Mohon tunggu...
Riandi Wibowo
Riandi Wibowo Mohon Tunggu... -

Pemulung ditanah beta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kejam Politik, Lebih Kejam Ekonomi, bila Dikawinkan “ Lebih Dua Kali Kejam”

4 Juni 2013   12:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:33 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu kebanggaan bahwa kita dilahirkan oleh Tuhan dinegara ini. Tanah yang subur dan hamparan samudra yang luas. Perbedaan yang berwarna teranyam dalam jalinan kasih yang sangat mesra. Sungguh sangat dianugrahi dan Tuhan benar-benar memanjakan kita dengan maha karya-Nya.

Namun sesaat batin berteriak, kesadaran mulai mencair dari kebekuan kalbu. Disentilnya kita oleh fakta yang sesungguhnya terjadi saat ini. Seakan hanya gambaran ilusi, kesadaran itu berbisik pada diri kita untuk menelan ludah perlahan dan dalam. Bunuh diri, kasus cebongan, penembakan misterius, hambalang,kasus suap daging impor sapi, lumpur lapindo, kasus pajak sampai dengan genitnya Pak Aceng Fikri adalah ragam peristiwa yang terus terjadi, berkilau dimuara hati. Membentangkan layar lebar-lebar betapa kacau dan angkernya negara ini.

Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibisukan supaya tuli mendengar pikiran sehat dalam bernegara dan bermasyarakat. Kemudian dijual obral dengan bungkusan simponi dan nyayian yang menyentuh jiwa untuk membeli godaan jiwa agar bisa meraih kekuasaan dan ekonomi. Bukan setali tiga uanglagi tapi sengkuni dibungkus dewata. Bagaimana tidak, fakta menunjukan bahwa abdi negara dan wakil rakyat dinegara ini mesti punya ongkos bayar kalau ingin duduk dikursi emas kekuasaan. Jelas negara sudah mengamini produksi satria-satria nafsu bukan kesatria hati.

Kekacauan ini mungkin mengusik heningnya ruang bagi mereka yang bercinta dengan kesenangan yang langgeng. Pertumbuhan ekonomi hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki harga diri dalam berpolitik dan punya kehormatan berekonomi. Pendidikan seperti bagian dari mesin ekonomi untuk melepas hawa nafsu dalam berebut lapangan pekerjaan. Simiskin dan pemulung meratapi iri hatinya dalam-dalam, memandang jauh-jauh seakan ketamakan dan kelaparan benar jatuh kebumi. Dikurasnya air mata untuk meredam rasa amarah. Disudut-sudut terang mereka sembunyi, berbaring dengan hamparan bumi, dipangdangnya langit sebagai atap yang bisa menawar racun setan gundul. Selamat datang diperadaban baru, uang dan kekuasaan dijadikan bbm kendaraan Tuhan untuk mengendalikan pendengaran, penglihatan dan hati. Gairah cinta dan kasih ditundukan oleh dahsyatnya nalar. Dijadikannya pusaka tipu muslihat.

Kejam politik lebih kejam ekonomi dan bila disandingkan akan dua kali lebih kejam. Mengkritik memang perbuatan kejam dan konyol. Bukankan setiap apa yang dilahirkan kedunia ini juga mesti siap menerima kritikan. Kapanpun dan dimanapun kita bisa dikritik,kebaikan dan kerusakan yang sesungguhnya itu bermuara dalam hati, bukan pada sarang yang hancur oleh bom poso dan koyak moyak oleh Kereta Api.

Semoga kesadaran itu benar-benar masih bisa menyelinap saat diri ini tertidur. Biarkan saja semua berkata tidak, yang penting aku tetep MERAH PUTIH. TUHAN terangi kami bahwa setiap peristiwa terjadi karena selalu ada alasan cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun