Ternyata benar, itulah yang kurasakan dalam imajinasi melankolisku kala itu. Sesudah orangtua kami tiada, semua berubah. Sama persis perubahan yang kurasakan saat adik-adikku menikah. Merasa kehilangan mereka.Â
Mungkinkah adik-adikku juga merasakan hal yang sama di kala aku menikah dulu? Entahlah. Aku hanya bisa menerawang. Semua di luar nalarku.
Hingga sesudah dua tahun, salah satu anak Kamal menghubungiku melalui pesan, "Bou, ke mana lagi aku sekolah?" (Bou: Ante karena aku kakak ayahnya)
Begitu isi pesan whatsup keponakanku. Aku pun mengerutkan dahi. Tetap kubalas pesan itu.
"Bukannya kamu sudah sekolah di salah satu SMA unggul di Kampung, Roman?" Tulis dan tanyaku.
"Aku mau pindah, Bou!" Tulisnya lagi.
Akupun mengubah perpesanan menjadi panggilan.
"Halo, Man! Mengapa mau pindah?" Cecarku.
"Bou, aku hampir mati dipukuli anak murid Bou, Si Setra dan Rohan. Setra memukulku, Bou lalu Rohann memegangku. Seterusnya, Rohan memukulku lalu Setra memegangku. Begitu terus, Bou. Lama Bou, dari pukul 11 hingga pukul 01 malam. Kami dikurung guru asrama di kamar kelas XI." Begitu adunya.
'Innalillahi...' Hanya kata itu terucap di mulutku berulang-ulang. Dadaku bergemuruh. Napas tercekat. Air matakupun tak bisa kutahan lagi. Meskipun ayahnya, adikku Kamal memutus silaturahmi tapi dengan ponakan-ponakanku kami tetap saling menyayangi.
Aku tetap memberi mereka uang jajan bila pulang. Tetap mengunjungi mereka di kampung. Terbayang tubuh imutnya yang putih kurus dipukuli, ditinju, dan ditendang kaki Setra yang panjang dan Rohan bergantian. Selama tiga jam pula.