“In matters of style, swim with the current; in matters of principle, stand like a rock.” —Thomas Jefferson
Tulisan ini bertujuan supaya membagikan apa yang saya ketahui, dari kacamata seorang jongos yang merasakan bekerja di bawah dua orang ini: Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan. Dan mengapa dari awal mendengar Pak Anies maju, saya sudah bersuara mengapa Pak Ahok yang lebih layak memimpin DKI Jakarta.
++
Memori saya kembali kepada masa enam tahun lalu. Nama Indonesia Mengajar baru mulai bergaung, dan sosok Anies Baswedan sangat lekat dengan program ini. Program yang mulia. Saya mendaftar dan diterima.
Teringat waktu pertama kali mendengar beliau langsung memberikan pidato penerimaan kepada kami, para Pengajar Muda istilah kerennya. Saya hanyut dengan berbagai persuasi yang dilontarkan. Memang sungguh inspiratif. Mantra yang sering didengungkan adalah merajut tenun kebangsaan. Barangkali inilah saatnya adanya organisasi yang lintas kultur dan agama yang memang layak untuk didukung anak muda yang ingin merasakan Indonesia sesungguhnya, tanpa hanya dari membaca koran. Saya menangis waktu upacara bendera terakhir bersama para Pengajar Muda sebelum dikirimkan ke daerah. Warna kulit, asal dan agama kami berbeda-beda, tetapi kami dengan spirit yang sama, khidmat upacara menghormati bendera Merah Putih.
Setahu saya, Pak Anies adalah penggagas dan pimpinan Indonesia Mengajar, namun tidak terlibat dalam kepengurusan hariannya. Kepengurusan harian dijalankan oleh orang-orang muda di bawah Hikmat Hardono dengan kantor di Jalan Galuh II Nomor 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Teringat bahwa Pak Anies sering ditanya oleh kami Pengajar Muda, apakah Indonesia Mengajar ini menjadi batu lompatan ke arena politik, utamanya ke pencalonan presiden. Beliau umumnya memberikan jawaban yang tidak pasti. Tapi secara bahasa, Pengajar Muda memahami bahwa gerakan Indonesia Mengajar ini memang murni sebuah gerakan yang ingin “merajut tenun kebangsaan” tadi.
Banyak persuasi lain yang dilontarkan Pak Anies yang lumayan inspiratif, seperti “melunasi janji kemerdekaan”, “setahun mengajar seumur hidup menginspirasi”. Untuk anak muda yang ‘galau’ dan lagi semangat-semangatnya ingin berkontribusi kepada bangsa dan negara ini, inspirasi dan persuasi semacam ini sangatlah efektif. Beberapa dari antara kami sampai rela meninggalkan pekerjaan di luar negeri dengan gaji dan fasilitas wah dan bergabung menjadi Pengajar Muda. Menjadi Pengajar Muda dan langsung terjun ke desa menjadi bagian dari warga dengan berbagai karakter dan tantangannya.
Saya sendiri mengambil cuti tanpa gaji selama setahun dari firma hukum tempat saya bekerja. Saya juga mempersiapkan diri untuk tidak digaji dari Indonesia Mengajar. Hebatnya, Indonesia Mengajar memberi remunerasi yang tidak kalah dengan gaji karyawan swasta! Indonesia Mengajar benar-benar program yang luar biasa, membuka mata generasi muda kepada kondisi Indonesia sesungguhnya, sambil melatih kepemimpinan.
++
Februari 2013, saya bangga mendengar Pak Anies menjadi ketua Komite Etik KPK kasus bocornya sprindik Anas Demokrat. Selang 7 bulan kemudian, keadaan total berubah. Pak Anies maju pada konvensi Partai Demokrat, ingin menjadi capres menggunakan kendaraan yang menjadi gunjingan banyak orang dengan isu korupsi Hambalang. Kekecewaan di antara Pengajar Muda banyak meski tak terucap.
Kami mulai bertanya-tanya apakah Indonesia Mengajar ini murni sebuah gerakan di bidang pendidikan, atau hanya batu loncatan? Spekulasi muncul tanpa jawaban pasti. Apakah Pak Anies sudah memikirkan risiko bila sampai ada sponsor yang menahan dana atau menarik dana, karena takut dana yang diberikan ke Indonesia Mengajar malah digunakan untuk kepentingan politik tersebut? Langkah Pak Anies ini saya sayangkan sekali karena membawa risiko kepada suatu program baik yang baru mengembangkan sayapnya. Apakah ambisi politik Pak Anies menjadi capres ini segitu besarnya?
Untunglah Pak Anies tidak memenangkan konvensi partai itu. Di dalam hati kecil saya, saya memang berharap beliau terlebih dahulu membuktikan diri dengan memegang jabatan yang cukup strategis, yaitu Menteri Pendidikan. Jabatan itu sangat sesuai dengan jalan hidup Pak Anies yang adalah Rektor Paramadina dan penggagas Indonesia Mengajar.
Cerita saya beralih ke kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014. Saat itu saya sudah bekerja di suatu firma hukum. Saya sangat bersyukur atas kemenangan Jokowi itu. Jokowi adalah simbol harapan, dan representasi dari suksesnya masyarakat biasa yang bisa menembus lingkar kekuasaan dan menjadi orang nomor satu di Republik ini.
Setelah mendengar pemberitaan di media bahwa Jokowi-JK membentuk tim transisi, Saya berinisiatif menghubungi Pak Anies mengucapkan selamat sekaligus menanyakan, kira-kira apa yang dapat dibantu. Tak disangka, beliau langsung merespon baik dan menawarkan saya untuk membantu beliau. Saat itu beliau adalah Deputi D Tim Transisi, yang mengurus kesejahteraan rakyat.
Di titik inilah saya lebih jauh mengenal sisi profesional Pak Anies. Mirip seperti yang saya lihat di Indonesia Mengajar, beliau sering menyampaikan pandangan atau gagasan pada level yang makro. Jarang sekali saya mendengar turunan teknis dari ide besar Pak Anies. Karenanya, saya dan tim sangat beruntung karena kami dipimpin oleh Ibu PW, seorang eksekutif yang mengambil cuti dari suatu firma konsultan internasional. Sehari-hari kami bekerja di bawah bimbingan Ibu PW, dan Pak Anies jarang sekali terlihat berkantor bersama kami. Dari media kami tahu bahwa pada masa itu beliau cukup sering menemani Pak Jokowi.
Saya pribadi menyadari bahwa hal ini tidak ideal (tidak memimpin proses perumusan produk Deputi D sebagai turunan dari gagasan besar yang disampaikan Pak Anies). Tapi saya tidak mau memusingkan hal di luar jangkauan saya. Saya hanya mencoba bekerja terus dan berharap agar situasi ini berubah, supaya Pak Anies kembali fokus ke dalam Deputi D, dan mulai mengambil langkah manajerial konkret. Mengapa? Karena latar belakang dan karakter anggota Deputi D sangatlah beragam. Ada yang dari sektor swasta finansial, kalangan masyarakat sipil sampai basis relawan Jokowi-JK, sehingga tim kami membutuhkan seorang pemimpin (yang memang sudah punya nama) yang seharusnya hadir, memimpin tim, menguasai data di hadapannya untuk mencapai tujuan dari dibentuknya Deputi D.
Sayangnya, sampai dengan akhir masa kerja, hal ini tidak terjadi. Mungkin saja Pak Anies sudah mendelegasikan mayoritas kerjanya kepada PW. Namun delegasi kerja tidak mungkin total menyerahkan semuanya kepada orang lain, tanpa hadir memberikan panduan dan arahan konkret kepada kami. Seandainya Pak Anies lebih intensif hadir dan memimpin kami, tentu produk akhir Deputi D akan lebih baik lagi.Pada titik ini, saya menyadari bahwa peranan dan keunggulan Pak Anies adalah mengajak dan menginspirasi orang untuk mau ‘turun tangan’ dan melakukan sesuatu untuk republik ini. Ini adalah peranan yang sangat penting di tengah apatisme generasi muda untuk berpolitik dan bernegara, dan peranan yang memang paling pas untuk dijalankan Pak Anies. Tetapi menjadi pemimpin dengan kemampuan manajerial yang mumpuni? Ini yang belum bisa dilihat dari Pak Anies.
Cerita ini berlanjut dengan terpilihnya Pak Anies sebagai Menteri Pendidikan. Banyak Pengajar Muda yang bersyukur akhirnya Pak Anies menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Tentunya Pak Anies adalah orang yang tahu betul potret pendidikan di Indonesia, karena beliau sebagai bagian dari Indonesia Mengajar tentu sudah mendapatkan banyak sekali laporan dari Pengajar Muda tentang keadaan pendidikan di daerah dan berbagai praktek korupsinya (Undang-Undang Dasar mengamanatkan 20% dari APBD untuk pendidikan. Ada gula ada semut!), dan juga sebagai Deputi D Tim Transisi yang mengurus bidang pendidikan. Saya berharap ini menjadi ajang pembuktian kemampuan beliau dalam membuat perubahan di Indonesia, paling tidak membuat tata kelola yang baik di dalam Kementerian Pendidikan dengan segudang daftar masalah.
Nyatanya tiada yang berubah. Distribusi Kartu Indonesia Pintar tidak mencapai target. Bahkan Agustus 2016, Menteri Keuangan menemukan Rp 23,3 triliun dana yang salah perencanaan. Dana yang ada tidak boleh diberikan kepada guru yang memang tidak ada (salah data) atau yang gurunya ada tapi belum bersertifikat. Apakah memang Pak Anies masih tidak melaksanakan pekerjaan manajerial dan hanya melepaskan pekerjaan teknis sepenuhnya kepada bawahannya, yang punya segudang kepentingan dan dosa lama? Entah. Saya hanya bisa menduga dua hal di atas menjadi sebagian pertimbangan Pak Jokowi ‘mencukupkan’ tugasnya hanya selama 1 tahun 9 bulan.
+++
Saya pribadi tergerak membuat tulisan ini, setelah tahu Pak Anies bertandang ke markas FPI pada 1 Januari. Okelah, Pak Anies sudah menjadi politisi yang berambisi menjadi Gubernur DKI, syukur-syukur bisa menjadi Presiden RI. Dan secara politik, memang saya tidak perlu baper bila tetiba Anies menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam menjaring suara. Tetapi berkunjung ke FPI, kemudian membela diri dengan mengatakan ‘harus menjadi pemersatu semua pihak’? Itu jawaban tidak jujur.
Jadilah pemersatu dan pergi ke markas FPI setelah anda jadi pejabat. Pergi ke FPI sebelum menjadi pejabattidak lain adalah taktik meraih suara. Meraih suara ke pihak yang dengan entengnya mengoyak-oyak tenun kebangsaan! Teringat pernyataan Pak Anies pada 2014, yang menyerang Prabowo Subianto dengan menuding bahwa Prabowo berjanji seakan berpihak kepada heterogenitas dan pluralisme yang ada di Indonesia, padahal kata Pak Anies, Prabowo justru mengakomodasi dan merangkul kelompok ekstremis seperti FPI.
Selang dua tahun, Pak Anies telah berubah secara ekstrem. Mungkin Pak Anies adalah orang yang akan melakukan apa saja untuk mencapai ambisinya. Dari menjual kata-kata inspirasional sampai memberi angin surga kepada kelompok yang jelas-jelas menganggap bahwa NKRI ini hanya diperuntukkan untuk satu agama saja. Melihat Pak Anies hari ini, entah apa lagi yang dapat dilakukan beliau demi mencapai ambisinya yang mungkin ingin jadi Presiden? Kunjungan beliau ke FPI inilah garis tegas respek saya kepada Pak Anies, yang sukses menginspirasi saya 5 tahun lalu untuk terjun ke dalam sistem. Karena ambisinya, Pak Anies hari ini bukanlah Pak Anies 5 tahun lalu, yang mencoba merajut tenun kebangsaan.
Dia dulu tidak pernah bertanya kepada saya, apa agama saya waktu saya mendaftar Indonesia Mengajar dan menawarkan diri membantu dia di Tim Transisi. Mungkin rekan-rekan ingat, Pak Anies sudah katakan di Mata Najwa bahwa dia meyakini pemimpin itu harus memeluk agama Islam. Menjadi miris bila memikirkan golongan minoritas yang mendaftar Indonesia Mengajar sebagai bekal kepemimpinan di masa mendatang, karena bekal yang didapat tak dapat dilaksanakan. Bhinneka Tunggal Ika mau ditaruh dimana?
Sepertinya benar teori Abraham Lincoln,
“Hampir semua orang bisa menghadapi kesengsaraan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.”
Pak Anies sudah teruji dan gagal bahkan sebelum dia diberi kekuasaan.
Setelah melihat cara Pak Anies bekerja dan Pak Ahok bekerja, memang dua orang ini tidak dapat dibandingkan, karena keduanya ada di tataran yang berbeda. Pak Anies adalah konseptor, sedangkan Pak Ahok adalah eksekutor sekaligus konseptor yang sangat baik. Pak Anies ringan mengatakan iya dan merangkul seluruh pihak, sedangkan Pak Ahok adalah orang yang bisa mengatakan tidak tanpa harus berpura-pura.
Saya teringat pertama kali melihat Pak Ahok (sebagai cawagub) pada kampanye pilkada DKI 2012 yang menolak permintaan kelompok warga yang minta dibuatkan lapangan, dengan imbalan warga setempat akan memilih Jokowi-Ahok. Alih-alih mengiyakan demi suara, Pak Ahok malah mentah-mentah menolak permintaan itu, karena menurut beliau tidaklah adil untuk warga lain yang tidak memilih Pak Ahok. Pak Ahok saat cawagub 2012 masihlah sama dengan Gubernur 2017. Aspek kepemimpinan Pak Ahok ini pun diamini oleh Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang mengatakan, “Seni kepemimpinan adalah mengatakan tidak, bukan iya. Sangatlah mudah untuk mengatakan iya”.
Pak Ahok memberantas korupsi dengan cara menaikkan gaji untuk menghancurkan corruption by need (korupsi karena kebutuhan), sedangkan Pak Anies rumornya mencoba memberantas korupsi dan PNS tidak berkinerja baik dengan dialog hati ke hati secara rutin. Saya pribadi, setelah dua tahun bekerja di DKI Jakarta dengan praktek koruptif warisan rezim lama, rasanya hampir mustahil untuk meminta orang berubah dengan kesadaran sendiri tanpa mencari akar permasalahan dan secara konkret memperbaikinya. Perlu cara keras untuk melumerkan hati yang sudah keras terpapar nikmatnya korupsi selama puluhan tahun!
Pak Ahok memberantas korupsi dengan membuat e-budgeting agar dapat menutup celah permainan perencanaan anggaran (masih ingat kan anggaran siluman UPS?), sedangkan Pak Anies malah salah merencanakan anggaran sampai dengan 23 T.
Saya tidak mengatakan bahwa Pak Anies ini adalah orang yang jahat. Tidak sama sekali! Pak Anies ini memiliki hati yang baik dan ambisi. Sayangnya ambisi beliaulah yang lebih menguasai hati beliau hari ini. Pak Anies punya keunggulan dalam menginspirasi dan mengajak orang untuk turun tangan namun saya hanya menegaskan bahwa bukanlah porsi Pak Anies menjadi administratur untuk membenahi benang kusut DKI Jakarta.
Selayaknya penyakit kanker yang perlu diobati dengan kemoterapi, tidaklah mungkin membenahi DKI Jakarta yang kusut dan sudah sakit kronis hanya dengan kalimat yang santun dan ide besar tanpa kepemimpinan dan kemampuan manajerial yang mumpuni. Porsi paling bermanfaat adalah menjadi inspirator dan mengajak anak-anak muda Indonesia untuk tidak berpangku tangan, tapi turun tangan membenahi republik ini.
Demikian catatan jongos ini. Pasti banyak pihak yang pro dan kontra. Wajar. Tapi inilah demokrasi, di tengah masyarakat yang masih belajar berdemokrasi selepas rezim lalu. Harapan saya, tulisan ini sedikit banyak membawa manfaat bagi masyarakat DKI. Semoga.
---
Rian Ernest
Pengajar Muda Angkatan II – Daerah Penempatan Kabupaten Rote Ndao, NTT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H