Fina tersenyum dan mengangguk. Rendang di hadapannya bukan sekadar makanan. Bagi Fina, rendang ini adalah kepingan dari rumahnya. Khas dari tanah kelahirannya.
Khas dari kearifan Mak dan seluruh nilai yang telah tertanam dalam darahnya. Sebuah rasa yang akan menemani, meski ia berada jauh di tanah rantau.
Rendang: Kearifan Lokal Sumatera Barat
Rendang memang adalah ikon kuliner Nusantara yang berasal dari budaya Minangkabau, Sumatera Barat. Masakan ini bukan hanya sekedar makanan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang dipegang masyarakat Minangkabau selama berabad-abad.
Dari proses pembuatan hingga simbolik makna di balik bahan-bahan dasarnya, rendang mengajarkan kita banyak hal tentang cara hidup yang arif, bijaksana, dan sarat akan kebersamaan.
Secara etimologis, istilah "randang" berasal dari kata "marandang", yang menggambarkan teknik memasak hingga bahan menjadi kering tanpa kandungan air. Ini menjelaskan mengapa rendang sejati bertekstur kering dan berwarna coklat gelap.Â
Awalnya, teknik ini merupakan bentuk inovasi masyarakat Minangkabau untuk mengawetkan makanan di tengah keterbatasan teknologi. Dengan memasaknya berulang kali hingga kering, rendang mampu bertahan lama.
Rendang dapat dibawa sebagai bekal ketika bepergian atau merantau, menjadikannya makanan istimewa yang bernilai praktis dan ekonomis.
Proses pembuatan rendang sendiri melibatkan tiga tahapan yang menggambarkan ketekunan dan kesabaran masyarakat Minangkabau: gulai (kuahnya masih encer), kalio (kuah kental berlemak), dan randang (kering).
Dengan demikian, memasak rendang bukan sekadar keterampilan kuliner. Memasak rendang juga bentuk latihan kesabaran dan komitmen karena memerlukan waktu serta perhatian penuh.
Secara filosofis, setiap bahan utama dalam rendang melambangkan elemen-elemen masyarakat Minangkabau. Daging mewakili ninik mamak dan bundo kanduang, yang berfungsi sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat.