Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Karakter Tangguh pada Anak untuk Mampu Menghadapi Tantangan Hidup

20 November 2024   18:15 Diperbarui: 20 November 2024   18:17 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa percaya diri di kelas: Foto by Dokpri

Membangun Karakter Tangguh pada Anak untuk Menghadapi Tantangan Hidup

Hidup adalah perjalanan penuh liku. Setiap orang pasti akan menghadapi tantangan di sepanjang jalan yang dilaluinya. Sebagai orang tua maka salah satu tugas penting mereka membekali anak dengan kemampuan untuk tetap tangguh dalam situasi apa pun. 

Ketangguhan bukanlah sifat bawaan anak dari lahir, melainkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran dan pengalaman sehari-hari mereka. Perlu bantuan orang lain agar mereka terbiasa tangguh. Bisa dipelajari dan dicontoh melalui kegiatan sehari-hari.

Psikolog anak Dr. Tovah Klein menyebutkan bahwa ketangguhan anak melibatkan kemampuan untuk beradaptasi, fleksibel, dan menghadapi situasi dengan sikap terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak tidak dilahirkan dengan ketangguhan, tetapi orang tua memiliki peran besar untuk mengasah keterampilan ini.

Maka, membangun karakter tangguh pada anak menjadi langkah krusial agar mereka siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Orang tua harus membantu mereka meraih keterampilan ini sejak dini. Perlahan namun pasti.

Membantu Anak Memahami Tantangan

Ketangguhan bermula dari pemahaman bahwa hidup tidak selalu berjalan mulus. Orang tua dapat memulai mendidik anak dengan membicarakan kenyataan bahwa kegagalan atau kesulitan adalah bagian dari kehidupan.

Misalnya, ketika anak gagal mendapat juara lomba lari. Ketika mereka gagal mencapai sesuatu yang mereka idamkan, orang tua dapat mendorong mereka untuk melihat sisi positif dari pengalaman tersebut dan mencari solusi, bukan menyalahkan keadaan.

Dengan cara ini, anak belajar memahami bahwa tantangan bukanlah akhir dari segalanya. Kegagalan melainkan peluang untuk belajar dan berkembang. Dari kegagalan mereka bisa belajar mengapa temannya menang saat lari. Mengapa ia kalah.

Memberikan Contoh Ketangguhan

Anak-anak pada fase ini cenderung meniru perilaku orang tua dan orang lain. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menjadi contoh dalam menghadapi tantangan dengan sikap positif dan tenang. Misalnya, ketika menghadapi masalah di tempat kerja atau kehidupan sehari-hari, tunjukkan kepada anak bagaimana Anda mencari solusi dan tetap optimis.

Ketika tekanan pekerjaan dari bos tinggi, Anda tetap optimis. Anda tak pernah menjelek-jelekkan bos Anda dihadapan keluarga. Anda selalu menilai bos sebagai atasan yang harus dihormati. Sikap ini akan mengajarkan anak untuk tidak menyerah ketika menghadapi rintangan juga baik di sekolah, di lingkungan pertemanan, dan di rumah.

Suatu hari, Nisa anakku ditertawakan oleh ketiga teman karibnya. Ketika teman sekelasnya cowok lewat, salah satu temannya mengoloknya. " Rio pacar Nisa lewat. Ciye-ciye. Begitu juga saat Arfa teman cowok mereka lewat juga diledek. "Ciye, cowok Nisa satu lagi lewat.

Nisa pun ngambek. Ia lari ke arahku. Mata memerah. Wajah juga memerah. Aku menaikkan alis mata tanda bertanya. "Mereka meledek adek, Bun. Dibilang pacar Rio dan Arfa. Adek tak suka."

Lho, protesnya kok sama Bunda, Dek. Memangnya boleh Bunda yang tegur teman Adek?" Tanyaku penasaran.

"Nggak. Biar Adek yang tegur mereka." Ralatnya.

"Iya bagus adek yang tegur. Bisa nanti lewat wa sudah tiba di rumah kataku menasihati karena kami masih di sekolah. Sepanjang jalan menuju parkiran sekolah, si Adek terus dikutit temannya dan mereka masih cekikikan ketawa. 

"Tuh lihat teman Adek, meski Bunda guru mereka, mereka tak segan menertawai Adek. Teman adek itu musti adek nasihati." Kamipun segeea pulang ke rumah.

Esoknya sepulang sekolah si Adek menemuiku lagi di kantor guru. Ia mengjak pulang bareng. Usai ambil absen pulang kami menuju parkiran. 

"Bun, teman-teman Adek sudah minta maaf tadi pas jam istirahat." Lapornya.

"Wah keren, dong!" Jawabku sambil mengacung jempol.

"Iya, tadi adek nasihati mereka. Adek bilang pacaran itu haram. Kita juga baru bocil masak sudah mikirin cowok. Sekolah yang benar dulu. Raih sarjana baru deh mikirin cowok."Kata Adek. "Adek ancam dikit, ntar aku bilang sama ante ortu-ortumu deh kamu semua nembak-nembak cowok."

"Jangan Nisa. Ampun deh. Kita gak ledekmu lagi!" Itu janji mereka Bun.

"Syukurlah jawabku!" Sambil menyalami si Dedek. Tangguh memang.

Meski ditatap semua teman, Khiara tetap percaya diri berpendapat: Foto Dokpri
Meski ditatap semua teman, Khiara tetap percaya diri berpendapat: Foto Dokpri

Membangun Kemandirian dan Rasa Percaya Diri Anak

Ketangguhan seperti si Dedek di atas juga berkaitan erat dengan rasa percaya diri dan kemandirian. Biarkan anak mencoba hal-hal baru tanpa terlalu banyak intervensi dari kita orang tua.

Ketika mereka kecewa dan gagal dalam berteman seperti diatas, ajak mereka untuk berdiskusi. Ajak mereka mencoba lagi sambil memberikan dukungan emosional. Dengan begitu, mereka belajar untuk percaya pada kemampuan sendiri dalam menyelesaikan masalah mereka.

Kemandirian ini akan membuat anak lebih siap menghadapi berbagai situasi, baik yang mudah maupun sulit. Namun, orang tua tetap memantau dan menarik ulur perhatian. Mereka belum sepenuhnya bisa dilepas. Mereka tetap butuh dukungan dan support orang tua.

Misalnya ketika mereka curhat seperti si Dedek di atas, kita orang tua harus ada. Tanda jempol dan ucapan selamat yang sederhana itu membuat si Dedek percaya diri. Bahwa nasihat dan ancaman yang ia sampaikan ternyata boleh dan benar. Ia pun akan merasa pasti untuk melangkah. Tanpa sadar kita sudah menanamkan rasa percaya diri, mandiri, dan kemampuan memanajemen masalah.

Mengembangkan Empati dan Hubungan Sosial

Selain ketangguhan pribadi, anak juga perlu belajar membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Seperti hubungan dengan teman sebaya dan orangtua teman sebayanya.

Dengan mengembangkan empati, anak akan lebih mampu memahami perasaan orang lain dan menciptakan jaringan dukungan emosional dari lingkungannya. Dalam situasi sulit, hubungan yang baik dengan keluarga, teman, atau komunitas dapat membantu anak merasa didukung dan lebih kuat menghadapi tantangan.

Seperti kasus di atas anak percaya diri menolak pacaran. Ia pun percaya bahwa ia akan mendapat empati dan dukungan atas penolakan itu dari lingkungan tempat tinggal temannya. Ante-ante yang merupakan orang tua teman-temannya.

Menumbuhkan Sikap Fleksibel

Anak-anak pun perlu memahami bahwa tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Meski teman dekat sekalipun tak segan mengolok kita. Maka anak perlu memahami bahwa apa saja bisa terjadi.

 Fleksibilitas adalah kunci untuk menghadapi situasi yang tidak terduga itu. Orang tua dapat melatih fleksibilitas anak  ini dengan memberikan pilihan dan melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan. Seperti keputusan menasihati teman-temannya.

Hal ini akan mengajarkan mereka untuk berpikir secara kreatif dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi. Mereka harus dilatih fleksibel. Tak boleh terlalu kaku. Mereka harus yakin bahwa semua akan pleksibel jika menyangkut hal yang  benar.

Misalnya ketika anak sudah berjibaku membuat tugas kelompok dengan teman satu kelompoknya. Ternyata di kelas mereka tak jadi tampil karena ada kunjungan dokter puskesmas ke sekolah. Mereka chek kesehatan gigi, mulut, dan telinga.

Penampilan kelompok pun tertunda. Nah dengan keadaan ini, mereka anak faham. Bahwa waktu itu harus fleksibel. Tertunda tampil karena hajat kesehatan siswa yang banyak.

Ketua kelas percaya diri berpendapat di kelas: Foto Dokpri
Ketua kelas percaya diri berpendapat di kelas: Foto Dokpri
Kesimpulan

Ketangguhan adalah kemampuan yang dapat dibangun melalui pembelajaran, pengalaman, dan dukungan orang tua. Dengan membantu anak memahami tantangan, memberikan contoh ketangguhan, membangun kemandirian, mengembangkan empati, dan menumbuhkan fleksibilitas, orang tua dapat membekali anak dengan keterampilan yang penting untuk menghadapi kehidupan.

Ketangguhan bukan hanya soal bertahan dalam kesulitan, tetapi juga tentang kemampuan untuk bangkit kembali dengan lebih kuat. Anak yang tangguh tidak hanya siap menghadapi tantangan, tetapi juga memiliki peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun