Mohon tunggu...
Riandi Wibowo
Riandi Wibowo Mohon Tunggu... -

Pemulung ditanah beta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bhineka Tunggal Ika-nya Era Pak Jokowi, Jelang Pemilu 2014

3 Juni 2013   13:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:36 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbeda-beda namun satu jua. Pak Jokowi bilang kotak, kata yang syarat dengan makna, kaya dengan indahnya warna sara. Bisa jadi ada kemiripan arti filosofi, tapi tidak usah kaget untuk jaman semodern dan serba canggih ini kata kotak pasti sangat populer dibanding dengan Bhineka Tunggal Ika. Jelas, ini kan juga nama Band yang digandrungi anak muda masa kini. Kita harus bangga karena ini benar-benar asli karya pujangga pribumi alias putra bangsa. Sang Empu sudah lama menghembuskan nafas terakhir dan masa keemasannya berlalu, namun harum buah pikirannya seakan akan tak tergantikan, busuk dan musnah dimakan era jaman. Justru abadi bercumbu hingga jaman modern saat ini. Jangan lupa Pahlawan bangsa ini tidak sendiri membawa kita lari supaya menjauh dari duka ria kolonialisme penjajah. Mereka dengan nikmatnya menghela nafas bersama, mencucurkan dinding keangkuhan hati primordialisme, diperasnya keakuan agama hingga cairnya keakuan diri. Rasa patriotisme dan nasionalisme dilecut jadi seni nyayian dalam hati, sampai tak menampakan rasa lelah,duka atau takut berdosa, terkemas dalam satu kesatuan demi satu asa mimpi indah Bhineka Tungga Ika, yaitu Merah Putih.

Terbukti bahwa secara empiris Kebhineka Tunggal Ikaan sukses mematik semangat persatuan dan kesatuan waktu mengusir penjajah. Namun, menjadi contoh yang sangat jelas ketika dibenturkan dengan peristiwa sampit dikalimantan, gejolak konflik Aceh, konflik Papua,konflik agama dimadura, sampai dengan menabrakan diri ke kereta dan banyaknya peristiwa korupsi. Boleh dibilang ini menjadi moment klimaksnya ruh Kebhineka Tunggal Ikaan menemui rintangan dan ujian dalam peradaban, ruang dan generasi yang berbeda. Konflik sosial seakan tidak bisa diduga akan meledak setiap saat merobek kebhinekaan hingga koyak terkotak-kotak.

Wajar jika rakyat menggugat hak setiap jengkal atas negeri ini. Mereka selalu terpaku dalam gelapnya kemerdekaan seolah tidak ada cahaya langit dan celah kehidupan. Dinginnya malam sering kali membangkitkan kenangan cemburu ketidak adilan. Peradaban barat menjadi status diri yang maha agung. Jika direnungkan Indonesia sendiri tidak bisa mengindonesiakan rakyatnya. Sangat mencolok mata, terlihat hanyut dan tenggelam, luluh oleh pesona senseualnya budaya luar. Bhineka Tunggal Ika hanya hiasan yang digenggam kaki Pancasila diruang-ruang kehormatan negara. Semboyan yang semangatnya sudah tidak, mengendap di lubuk hati generasi baru, berhembus dari Sabang sampe Merauke dan menderu ke Miangas hingga pulau Rote.

Sang Empu mungkin bisa merasakan kecewa karena semboyannya menemui fakta belum mampu memberikan warna yang indah untuk negara dan bangsa yang kaya raya ini. Ketegaran jadi sumber identitas rakyat yang sungguh kuat untuk bisa bertahan hidup dalam keprihatinan. Walau berat hati melihat wakil rakyat dan abdi negara yang pandai bersandiwara cinta. Cerdik menggunakan nalar seakan-akan bersemboyan, berideologi dan beragama. Kata manis tak henti menggoda dan menyalakan api cinta dalam jiwa, hingga pasrah menurut,mengalah dan mendengar apa kata penguasa negeri ini. Biarlah kita pendam rasa duka ini.

Mari kita ayunkan langkah untuk menyalakan api harapan. Tidak ada peristiwa yang terjadi tanpa alasan. Sesal tak kan pernah membawa arti atau bisa jadi tanda esok kita akan mewadahi asa bahagia. Syukuri semua peristiwa yang pernah menangisi kita. Mungkin salah diri kita juga, tidak mantap, mudah rapuh dan lelap oleh kejeniusan setan gundul. Banggakan diri kita dengan Indonesia, duniakan Indonesia dengan semboyan kebersamaan Bhineka Tunggal Ika. Berlarilah meraih kesadaran bahwa kita kaya dan penuh dengan mozaik warna. Lukiskanwajah khas nusantara dilangit biar mereka ingin mencoba diindonesiakan.

Bernafaslah tanpa harus berpikir. Tersenyumlah selagi geratis. Selagi langit itu belum runtuh kebumi dan birunya lautan samudra membumbung langit tinggi-tinggi. Endapkan rasa kebhinekaan itu dalam-dalam. Dengan segenap hati dan jiwa, bagi tuan yang kuat memendam rasa kecewa dan mentransformasinya menjadi cahaya kasih. Segera tularkan geloranya pada kami. Kami yang selalu disentuh karunia rasa dosa dan bersalah. Peluklah kami sampai mati bahwa Bhineka Tunggal Ika bisa menyadarkan kita se-UDARA dan se-MATAHARI dalam NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun