Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Fenomena Mencontek dalam Dunia Pendidikan: Mengurai Akar Masalah dan Solusinya

18 Desember 2024   20:23 Diperbarui: 19 Desember 2024   10:15 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2 tugas siswa: Foto SS dokumen pribadi

Contekan Siswa Pada Pecahan Uang Rp20.000

Saat itu, Pak Mus, suami Bu Liana, baru saja bersiap akan pergi kerja. Ia meletakkan tasnya di atas meja tamu dan memeriksa isi dompetnya. Ia mengeluarkan pecahan Rp20.000 untuk ditinggalkan buat jajan istrinya hari ini. Selembar uang Rp20.000 itu ditemukan Pak Mus di sana.

Namun, ada hal yang aneh---uang itu penuh dengan coretan tulisan kecil. 1.B 2.B 3.C dan seterusnya. Ia mengernyitkan dahi sambil bertanya, "Bun, ini uang Rp20.000 kok dicoret-coret begini? Ini kembalian Ayah beli pertalit kemarin. Laku nggak ya?" Tanya beliau sambil memperagakan uang itu kepada istrinya.

Bu Liana yang sedang menyiapkan teh di dapur, menghampiri suaminya sambil mengerutkan alis. "Mana, Yah?" Tanyanya. Ia mengambil uang itu dan tertawa kecil setelah memeriksa lebih dekat. "Oh, ini bisa kok dibelanjain, Yah. Buat aku aja. Ini sepertinya contekan siswa saat ujian deh. Ada pilihan ganda A, B, C, D-nya." Bu Liana terkikik geli.

Gambar uang berisi contekan pilihan ganda: Foto Dokumen Pribadi
Gambar uang berisi contekan pilihan ganda: Foto Dokumen Pribadi

Pak Mus hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum, "Luar biasa kreatif siswa, ya. Tapi sayangnya salah tempat."

Mencontek dalam Dunia Pendidikan: Mengurai Akar Masalah dan Solusinya

Menyimak percakapan pada cuplikan cerpen di atas, itulah fenomena dalam dunia pendidikan kita saat ini. Siswa dalam mengerjakan tugas rumah menyontek, bikin latihan di kelas juga nyontek. Bahkan ujianpun mereka menyontek.

Ragam media mereka gunakan dalam menyontel. Bisa telapak tangan, pangkal lengan, rok, celana, potongan kertas, dan uang seperti contoh di atas. Sejak Ujian Nasional (UN) dihapus, kebiasaan mencontek di kalangan siswa itu menjadi marak. Tanpa adanya ujian yang bersifat standar dan seragam, siswa merasa kurang termotivasi untuk belajar dengan sungguh-sungguh karena mereka menganggap evaluasi akhir tidak lagi terlalu menentukan masa depan mereka.

Situasi ini diperparah oleh adanya sistem zonasi. Sistem zonasi tak memerlukan nilai bagus dan prestasi. Pas batas KKM saja cukup. Ya, sejak Ujian Nasional (UN) dihapus, banyak siswa hanya cenderung mengejar nilai pas batas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) tanpa usaha lebih. "KKM berapa, Bu?" Tanya Pasha salah satu murid kelas 9.

"80!" Jawab Bu Liana.

"Ya, udah. Pas batas KKM saja nilai Bahasa Indonesia saya, Bu." Tutup Pasha.

Begitulah mereka, merasa tidak perlu memahami materi secara mendalam, asalkan nilai mencukupi untuk lulus-sudah cukup. Toh akan diterima di sekolah lanjutan lewat jalur zonasi

Hal itu membuat siswa lebih fokus mencari cara instan, mencontek, dan mengupah bikin tugas daripada belajar sungguh-sungguh. Akibatnya, mereka nol ilmu, nol wawasan, dan potensi mereka untuk berkembang terhambat, nilai kejujuran dalam belajar pun terabaikan.

Selain itu kurangnya pengawasan yang ketat saat ujian sekolah atau ujian harian pun memberikan kesempatan mereka untuk mencontek menjadi lebih terbuka. Padahal, perilaku seperti itu justru menghambat siswa untuk mengembangkan kejujuran dan kemandirian mereka sebab dua nilai penting yang seharusnya mereka pelajari selama menempuh pendidikan tak terlaksana.

Dua nilai yang dimaksud adalah kejujuran dan kemandirian.

Kejujuran

Siswa diharapkan bersikap jujur dalam setiap proses belajar, termasuk saat menghadapi ujian, saat latihan, dan saat belajar dengan mereka mengandalkan pemahaman mereka sendiri tanpa mencontek. Kejujuran adalah fondasi penting dalam membangun karakter yang kuat dan dapat dipercaya kelak.

Kemandirian

Siswa didorong untuk belajar sendiri dan bertanggung jawab sendiri atas proses serta hasil belajarnya. Kemandirian ini penting agar mereka mampu menghadapi tantangan secara mandiri di masa depan tanpa bergantung pada cara-cara tidak benar, seperti mencontek. Bila mereka tak tangguh tentu mudah merasa kalah dan frustasi.

Mencontek sebagai tindakan yang mereka anggap lumrah tetapi sebenarnya mencerminkan berbagai masalah dalam dunia pendidikan mereka. Faktor utama yang mendorong perilaku ini meliputi tekanan akademik yang berlebihan dari orang tua mereka dan guru mereka.

Kurangnya pemahaman materi, pengaruh teman sebaya, dan lemahnya nilai integritas pada siswa mendorong mereka melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai tanpa usaha. Selain itu, sistem pendidikan yang terlalu fokus pada hasil akhir tanpa memberikan ruang bagi pemahaman konsep turut memicu fenomena ini.

Dampak mencontek sangat merugikan siswa di masa depannnya. Dampak itu akan berimbas baik bagi individu maupun sistem pendidikan kita. Kebiasaan ini menghambat pengembangan kemampuan berpikir kritis, merusak karakter siswa, dan menurunkan kredibilitas institusi pendidikan.

Nilai akademik yang diperoleh pun menjadi tidak bermakna karena tidak mencerminkan kemampuan nyata siswa sehari-hari. Selain itu, suasana belajar menjadi tidak kondusif karena kejujuran tidak lagi dihargai.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Guru dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan interaktif, sementara orang tua perlu menanamkan nilai kejujuran sejak dini.

Sekolah juga harus menerapkan program pendidikan karakter dan sistem penilaian yang lebih holistik. Dengan langkah ini, siswa diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar secara jujur dan bertanggung jawab sehingga menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih sehat dan bermakna.

Fenomena Mencontek pada Siswa: Sebuah Analisis Berdasarkan Teori Pendidikan: Mengurai Masalah dan Solusinya

Mencontek, meskipun sering dianggap lumrah dalam lingkungan pendidikan, adalah tindakan yang menyimpan masalah kompleks. Tidak hanya melanggar etika akademik tapi fenomena ini mencerminkan berbagai faktor yang saling berkaitan seperti sudah diuraikan di atas. 

Yah, mulai dari tekanan akademik hingga pengaruh lingkungan, tak ada UN, dan sistem zonasi. Dengan memanfaatkan teori pendidikan dan psikologi, mudah-mudahan kita dapat memahami akar permasalahan serta dampak negatif dari fenomena ini secara lebih mendalam.

Faktor Penyebab Fenomena Mencontek dan Solusinya

1. Tekanan Akademik dan Kebutuhan Pengakuan

"Menurut Teori Kebutuhan Abraham Maslow, siswa cenderung mencontek ketika kebutuhan mereka akan penghargaan (esteem needs) tidak terpenuhi. Tekanan akademik yang berlebihan sering membuat siswa merasa tidak mampu sehingga mereka mencari jalan pintas untuk mendapatkan nilai tinggi demi pengakuan." (Abraham Maslow)

Kadang mereka malu bila salah. Selain itu mereka juga memiliki dua sifat berlawanan. Ingjn diakui bernilai tinggi, namun malas untuk bekerja. Bahkan demi mendapatkan jawaban tugas, latihan, dan ujian mereka tak segan mengancam dan membayar seperti sistem joki. Meski mereka baru SMP.

Perhatikan tugas 3 siswa berikut!

Gambar 1 tugas siswa: Foto SS dokumen pribadi
Gambar 1 tugas siswa: Foto SS dokumen pribadi

Gambar 2 tugas siswa: Foto SS dokumen pribadi
Gambar 2 tugas siswa: Foto SS dokumen pribadi

Gambar 3 tugas siswa: Foto SS dokumen pribadi
Gambar 3 tugas siswa: Foto SS dokumen pribadi

Ketiga tugas daring jurnalistik siswa itu sama persis paragrafnya, isinya, dan kesalahannya.

2. Pengaruh Lingkungan dan Pembelajaran Sosial

"Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengamatan terhadap orang lain. Dalam konteks sekolah, siswa yang melihat teman atau bahkan figur otoritas mentoleransi kecurangan dapat menganggap mencontek sebagai hal yang wajar." (Albert Bandura)

Bila kita menemukan kasus ke samaan tugas seperti 3 tugas di poin satu, kita tak boleh mentolerir. Mereka bertiga bisa disuruh memperbaiki kalimat masing-masing pada paragraf. Bisa dengan menambahkan contoh baru. Bisa dengan mengganti paragraf. Makanya butuh waktu tambahan untuk membina siswa. Misalnya daring sepulang sekolah.

Jundilan9I: Yang iko esai tu buk?? (Iko: ini)
Liana S.Pd: Salin ke kertas doubel polio seperti cerpen. Besok Senin agiah ka ibuk! (agiah ka: berikan kepada)

Bisa pula siswa yang memiliki motivasi belajar rendah seperti siswa di atas diberi tugas tambahan menulis dengan tangan. Metode menulis dengan tangan ini diharapkan meninggalkan ilmu yang ditulis dalam alam bawah sadar siswa. Bila kelak butuh, memori itu bisa muncul lagi.

Otak manusia sering diibaratkan seperti komputer karena kemampuannya untuk menyimpan, memproses, dan mengakses informasi. Ketika seseorang mempelajari sesuatu ilmu, informasi tersebut disimpan dalam memori.

Memori itu baik jangka pendek maupun jangka panjang, mirip dengan data yang disimpan di hard drive kita. Saat diperlukan, otak dapat "memanggil" kembali informasi tersebut melalui proses pengingatan, sama seperti komputer yang membuka file yang tersimpan.

Namun, tidak seperti komputer, otak memiliki kemampuan adaptasi, pembelajaran, dan kreativitas yang jauh lebih kompleks, menjadikannya perangkat pemrosesan paling canggih yang ada. Bila yang tersimpan tak diulang dan dikaji lagi maka tetap terpending di dalam.

3. Motivasi Ekstrinsik yang Berlebihan

Deci dan Ryan melalui Teori Self-Determination membedakan motivasi intrinsik dan ekstrinsik. "Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada nilai atau hasil akhir (motivasi ekstrinsik) sering kali mengurangi dorongan siswa untuk belajar secara mendalam, sehingga mereka lebih memilih cara instan, seperti mencontek."

Dalam mengatasi masalah motivasi yang berorientasi pada hasil akhir di atas, strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah pendekatan berbasis motivasi intrinsik. Guru menciptakan lingkungan belajar yang mempromosikan rasa otonomi, kompetensi, dan keterhubungan.

Hal itu sudah dijelaskan dalam Teori Self-Determination. Salah satu caranya dengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih topik atau metode belajar sesuai minat mereka. Misalnya guru bisa menawarkan proyek berbasis eksplorasi yang relevan dengan kehidupan siswa sehingga mereka merasa memiliki kontrol atas proses belajar.

Seperti Jundilan9I di atas, ia meminati bola. Ia bisa diminta membuat esai tentang bola. Dengan demikian, siswa terdorong untuk belajar karena mereka tertarik dan memahami manfaatnya dan bukan sekadar untuk mendapatkan nilai.

Selain itu, strategi lainnya memberikan umpan balik yang membangun motivasi mereka. Guru dapat menyoroti proses belajar siswa, usaha yang telah mereka lakukan, serta kemajuan yang dicapai. Hal ini memperkuat motivasi intrinsik siswa dengan menunjukkan bahwa pembelajaran sebagai perjalanan yang berharga, bukan hanya soal hasil akhir.

Pendekatan sederhana seperti ini diharapkan dapat mendorong siswa untuk lebih mendalami materi, meningkatkan rasa percaya diri, dan mengurangi ketergantungan pada cara instan, mencontek.

4. Tahap Perkembangan Moral dan Kognitif

Jean Piaget juga menyebutkan bahwa siswa yang berada pada tahap operasional konkret (sekitar usia 7-12 tahun) belum sepenuhnya memahami dampak moral dari mencontek. Jika tidak dibimbing dengan baik, mereka mungkin menganggap perilaku tersebut sebagai solusi cepat tanpa mempertimbangkan konsekuensi etisnya. Mereka pun akan menuai dampak negatif berupa:

1. Hambatan Pengembangan Diri

Menurut Zone of Proximal Development (ZPD) Vygotsky, "Belajar paling efektif terjadi ketika siswa menghadapi tantangan yang dapat mereka selesaikan dengan bantuan. Namun, tindakan mencontek mengabaikan proses ini, sehingga menghambat pengembangan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Penciptaan lingkungan belajar yang mendukung dengan pendekatan humanistik seperti yang diajukan oleh Maslow dan Rogers menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang memenuhi kebutuhan psikologis siswa.

Guru harus memberikan penghargaan atas proses belajar, bukan hanya berupa nilai di hasil akhirnya untuk mendorong motivasi intrinsik mereka. Hadiah bisa sederhana misalnya pemberian tanda bintang 1, 2, 3, 4, 5 pada tugas yang mereka selesaikan.

2. Kerusakan Nilai Akademik dan Moral

Etika Kantian menekankan akan pentingnya bertindak berdasarkan prinsip moral universal. Mencontek tidak hanya melanggar kejujuran, tetapi juga menciptakan nilai akademik yang semu, merusak karakter siswa, dan menanamkan pola pikir curang dalam kehidupan mereka.

Modeling dan penguatan perilaku positif dengan mengacu pada Bandura, guru dan orang tua harus menjadi model perilaku jujur. Penguatan positif seperti penghargaan untuk siswa yang jujur dapat menjadi langkah efektif untuk mengurangi kebiasaan mencontek. Guru bisa meminta orang tua untuk memberi mereka penghargaan di rumah.

Misalnya berupa menu makan. Mau lauk apa hari ini? Ikan panggang, dendeng balado, rendang padang, atau apa? Guru berkolaborasi dengan orang tua untuk memberi anak penghargaan.

3. Merusak Suasana Belajar

Kebiasaan mencontek dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak kondusif lagi. Siswa yang belajar dengan sungguh-sungguh merasa dirugikan, sementara nilai-nilai kejujuran semakin terpinggirkan. Ketika belajarpun, siswa jujur merasa terganggu karena dikuntit terus oleh siswa tak jujur.

Bahkan sering karena diancam dan dikucilkan, siswa jujur terpaksa terlambat menyerahkan tugas karena tugasnya harus dipergilirkan oleh siswa yang tak jujur.

Untuk meningkatkan kesadaran moral siswa agar siswa tak jujur tak merusak suasana belajar, Piaget dan Vygotsky menekankan pentingnya diskusi etis untuk membantu siswa memahami dampak moral dari tindakan mencontek.

Selain itu, memberikan tantangan yang relevan sesuai kemampuan siswa akan membantu mereka meraih prestasi secara jujur. Disuruh keluar dari kelas bukan solusi bagi siswa tak jujur. Tapi mereka perlu diedukasi tentang penegakan moral secara humanistik dan kasih sayang. Bisa dengan bahasa cinta.

Selain itu dengan mereformasi sistem pendidikan berupa menyeimbangkan fokus antara hasil akhir dan proses belajar. Kurang relevan rasanya tes akhir di pembelajaran dengan proses belajar siswa.

Dengan pengerjaan proyek misalnya mereka berhasil menulis cerpen dengan kategori pilihan. Apakah masih perlu siswa diuji dengan apakah pengertian cerpen? Latar belakang cerpen di atas adalah... a, b, c, d?

Bukankah kemampuannya menulis sebuah cerpen sudah menunjukkan penguasaan siswa tentang seluk beluk cerpen? Khusus materi pelajaran Bahasa Indonesia terjadi pengaburan konsep-konsep dengan penamaan jenis teks rekon, esai, dan segala macam.

Pengelompokan untuk siswa SMP tentu cukup sederhana saja seperti puisi, cerpen, berita, resensi, eksposisi, deskripsi, argumentasi, narasi, dan teks prosedur. Materi tersebut jelas dan mudah dipahami siswa sesuai pemahaman, keadaan di lingkungan,  dan minat mereka.

Misalnya materi  di atas dengan mudah dapat disesuaikan dengan minat siswa terhadap bola:

Pertama, Puisi

Sepak Bola

Bola bundar bergulir lincah,
Menggapai mimpi di lapangan hijau,
Peluh bercucuran, semangat membuncah,
Gol tercipta, sorak sorai menggema di kerumunan.

Kedua, Cerpen

"Mimpi di Lapangan Hijau"

Andi adalah seorang siswa SMP yang bercita-cita menjadi pemain bola profesional. Ia sering bermain bola di lapangan dekat rumahnya, meski sepatunya sudah usang. Suatu hari, pelatih lokal melihat bakat Andi dan mengajaknya bergabung ke tim muda daerah. Dari sana, Andi belajar tentang kerja keras, persahabatan, dan pentingnya menjaga semangat untuk meraih mimpinya.

Ketiga, Berita

"SMP Garuda Menang di Turnamen Antar-Sekolah"

Tim sepak bola SMP Garuda berhasil memenangkan turnamen antar-sekolah se-kecamatan. Dalam pertandingan final yang berlangsung seru, SMP Garuda mengalahkan SMP Pelita dengan skor 2-1. Kapten tim, Riko, menjadi bintang lapangan dengan mencetak gol penentu di menit terakhir.

Keempat, Resensi

"Film Coach Carter Versi Sepak Bola"

Film "Goal!" menceritakan perjalanan Santiago Muñez, seorang pemuda dari keluarga sederhana yang ingin menjadi pemain sepak bola profesional. Film ini menginspirasi penonton untuk tidak pernah menyerah, meski menghadapi berbagai tantangan.

Kelima, Eksposisi

"Manfaat Bermain Sepak Bola bagi Siswa"
Bermain sepak bola memberikan banyak manfaat, seperti meningkatkan kesehatan fisik, melatih kerja sama tim, dan membangun disiplin. Selain itu, olahraga ini juga dapat menjadi sarana untuk membangun persahabatan dan mengembangkan keterampilan sosial.

Keenam, Deskripsi

"Lapangan Hijau Idaman"

Lapangan itu luas, dengan rumput hijau yang terawat rapi. Di sekelilingnya terdapat tribun kecil yang dipenuhi pendukung saat pertandingan berlangsung. Garis-garis putih membentuk kotak penalti dan lingkaran tengah, menjadi saksi perjuangan setiap pemain yang berlari mengejar bola.

Ketujuh, Argumentasi

"Sepak Bola Membentuk Karakter Positif"

Sepak bola tidak hanya sekadar olahraga, tetapi juga media pembentukan karakter. Dalam permainan, siswa belajar disiplin, kerja sama, dan bagaimana menghargai lawan. Oleh karena itu, sepak bola seharusnya mendapatkan dukungan lebih besar di sekolah sebagai bagian dari pendidikan karakter.

Pendekatan ini menghubungkan materi dengan minat siswa, sehingga lebih relevan dan menarik bagi mereka. Dengan menekankan pentingnya pembelajaran berbasis pemahaman, bukan sekadar pencapaian nilai, siswa dapat termotivasi untuk belajar dengan sungguh-sungguh.

Baru-baru ini ketika merumuskan nilai siswa ke dalam rapor mereka, nilai UH (Ulangan Harian) mendapat poin 70% , tugas 30 persen. Setelah diolah lalu digabungkan lagi dengan posisi nilai tugas dan ulangan harian menjadi 90% dan ujian semester 10%. Masih saja penetapan nilai siswa berupa hasil akhir.

Kesimpulan

Fenomena mencontek merupakan tantangan dalam dunia pendidikan yang kompleks. Dengan memahami faktor penyebab dan dampak negatifnya melalui perspektif teori pendidikan, guru dapat merumuskan solusi yang komprehensif.

Guru, orang tua, dan institusi pendidikan perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pengembangan karakter dan kemampuan siswa sehingga menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab dalam proses belajar di sekolah. Semua bisa diatasi dan diurai bila ada kolaborasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun