Mohon tunggu...
bulu beterbangan
bulu beterbangan Mohon Tunggu... Penulis - (pengen jadi) penulis

try again

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanamkan Budaya Politik melalui Pendidikan Politik

3 Januari 2017   15:11 Diperbarui: 3 Januari 2017   15:15 1824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Ilmu politik merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang waktu yang jelas meskipun terbilang masih muda usianya sebab baru lahir pada abad ke 19. Muncul sejak sekelompok orang atau manusia mulai hidup bersama, dan terkait dengan masalah yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Akan tetapi apabila ditinjau dari segala aspek yang lebih luas, misalnya pembahasan rasional dalam kehidupan bernegara maka ilmu politik adalah ilmu yang cukup tua.

Setiap hari manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berpolitik. Namun orang-orang cenderung belum memahami definisi politik dan sering kali orang menyamakan politik dengan kekuasaan dalam hal negatif khususnya. Politik identik dengan jabatan, politik identik dengan tipuan atau kelicikan, bahkan politik dianggap identik dengan korupsi. Ilmu politik tidak lagi dilihat sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama, akan tetapi dianggap sebagai usaha-usaha meraih kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan jalan memanipulasi. Akibatnya masyarakat yang kurang mengenal pendidikan politik akan cenderung pasif dan sulit mempengaruhi untuk proses pengambilan keputusan terhadap keadaan negara. Secara tidak sadar hal tersebut akan membudaya di tengah masyarakat.

Dalam kehidupan bernegara, sebagian orang berpendapat bahwa masalah politik merupakan masalah pemerintah, sebagian lain berpendapat bahwa masalah politik merupakan tanggungjawab masyarakat. Perbedaan ini merupakan kajian dari budaya politik di masyarakat yang juga akan mempengaruhi persepsi masyarakat.

Semenjak reformasi, kesadaran masyarakat untuk menjadi warga yang bertanggungjawab dalam berpolitik semakin membaik. Situasi-situasi yang dulu dianggap tidak layak dan dilarang saat ini semakin dimaklumi dan dianggap hal yang wajar. Sebagai contoh unjuk rasa oleh mahasiswa. Sebelum reformasi masyarakat dituntut selalu mengikuti kebijakan pemerintah, dan dilarang untuk mengkritik segala keadaan yang terjadi. Namun sekarang keberadaan masyarakat khususnya mahasiswa sangat berperan penting sebagai penyalur aspirasi kepada pemerintah.

Begitu vital keberadaan mahasiswa ditengah masyarakat. Akan tetapi yang terjadi dikebanyakan daerah bukan seperti itu. Indonesia terdiri dari berbagai daerah dan wilayah yang beraneka ragam. Peradaban masyarakat di berbagai wilayah tidaklah sama. Kemajuan berpikir cenderung terjadi di kota-kota besar saja. Lalu bagaimana yang terjadi di wilayah lainnya? Seperti yang kita ketahui wilayah di Indonesia sebagian besar adalah pedesaan yang memang kurang mendapat perhatian dalam hal politik. Keadaan seperti ini yang membuat ketidakseimbangan  berpendapat antara kota besar dan pedesaan.

Budaya politik pada masyarakat pedesaan biasanya tergantung pada pimpinan desanya, baik pemimpin adat, pemimpin suku maupun pemimpin agama di daerah tersebut. Jadi hasil yang keluar pada pemilihan bukanlah hasil murni dari pendapat hati nurani masing-masing individu. Tentu saja fenomena ini merupakan contoh kegagalan politik ditengah masyarakat. Jika dibayangkan, maka sungguh rendahnya kesadaran masyarakat untuk menentukan masa depan daerahnya bahkan masa depan negaranya, Indonesia.

Masalah lain yang terjadi di kebanyakan desa di Indonesia adalah rentannya masyarakat desa terhadap permainan politik atau politik uang (money poiltic). Sampel yang penulis ambil adalah fenomena yang terjadi di dusun Ambarketawan, kecamatan Gamping, kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada pemilihan legislatif 2014. terlihat di dalam wawancara terhadap elite desa yang menunjukkan bahwa faktor money politic adlah faktor yang paling dominan dari faktor-faktor lain dalam mempengaruhi partisipasi politik masyarakat Ambarketawang dan lebih besar dari faktor kondisi sosial dan ekonomi, faktor status politik, dan faktor hubungan masyarakat dan calon. [Hikmah, Amalia Faizah Nur 2015:67]

Pertanyaan besar yang juga perlu dijawab adalah: siapa yang bertanggung jawab dalam memberikan pendidikan politik, lembaga manakah yang berhak dan pantas memberikan pendidikan politik kepada masyarakat? Tentu banyak orang akan berpikir dan mengatakan, yang paling berhak adalah partai politik. Partai politik dianggap hanya berperan untuk sarana warga negara berpartisipasi dalam pengelolaan negara. Namun sejatinya tidak hanya partai politik yang memiliki kewenangan penuh untuk bertanggung jawab dalam mengatasi masalah pendidikan politik.

Tulisan ini terutama untuk memberikan pencerahan  ilmiah tentang substansi dari pendidikan politik sebagai kaidah pengetahuan yang harus dikedepankan. Bahwa melalui pendidikan politik diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan politik masyarakat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya untuk nantinya juga agar dapat terbentuk budaya politk yang baik dikalangan masyarakat yang sesuai dengan kepentingan negara untuk mewujudkan negara yang adil dan bermusyawarat. [Kartaprawira 1988:5]. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan politik dimaksudkan agar dapat membentuk kepribadian, kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Landasan Teori

Teori Pendidikan Politik

Pendidikan dan politik memiliki makna yang berbeda namun saling bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat. Kata politik sebenarnya berasal dari bahasa Yunani; politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara. Berdasarkan pengertian ini dapat dijabarkan lagi politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan, menjankan kekuasaan, mengontrol kekuasaan, serta bagaimana menggunakan kekuasaan. Oleh sebab itu pemahaman politik sebagai studi kekuasaan telah mendapat banyak kecaman, karena menempatkan politik ke dalam domain yang sempit. Karena ilmu politik tidak hanya mmpelajari kekuasaan semata-mata, melainkan juga mempelajari kerjasama antara individu atau pelaku-pelaku politik. [Sitepu, P. Anthonius 2012:9]

Pendidikan  dan politik merupakan dua hal yang berbeda, namun memiliki tujuan utama yang saling mendukung satu sama lain. Keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan dan budaya, serta perkembangan keterampilan dan pelatihan yang membawa perubahan pada diri individu terdidik [Sudiarja, 2006:413]. Sedangkan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh dan otoritas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi nilai-nilai dan sumber daya. Karena keduanya sarat dengan proses pengalokasian dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua perangkat aktivitas yang akan terus saling terkait dan berinteraksi [http://www.beritanagrak.cf/2016/04/peranan-partai-politik-dalam-pendidikan.html].

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian[https://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan]. Pendidikan juga memiliki pengertian sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamanaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara [Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, 2003:3].

Politik dapat diartikan  sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat [Kartini Kartono.1996:64].

Jadi pendidikan politik dapat didefinisikan sebagai proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pendidikan politik adalah aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada individu, dan bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada individu.

            Teori Budaya Politik

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dnegan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan berarti mengolah atau mengerjakan [https://id.m.wikipedia.org/wiki/budaya].

Budaya politik menurut Gabriel A. Almond (1956) adalah “pola khusus dari orientasi ke tindakan politik”, sebuah “perangkat makna dan tujuan” yang ada disetiap politik [Sitepu, P. Anthonius, 2012:163].

Sedangkan budaya politik menurut A. Rahman H. I. dalam buku “Sistem Politik Indonesia”:

Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengatur kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Kegiatan politik juga memasuki keagamaan , kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Maka budaya politik langsung mempengaruhi keidupan politik dan menentukan keputusan nasionalyang menyangkut pola pengalokasian sumber-suber masyarakat.

Budaya politik merupakan sistem niai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat, namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitnya.

Budaya politik adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh anggota suatu sistem politik. [Efriza,2012:88]

Karena itu budaya politik merujuk pada nilai-nilai dan simbol simbol ekspresif, seperti bendera nasional, negara, monarki, dan sebagainya. Bahwa melalui pendidikan politik diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan politik masyarakat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. [Kartaprawira, 1988:5].

Budaya politik dibagi dalam beberapa tipe berdasarkan dari oritentasi politiknya. Macam-macam budaya politik atau tipe-tipe budaya politik adalah sebagai berikut,

a. Budaya Politik Parokial

Budaya Politik Parokial adalah budaya politik dengan tingkat partisipasi politik yang sangat rendah. Budaya politik parokial umumnya terdapat dalam masyarakat tradisional dan lebih bersifat sederhana. Berdasarkan pendapat Moctar Masoed dan Colin Mc. Andrew, yang mengatakan budaya politik parokial adalah orang-orang yang tidak mengetahui sama sekali adanya pemerintahan dan politik.

Ciri-Ciri Budaya Politik Parokial:

Apatis

Lingkupnya sempit dan kecil

Pengetahuan politik rendah

Masyarakatnya yang sederhana dan tradisional

Adanya ketidakpedulian dan juga menarik diri dari kehidupan politik

Anggota masyarakat condong tidak berminat terhadap objek politik yang luas

Kesadaran anggota masyarakat mengenai adanya pusat kewenangan dan kekuasaan dalam masyarakatnya rendah

Tidak ada peranan politik bersifat khusus

Warga negara tidak sering berhadap dalam sistem politik

b. Budaya Politik Kaula/Subjek

Budaya politik kaula adalah budaya politik dengan masyarakat yang suda relatif maju baik sosial maupun ekonominya, namun masih relatif pasif. Budaya politik kaula atau subjek berada pada orang secara pasif patuf pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, akan tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan. Budaya politik kaula memiliki tingkat perhatian pada sistem politik sangat rendah.

Ciri-Ciri Budaya Politik Kaula/Subjek

Masyarakat menyadari sepenuhnya otoritasi pemerintah

Sedikit warga memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, namun dapat menerima apa yang berasal dari pemerintah

Menerima putusan yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dikoreksi, terlebih lagi ditentang.

Sikap warga sebagai aktor politik adalah pasif, artinya warga tidak dapat berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Warga menaruh keadaran, minat, dan perhatian pada sistem politik secara umum dan khusus terhadap objek output, sedangkan untuk kesadarannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor polirik masih rendah.

c. Budaya Politik Partisipan

Budaya politk partisipan adalah budaya politik yang ditandai adanya kesadaran politik yang sangat tinggi. Budaya politik partisipan dapat dikatakan suatu bentuk budaya yang anggota masyarakatnya condong diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Budaya politik yang ditandai dengan adanya kesadaran dirinya atau orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik. Umumnya masyarakat budaya politik partisipan sadar bahwa betapapun kecil partisipasi dalam sistem politik, tetap saja merasa berarti dan berperan dalam berlangsungnya sistem politik. Begitu pun dengan budaya politik partisipan, masyarakat tidak menerima langsung keputusan politik, karena merasa sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik yang memiliki hak dan tanggung jawab.

Ciri-Ciri Budaya Politik Partisipan

Warga menyadari hak dan tanggung jawabnya dan dapat mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya

Tidak begitu saja menerima keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik secara keseluruhan, input, output, maupun posisi dirinya sendiri.

Kehidupan politik sebagai sarana transaksi, misalnya penjual dan pembeli. Warga menerima menurut kesadarannya tetapi dapat menolak menurut penilainnya sendiri.

Menyadari sebagai warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.

[http://www.artikelsiana.com/2015/08/budaya-politik-pengertiani-ciri-macam-para-ahli.html]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun