Setelah melakukan umrah-ziarah ke tanah suci, saya semakin meyakini dan menyadari bahwa hakikat ziarah adalah latihan.
LITERATUL
Di buku Sejarah Tuhan karya Karen Amstrong, tersurat dan tersirat bahwa sejatinya ritual ziarah yang dilakukan oleh semua ajaran dan keyakinan adalah latihan. Latihan untuk meneladani orang-orang terdahulu yang dengan luar biasa telah melewati ujian Tuhan. Jika ingin membaca buku yang lebih ringan maka novel Pilgrimage karya Paul Coelho adalah pilihan yang baik. Menceritakan latihan diri melalui prosesi ziarah.
"Innama Buistu Liutammima Makarimal Akhla. Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq (kebiasaan) yang mulia" - Nabi Muhammad
Kebiasaan ziarah atau thawaf mengelilingi kakbah telah ada sebelum Nabi Muhammad lahir. Kaum Quraisy penjaga tanah suci tersebut, menjadi tuan rumah berbagai kepercayaan yang hadir untuk ziarah. Turunnya Nabi Muhammad SAW untuk menyempurnakan kebiasaan tersebut, menyempurnakan rukun rukun haji dan umrah yang menjadi pedoman bagi generasi umat berikutnya, generasi umat akhir zaman.
Ibadah umrah atau haji adalah ritus teatrikal. Dalam ibadah ini kita tidak hanya mengenang kehebatan Nabi yang mulia seorang, yang menjadi Bapak dari para nabi. Tapi juga mengenang kehebatan sebuah keluarga.
“Inna Allaha istafa adama wa-nuhan wa-ala ibrahima.....". Sesungguhnya Allah memuliakan Adam, Nuh, dan Keluarga Ibrahim.
Untuk lebih dalamnya pemaknaan ibadah Haji dan Umrah kita bisa membaca banyak sekali buku-buku yang sudah beredar. Buku Haji karya Ali Syariati mengupas makna haji dan pergerakan pengabdian untuk umat. Totalitas Haji & Umroh ; Makna Tasawuf-Falsafi, Sains dan Fikih karya Aguk Irawan (yang juga menulis buku Haji Backpaker) mengupas dari sisi pemaknaan sufistik ke dalam diri kita. Serta berbagai macam buku -buku sejenis yang belum mampu saya baca.
Inti dari pembahasan buku buku tersebut terletak pada dua kata: Ikhlas dan Pasrah. Benang merah dari semua pembahasan tentang kemuliaan Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah IKHLAS dan PASRAH.
Dalam hidup, ada titik titik dimana kita dipaksa oleh Tuhan untuk ikhlas padaNya. Nabi Ibrahim yang tidak memiliki keturunan, Sarah yang dimadu, Hajar yang ditinggalkan di tanah tandus, Ismail yang dikorbankan (Ishak versi Nasrani). Mereka semua ikhlas dan pasrah melanjutkan hidup sesuai keinginanNya.
Adik asuh kawan saya, seorang anak SMA ditinggalkan orangtuanya di rumah sakit pada saat ia harus menjalani amputasi kaki.
Adik kelas saya di STAN merasakan tidak adilnya Tuhan ketika ia ditempatkan di luar Kementerian Keuangan. Merasa bahwa kuliah sama sama tiga tahun, menjalani ujian yang sama, memiliki nilai yang baik, tapi kemudian atas dasar yang tidak diketahui ia ditempatkan berbeda dengan teman-temannya yang lain.
Adik kelas saya yang lainnya, yang mendapatkan penempatan di Kementerian Keuangan ternyata tidak juga merasa lebih baik dari orang pertama. Ia bercerita tentang sulitnya penempatan di pelosok negeri: mahalnya biaya internet, biaya hidup yang tinggi, sulitnya akses trasportasi untuk pulang kampung, dan lain lain.
Seorang senior saya memutuskan menjadi muallaf. Pada saat menjadi muallaf, ia sedang berproses dengan seorang wanita muslimah. Tapi setelah menjadi muallaf, ia ditinggal nikah oleh wanita tersebut. Kemudian ia mencoba berproses lagi dengan seorang wanita muslimah, dan kali keduanya, ia ditinggal nikah kembali. Ia menjadi muallaf, dan dua kali ditinggal nikah oleh dua wanita muslimah dengan berbagai macam alasan.
Kita semua pernah mengalami pemaksaan tersebut. Dengan cerita yang berbeda. Dengan berbagai macam cara, situasi dan kondisi sesuai latar belakang kita masing-masing.
Air mata yang jatuh ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail menggambarkan kepada kita betapa perihnya perasaan beliau. Air mata dan keringat yang bercucuran ketika Hajar terus berlari mengejar fatamorgana menggambarkan betapa desperate beliau yang harus berjuang hidup dan menghidupi anak seorang diri di tanah tandus dan kering.
Keluarga Nabi Ibrahim mulia karena kemampuan mereka berdamai denganNya. Kemampuan tetap melanjutkan hidup sesuai kehendakNya.
EMPIRIS
Hari pertama tiba di Madinah Al-Munawarah, menjelang subuh saya menuju Masjid Nabawi sendirian tanpa tahu arah. Mengikuti arus keramaian orang yang berjalan menuju depan masjid nabawi dengan niatan ingin ziarah dan mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad di kuburnya.
Antrian menuju makam Rasul padat dan ramai. Satu jam sebelum azan subuh, akhirnya saya memasuki area makam Rasul. Tanpa disangka-sangka, Tuhan menggerakkan petugas keamanan sekitar yang mengatur pergerakan peziarah, untuk menempatkan saya di depan makam Rasulullah. Petugas keamanan menyuruh saya duduk dan merapatkan tubuh ke dinding makam Rasul.
Sewajarnya orang yang ingin berziarah hanya sempat mengucapkan salam di depan makam nabi sebentar saja, tapi subuh pertama saya di Madinah Tuhan berikan satu setengah jam untuk berasyik makhsyuk bershalawat di depan makam Kanjeng Nabi.
Keesokan harinya, saya ingin mengulangi hal yang sama. Tapi kali ini suasana hati sedikit berbeda dengan sebelumnya. Kali ini ada sedikit kesombongan atas pemberianNya kemaren. Ada hasrat dan ambisi besar untuk dapat kembali menikmati subuh bersama Rasul. Apa yang terjadi justru kebalikannya. Melintas di depan makamnya pun tak dapat karena pintu ditutup, jalan ditutup, antrian panjang dan sebagainya. Akhirnya selepas subuh hanya dapat mengucapkan salam dari kejauhan.
Apa yang terjadi bagi saya adalah keajaiban. Polisi yang kemaren menghardik dan menutup jalan, kini justru menyuruh saya untuk bersandar di tembok persis di depan makam Rasul. Persis di tempat orang berhenti sejenak untuk mengucapkan salam kepada Rasul.
Hari terakhir di Makkah, kembali saya menata hati, beristigfar memohon ampun, menata niat, mengosongkan hasrat dan memasrahkan diri. Seandainya berjodoh dengan Kakbah akan ia bukakan jalan.
Dan benar saja, saya bisa masuk dengan mudah ke pelataran kakbah. Tidak sampai di situ. Selesai tawaf wada, ketika berdoa di depan mulzatam, polisi menyuruh saya bergandengan tangan dengan jamaah laki laki lainnya untuk membuat barikade di depan kakbah. Karena telah tiba waktu shalat subuh sehingga area hajar aswad dan area sekitar kakbah lainnya harus diatur untuk merapikan shaff.
Jangan dibayangkan proses pengaturan shaff ini seperti kita merapikan shaff di surau. Di sini prosesnya disertai adegan dorong-dorongan, paksaan, tarik-tarikan. Dari arah depan polisi mendorong jamaah wanita untuk ke belakang. Dari arah belakang ibu ibu tetap memaksa ke depan untuk dapat mencium hajar aswad. Dari samping kanan kiri depan belakang jamaah pria mendorong dirinya agar bisa shalat tepat di depan kakbah. Dalam himpitan manusia tersebut saya berusaha pasrah saja. Kalau rezekinya ga akan kemana.
Mungkin banyak dari kita yang sebenarnya mengalami hal serupa seperti yang dialami Rasul. Dalam kesempitan Tuhan berikan pertolongan, Tuhan berikan pertanda, Tuhan berikan kemudahan. Hanya saja kita sebagai manusia modern sering menafsirkannya sebagai “kebetulan”.
KEMULIAAN NABI IBRAHIM
Berdasarkan literatul dan pengalaman di atas lah saya meyakini bahwa sejatinya ziarah ke tanah suci adalah latihan. Latihan untuk mengikhlaskan dan memasrahkan diri. Keutamaan keluarga Nabi Ibrahim adalah konsistensi dalam menata hati, konsistensi dalam berdamai denganNya.
Jangankan di luar tanah suci, menata hati di tanah suci saja bagi saya bukan perkara mudah. Pagi ini bisa pasrah ikhlas tulus, siang nanti muncul kesombongan, malam nanti muncul hasrat dan nafsu. Begitu terus siklus dan perputarannya. Ada saat bisa ikhlas, ada saat marah serta menyesal. Ada saat bisa pasrah berjalan, ada saat memaksakan kehendak menurutkan hasrat. Ada saat bisa tulus, ada saat merasa tinggi. Ada saat rajin beribadah, ada saat malas beribadah.
Namanya juga manusia biasa. Hari ini benar, besok salah, besok benar lagi, besok salah lagi. Namanya juga manusia biasa. Terus belajar seumur hidup memperbaiki diri.
Karena manusia yang sudah baik maqomnya, yang sudah paripurna, ialah Nabi.
RINDU
Dalam tawaf wada (tawaf perpisahan) salah satu doa yang dipanjatkan adalah agar diberikan kesempatan kembali ke tanah suci.
Ya Raddadu Urdudni Ila Baytika Hadza. Ya Tuhan Yang Maha Kuasa Mengembalikan, kembalikanlah aku ke rumahMu ini.
Allahuma La Tajal Hadza Akhira al-Ahdi Baytika al-Haromi. Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan waktu ini masa terakhir bagiku dengan rumah-Mu.
Pada awalnya saya datang ke tanah suci dengan menyiapkan kumpulan doa doa yang ingin saya bacakan di Raudhah, Multazam, dan Hijr Ismail, tempat mustajabnya doa. Kumpulan doa pribadi maupun titipan doa keluarga dan teman teman yang ingin dibacakan di tempat mustajab tersebut.
Tapi ketika pertama kali melihat Raudhah, melihat makam Rasul, yang terlintas di pikiran hanyalah “Salam alayka Ya Rasul”. Begitupula ketika melihat Kakbah, yang terlintas di benak hanyalah Hasbunallah dan Tahlil. Setelah mengalami trance sesaat barulah tersadar dengan doa- doa yang ingin dipanjatkan.
Ada semacam daya tarik di tanah suci yang tidak bisa diungkapkan dengan kata, karena ini masalah rasa. Mungkin karena itulah, rata rata kebanyakan orang yang mengunjungi tanah suci ingin dapat kembali ke tanah suci. Bukan karena ini tempat mustajabnya doa. Karena Tuhan juga memberikan tempat dan waktu mustajab doa sangat banyak di luar tanah suci. Bukan karena jaminan surga, karena tidak ada yang dapat menjamin surga. Memberikan minum pada anjing yang sekarat pun Ia berikan surga.
Orang-orang ingin datang kembali ke sini karena telah dirasuki rindu. Rindu yang bahkan telah muncul sebelum meninggalkan tanah suci. Bukankah pelepas dahaga dari kerinduan adalah sebuah pertemuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H