Janji di Hari Jumat
Hari ini seperti biasa adzan Jumat atau panggilan dzuhur berkumandang pukul 12.10 WIB. Suasana Jumat begitu tenang. Udara hangat dan tak panas. Angin bertiup pelan dan panggilan adzan Zhuhur itu menggema.Â
Seharusnya para siswa putra kelas VIII dan IX di sekolah Bu Sriana bersiap untuk shalat Jumat di masjid sekolah. Seperti yang biasa mereka lakukan setiap pekan. Namun, ada yang berbeda hari ini. Tiba-tiba Bu Sri teringat belum lunas bayar goreng pisang Mak Cinta kemarin sore, Kamis.
Di sudut kantin Mak Cinta tiba-tiba enam siswa---Farel, Pasha, Haikal, Arfa, Fakhri, Fari, Zidan, dan Faiz muncul. Mereka bersirobok dengan Bu Sriana.
Karena kaget, Bu Sriana menjerit, " Hai Farel! Imam sudah Fatihah di Masjid. Mengapa kamu dan temanmu tak shalat Jumat?" Bu Sriana mengejar murid-muridnya.
Berkumpul dan berlarilah murid-murid itu dengan wajah yang tampak penuh rahasia. Mereka berlari sambil saling berbisik menuju toilet sekolah. Bu Sriana memastikan mereka semua berwudhuk.
Masih terbayang di benak anak-anak itu sepertinya bahwa mereka berusaha cabut.
"Yakin ini aman? Kalau ketahuan, habis kita," bisik Zidan.
"Sudah, santai saja. Masjidkan penuh, mana ada guru yang ngecek satu-satu," jawab Farel dengan percaya diri.
Akhirnya, mereka sepakat saat itu untuk "cabut" dari kewajiban shalat Jumat dan malah bersembunyi di belakang gudang kesenian. Mereka bermain kartu sambil tertawa kecil, tak sadar waktu terus berjalan. Hari ini memang mereka janji cabut. Janji bodoh di hari Jumat.
Ketahuan
Selesai khutbah Jumat, suasana di depan masjid tiba-tiba ramai. Tapi entah kenapa, nama-nama itu menjadi bahan bisik-bisik para siswa lainnya. Beberapa teman mereka curiga, dan akhirnya informasi itu sampai ke telinga Bu Sriana.
"Farel dan kawan-kawan tidak terlihat tadi, Bu" ujar salah satu siswa cewek melapor.
Mendengar itu, Bu Sriana langsung bertindak. Ia pun ingat utang goreng di kantin Mak Cinta. Sambil bayar utang, ia menemukan geng perusuh sekolah itu di area kantin sekolah.
Mereka merasa bersalah. Wajah mereka seketika pucat ketika melihat sosok guru mereka berdiri tegak. Bu Sriana menjerit dan menatap tajam mereka.
Karena kaget, Bu Sriana menjerit, " Hai Farel! Imam sudah Fatihah di Masjid. Mengapa kamu dan temanmu tak shalat Jumat?" Bu Sriana mengejar murid-muridnya.
"Cepat berwudhu!"
Bu Sriana memastikan mereka semua berwudhu dan masuk Masjid. Bu Sriana pun langsung ke ruang kepala melapor. Berdua dengan Kepala sekolah mereka memantau CCTV masjid.
Ketika imam mengucap salam, tak satupun murid terlihat menambah rakaat sebagai makmum yang masbuk.
 "Bu Sriana. Segera ke Masjid. Tandai shaf 1 paling belakang mengulang shalat mereka." Perintah kepala sekolah.
Bergegas Bu Sriana ke Masjid. Semua shaf depan sedang khusuk berdoa. Kecuali dua shaf belakang.
"Shaf belakang suruh shalat lagi Bu Ana." Intruksi kepala melalui pengeras CCTV.
Segera Pak Danil yang sudah berdoa memberi instruksi pula. "Bagi Ananda yang berbicara saat khutbah dan datang terlambat bikin shaf di belakang. Perbaiki shalat dzuhur kalian yang tidak sah." Umum beliau.
Mereka yang merasa bersalah pun terpaksa mundur. Jadilah dua shaf belakang mengulang shalat lagi.
Sanksi yang Mendidik
Usai Jumat di ruang guru, Bu Sriana dan Pak Danil tidak langsung memarahi mereka. Ia meminta mereka merenungkan apa yang telah dilakukan. Setelah itu, mereka mengkaji ulang sanksi cabut Jumat. Mereka mengambil keputusan:
1. Selama satu pekan, mereka diwajibkan membantu membersihkan masjid sebelum waktu shalat Jumat.
2. Sebagai simbol tanggung jawab, mereka harus rela rambut mereka dipotong rapi sendiri---bukan sekadar botak sembarangan, tetapi dengan niat memperbaiki diri.
"Botak ini bukan untuk mempermalukan kalian, tapi sebagai pengingat bahwa kalian pernah salah dan harus berubah lebih baik," jelas Bu  Sriana.
Mereka mengangguk dengan wajah menyesal.
Janji Baru
Pekan berikutnya, Farel, Pasha, Haikal, Arfa, Fakhri, Fari, Zidan, dan Faiz terlihat sibuk membersihkan masjid. Rambut mereka yang sudah dipotong sendiri rapi menjadi tanda perubahan. Banyak siswa lain yang memuji keberanian mereka menerima tanggung jawab.
"Bu, kami janji nggak bakal ulangi lagi," ujar Farel suatu hari kepada Bu Sriana.
Bu Sriana tersenyum tipis. "Ingat, kesalahan itu pelajaran. Jangan sia-siakan kesempatan untuk menjadi lebih baik."
Bu Sriana tiba-tiba ingat muridnya Fauzan dan Afdhal. Persis seperti kelakuan Farel hari itu. Bu Sriana mengejar mereka. Namun Ibu kantin dengan tanpa dosa menyembunyikan mereka.
Hingga dua tahun sesudah tamat dari sekolah. Fauzan datang menghampiri Bu Sriana. "Bu, Fauzan minta maaf. Dua tahun lalu. Ibu mengejar-ngejar Fsuzan untuk Jumatan. Sekarang Fauzan ketua OSIS, Bu. Tugas Fauzan sekarang di SMA 1 mengabsen kawan yang shalat Jumat dan tak shalat Jumat"
Bu Sriana tersenyum bila ingat karma baik yang diceritakan Fauzan muridnya. Ada harapan di hatinya dan doa di dasar hatinya mudahan Farel CS juga nanti di SMA menjadi baik seperti kakak seniornya Fauzan Al Dast.
Sejak hari itu, mereka tidak pernah lagi absen dari shalat Jumat. Bahkan, merekalah yang sering mengingatkan teman-temannya untuk tidak bermain-main dengan kewajiban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H