      Perdagangan orang ini korbannya segala umur dan seringkalinya yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak yang masih di bawah umur. Faktor terjadinya perdagangan orang ini bisa disebabkan karena kurangnya penjagaan di perbatasan negara, tingkat pendidikan korban yang rendah, faktor budaya, hukum yang tidak efektif, dan lainnya. Pemerintah pun belum bisa memberantas seluruhnya kasus perdagangan orang ini dan sedang mengupayakannya.
      Namun, pemerintah mengupayakan perlindungan kepada para korban terutama terhadap anak-anak yang menjadi korban perdagangan orang dan eksploitasi seksual komersial sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 76 huruf I  Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang  Perlindungan Terhadap Anak menegaskan bahwa, "Setiap orang dilarang untuk menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak." Adapun yang melanggar pasal tersebut maka diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa, "Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 76 huruf I tersebut, akan dikenakan dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000 (Dua ratus juta rupiah)."
      Di Indonesia sendiri kasus mengenai perdagangan anak ini marak terjadi di beberapa wilayah daerah dan Berdasarkan Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa pada tahun 2021 terdapat 147 anak sebagai korban perdagangan anak dan ekspolitasi anak. Begitupun pada tahun 2020, korban anak tersebut mencapai 149 anak, dan kasus tertinggi pada tahun 2019 yang mencapai korban sejumlah 347 anak.
      Perlindungan terhadap anak sebagai korban perdagangan dan eksploitasi ini tidak terlepas dengan HAM sebab kasus tersebut telah sangat melanggar hak asasi seseorang. Maka pemerintah pun turut bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak yang menjadi korban tersebut dan korban anak ini mendapatkan perlindungan khusus sebagaimana Pasal 68 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 bahwa, "Perlindungan Khusus bagi Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf h dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi."
      Upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perdagangan dan eksploitasi ini telah diatur dalam UUD Tahun 1945, aturan-aturan hukum di Indonesia dan bahkan hukum Internasional. Perlu sekali dalam pengupayaan perlindungan anak ini dan pencegahan perdagangan terhadap anak diperlukan keterlibatan semua pihak, siapapun yang mengetahui terjadinya perdagangan anak harus segera melaporkan kepada pihak yang berwajib dan pihak yang berwajib serta pemerintah pun harus mengoptimalkan hukum dan penanganan agar kasus tersebut tidak terjadi berulang kali, begitupun perlunya kesadaran diri tiap orang serta kesadaran orang tua dalam menjaga anaknya dari lingkungan yang tidak baik atau yang bisa membahayakan anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H