Kemudian semua kertas terkumpul. Wajah-wajah mereka penasaran. Kantuk dari sisa belajar sebelumnya dengan guru Fikih mereka mulai hilang. Mata mereka membesar. Akupun memilah kertas yang bertulis nilai 94, 92, 90, 88, dan seterusnya. Nilai terendah 83. Namun aku menemukan dua kertas. Satu bertulis tidak ingat dan satu bertulis belum tahu.
"Oke keren. 29 siswa memiliki nilai. Berarti smart. Memiliki empati dan mencintai diri sendiri. Peduli kepada ibu guru. Sedang yang dua lagi nampaknya belum keren karena tak mencintai diri sendiri atau belum peduli akan diri sendiri.
Agar sukses kita harus tau nilai rapor kita Nak. Bahkan boleh protes. Nilaiku kok rendah?
Kulanjutkan dengan nada yang lebih hangat, “Anak-anak, kalian tahu tidak, mengingat nilai itu bukan sekadar mengingat angka di atas kertas. Nilai itu cerminan usaha kalian, seberapa jauh kalian memahami, dan seberapa peduli kalian pada hasil belajar bahasa Indonesia.
Nilai yang bagus itu membanggakan, tapi nilai yang kurang juga bukan akhir dari segalanya. Yang penting, kalian tahu di mana posisi kalian dan apa yang harus diperbaiki.”
Aku melihat ke dua siswa yang tulisannya membuatku berhenti tadi. “Kalian yang menulis ‘tidak ingat’ dan ‘belum tahu,’ ibu tidak marah, kok. Tapi ibu ingin tahu, apa alasan yang sebenarnya membuat kalian menulis itu? Coba renungkan, Nak! Masak nilai rapor sendiri tak hafal? Gimana mau protes atau mengeritik Bu Guru.
Untuk sukses, kita harus tahu nilai rapor kita. Agar kita tahu kekuatan dan kelemahan kita. Bahkan jika merasa ada yang salah, kalian boleh bertanya, ‘Nilai saya kok rendah, Bu?’ Sebab itu adalah langkah pertama untuk mencintai diri sendiri—mengenali diri, lalu memperbaikinya.”
"Bu, saya tak tahu nilai karena belum terima rapor, Bu!"
"Mengapa, Nak?"
"Saya ikut camp tahfizh, Bu."
"Keren. Jawabku. Izin ma wali kelas,Nak?" Lanjutku bertanya. Ia balas mengangguk. Adapun siswa bernama Baim betul lupa berapa nilai rapornya.