Sepanjang tahun 2017 sampai 2018 berita mengenai buruknya bangunan infrastruktur pembangunan era jokowi terus memenuhi media massa Indonesia. Bagaimana tidak, rentetan demi rentetan kecelakaan pembangunan infrasturktur terus terjadi seakan-akan serempak diberbagai didaerah. Hal ini menimbulkan tanda tanya tentang buruknya pengawasan dan penerapan Sistem Manajemen K-3 yang sangat rendah.
Penurunan kualitas pengawasan dan penerapan SMK3 pada pembangunan proyek infrastruktur bukanlah tanpa sebab apalagi meningkatnya angka kecelakaan kerja di sektor ini berdekatan dengan Asian Games sebuah even berskala international yang digelar pada tahun 2018 lalu dan juga dengan pemilu serentak pada tahun 2019, secara tidak langsung tentunya sangat berkaitan, apalagi presiden Jokowi dalam satu pidatonya yang dilansir tirto.id mengakui percepatan proyek infrastruktur untuk kepentingan pemilu.
Berikut kami sajikan data kecelakaan kerja pada sektor infrasuktur :
Data Kecelakaan Kerja Sektor konstruksi
Berdasarkan data kementerian ketenagakerjaan sepanjang tahun 2017 kecelakan kerja disektor konstruksi mencapai 1.887 peristiwa dengan nilai kerugian sebesar Rp 41,2 miliar rupiah, dan di tahun 2018 total kecelakaan kerja di berbagai sector mencapai 157.313 peristiwa dengan angka tertinggi terjadi di sektor konstruksi, dengan peristiwa terbarunya kembali terjadi ambruknya cor beton pada proyek pembangunan jalan tol Desari (Depok Antasari) pada oktober 2019 yang lalu.
Tingginya angka peristiwa kecelakaan kerja pada tahun 2017 dan 2018 membuat banyak ahli dan pengamat berkomentar, contohnya di salah satu kesempatan  Petinggi YLKI yang berposisi sebagai Ketua Pengurus harian, beliau mengatakan "pengerjaan proyek infrastruktur diberbagai daerah seperti sopir angkot yang mengejar setoran, yang penting selesai tanpa mengindahkan keselamatan dan keamanan penumpangnya". Bahkan beliau menambahkan kegagalan kontruksi dengan banyak korban jiwa membuktikan proyek konstruksi tidak dilakukan  dengan perencanaan yang matang dan dengan pengawasan yang ketat.
Setidaknya ada 3 hal yang membuat pengawasan dan penerapa K3 di hindari oleh hampir seluruh stakeholder Konstruksi :
Mindset Yang Keliru
Mindset hampir seluruh stakeholder proyek pembangunan infrastruktur yang masih menempatkan SMK3 dalam pos Biaya (cost) membuat banyak pengusaha  menekan atau bahkan menghilangkan sebagian besar item ini (K3) dari RAB dengan maksud menekan pengeluaran atau biaya proyek, dimana di berbagai negara maju mindset ini sudah tidak ada lagi bahkan mereka menempatkan SMK3 pada pos investasi, sehingga angka kecelakaan kerja di sektor infrasturktur menjadi sangat kecil.
Budaya Kerja
Perilaku masyarakat Indonesia sangat tercermin dari cara mereka berkendara atau berlalu lintas, sikap pengendara yang suka mengabaikan alat -- alat keamanan serta aturan- aturan berlalu lintas dijalan raya merupakan hal yang biasa kita lihat di jalan raya apalagi jika tidak ada polantas (pengawas) maka tingkat pelanggaran dapat meningkat mencapai 100% begitu juga dalam pekerjaan apalgi pekerjaan yang memiliki resiko tinggi kecelakaan, contohnya banyak pekerja konstruksi yang sering mengabaikan Alat Pelindung Diri apalagi jika tidak pengawas lapangan, mereka beralasan sudah biasa melakukan pekerjaannya dan tidak pernah mengalami insiden yang serius. Budaya seperti ini seharusnya mulai dihapuskan dengan cara menanamkan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri sejak usia dini lewat Pendidikan di sekolah-sekolah.
Orientasi Profit yang Keliru
Mencoba menghasilkan output/hasil se-maksimum mungkin dengan input/sumber daya yang se-minimum mungkin,merupakan prinsip paling umum dalam berbisnis namun tingginya target yang diberikan sering kali membuat hal-hal yang sangat vital diabaikan contohnya seperti pada pos -pos K3, tidak jarang item-item keselamatan menjadi prioritas terakhir, hal ini seringkali dapat mengakibatkan kerugian yang lebih besar lagi bagi perusahaan, misalnya saja perusahaan dapat kehilangan nama baik yang sudah dibangunnya selama puluhan tahun.
Kesimpulan
Aturan- aturan K3 di Indonesia sudah diatur dengan sangat rinci baik dari tingkat Menteri (permen) maupun dalam UU (pemerintah), hanya saja aturan-aturan tersebut masih sangat lemah dalam penerapan serta pengawasannya maka perlu dilakukan peningkatan dan perbaikan dalam dua hal itu, serta dilakukan tindakan tegas bagi pelanggarnya baik pekerjanya maupun pengusahanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H