Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jelang Ramadhan, Mandi Balimau dan Marpangir Menyambut Ramadhan sebagai Budaya Menyucikan Diri Bukan Hura-Hura

22 Maret 2023   21:29 Diperbarui: 22 Maret 2023   22:05 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Balimau/Marpangir by okezonenews.com

Jelang Ramadhan ini, ada namanya balimau. Balimau dalam Islam maksudnya mandi. Mandi dengan mengalirkan air ke seluruh tubuh mulai dari rambut atau kepala hingga ke ujung kaki. Bila diniatkan bersuci maka hukumnya menjadi Sunnah.

Balimau merupakan bahasa daerah Minangkabau, Marpangir bahasa Mandahiling atau Tapanuli Selatan. Kebiasaan ini menguar jelang Ramadhan dan jelang hari Raya Idul Fitri.

Balimau atau Marpangir adalah tradisi mandi dengan menggunakan jeruk nipis yang berkembang di kalangan masyarakat Minangkabau dan masyarakat Madahiling yang tinggal di Sumatera Barat.

Biasanya dilakukan di batang air tapi sekarang berkembang pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian. Kebiasaan ini diwariskan secara turun temurun. Bahkan tradisi ini dipercaya telah berlangsung selama berabad-abad. Wikipedia.

Kawasan Lubuk Minturun populer dalam tradisi balimau di Padang
Kawasan Lubuk Minturun populer dalam tradisi balimau di Padang

Jeruk nipis sebagai bahan dasar balimau atau marpangir biasanya dilengkapi pula dengan irisan-irisan daun tapak leman,  daun pandan, dan bunga.

Latar belakang balimau/marpangir pada dasarnya kegiatan  membersihkan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan suci Ramadan, sesuai dengan ajaran agama Islam, menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa.

Secara lahir, menyucikan diri dengan mandi yang bersih. Dahulu tak semua orang bisa mandi dengan bersih. Pada saat itu, tak ada sabun, wilayah ada yang kekurangan air, atau bahkan karena sibuk bekerja maupun sebab yang lain mereka tak mandi dengan sempurna. Tapi ala kadar saja.

Pengganti sabun di beberapa wilayah di Minangkabau/Mandahiling perantau adalah limau (jeruk nipis), karena sifatnya yang melarutkan minyak atau keringat di badan. 

Selain jeruk nipis seperti saya sebut di atas, kami menyiapkan bahan balimau dan marpangir sebagai bahan utama, daun pandan, bunga kenanga, dan akar tanaman gambelu.

Bahan-bahan alami ini kami iris tipus-tipis lalu dijemur di bawah terik matahari hingga kering dan wangi. Nanti dimasukkan secara bersamaan ke air hangat sehingga menjadi satu kesatuan dengan jeruk nipis yang disebut dengan balimau dan marpangir.

Dulu, kami mandi hanya di batang sungai di kampung masing-masing. Di pemandian kampung saja. Namun, seiring melejitnya jumlah penduduk usia muda, melejitnya medsos, mudahnya transportasi, dan munculnya budaya selfie dan flexing, balimau atau marpangir sudah merambah ranah wisata lokal.

Anak muda tak lagi memakai budaya balimau dan marpangir sebagai penyucian diri. Tapi ajang ini dimanfaatkan sebagai healing, dolan, atau jalan-jalan, dan betamasya dengan pacar. Kemudian selfie-selfie dan flexing di medsos.

Saya masih ingat saat SMP, teman saya Novella (bukan nama sebenarnya). Saya diajaknya pergi balimau atau marpangir. Batang Petok nama sungainya. Lalu sesampai di tujuan, saya ditinggal di rumah temannya pula. Untung temannya cewek.

Duh, lama sekali ia meninggalkan saya. Saya pun tak tahu jalan pulang kala itu karena kami cukup jauh rasanya berjalan dari tepi jalan raya ke lokasi. Lautan manusia sangat ramai. Hampir maghrib baru ia datang menjemput saya.

Namanya balimau atau marpangir tapi tak ada pengunjung yang mandi saya lihat. Termasuk saya. Kami pun tak ada mandi. Bagaimana mau mandi dengan orang seramai itu. Yang saya lihat banyak yang berpasang-pasangan, tapi banyak juga ibu-ibu yang membawa anak.

Saat orang shalat tarawih di Masjid, barulah saya sampai di rumah. Ayah sudah menunggu di tepi jalan raya bersama anak buahnya. Saya pun pasrah dimarahi bahkan hampir digunduli. He he he. Saya sudah kelewat batas pulang soalnya.

Tapi, dalam hati saya kala itu, saya bertaubat dan bersyukur bisa sampai di rumah dengan selamat. Meski badan saya sakit dipukuli ayah, tak apalah. Syukur saya selamat. Sebab selama di luar saya sangat ngeri. Termasuk di mobil bus yang kami tumpangi.

Mungkin banyak gadis seusia saya kala itu yang tak selamat sampai di rumah. Bisa jadi dibawa teman cowok mereka raun ke sana ke mari atau menjadi korban pergaulan bebas. Yah, teman-teman saya kala kami SMP sudah banyak yang menikah muda.

Dari 60 orang kami kelas 6 di SD, hanya berdua kami sarjana. Selebihnya menikah di usia SMP dan SMA. Bila orangtua tak ketat seperti ayah saya, anak-anak mereka tak selamat dari pernikahan dini.

Akibat realita jelang Ramadhan itu, menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama tentang tradisi balimau dan marpangir ini. Sebab, banyak negatif daripada positifnya. Mereka bukannya menyucikan diri tapi malah berbuat kerusakan.

Meskipun menimbulkan pro dan kontra, di Padang, Pasaman, dan daerah lain di Sumatera Barat, Riau, dan Jambi tetap berlangsung balimau dan marpangir tiap tahunnya.

Mandi balimau biasanya digelar di Lubuk Minturun dan Lubuk Peraku untuk Kota Padang. Di Bendungan Sontang, Obom, Sumpu, Batang Petok untuk daerah Pasaman.

Seperti saya katakan di atas, jumlah pengunjung ribuan orang tiap tahunnya. Sayangnya balimau sekarang dimaknai dengan tamasya ke tempat-tempat pemandian. 

Muda-mudi menjadikan momen ini sebagai ajang hura-hura untuk berpacaran. Padahal, Ramadhan seharusnya disambut dengan kegembiraan, dengan memperbanyak amalan-amalan.

Puasa di bulan Sya'ban serta memperbanyak ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dan rasul-NYA, ya,  jangan sampai melanggar syariat dalam menyambut dan mengekspresikannya.

Apalagi dengan mandi-mandi secara berpasangan, selfie-selfie berpasangan dan membuka aurat. Inilah yang  tidak sesuai adat ataupun syarak, maupun agama Islam karena berdampak negatif terutama generasi muda, berupa pergaulan bebas. Hamil di luar nikah.

Balimau menjelang bulan Ramadhan, setiap tahun pengunjung datang ke Sungai Bangek rata rata 5000 orang. Tahun 2022 tercipta record khusus di Sungai Bangek karena 7448 orang pengunjung berasal dari berbagai daerah di Padang dan Luar Kota Padang yang datang ke sungai itu.

Selain Sungai Bangek, Kota Padang biasanya dari tahun ke tahun, ramai pada 12 titik lokasi untuk tradisi mandi balimau. Di antaranya, Lubuk Minturun, Pantai Padang, Pantai Aia Manih, Pantai Pasir Jambak, Lubuak Tampuruang, dan Lubuak Paraku.

Adapun di Pasaman Timur, dahulu mandi balimau ini dengan tradisi kental. Pakaian Pergi  Balimau diatur, sebagai berikut:

Pakaian Tadiri dari : Tangkuluak (selendang panjang) dari kain songket disilangkan di ateh kapalo (di atas kepala). Baju kuruang basiba beludu hitam batabua ameh (bertabur emas) jo baminsie (berhias) banang ameh. Kain saruang songket Silungkang.

Parhiasan : Dukuah (kalung), galang jo cincin. Tarompah (sendal) hitam batutuik (bertutup). Manjujuang (di atas kepala)
dulang (sejenis lesung/guci) tampek air limau (jeruk).

Sudah  menjadi tradisi di negari-negari yang  ada di Lubuak Sikapiang, saat akan mamasuki bulan puasa malakukan acara balimau diawali dengan berkumpulnya datuak-datuak dari nagari Pauah,  Durian Tinggi, semuanya berpakaian
adat.

Kemudian kadua datuk bertemu di depan masjid diawali dengan silek songsong. Sesudah silek songsong, Bundo Kanduang mamercikkan air limau kapada datuak-datuak, sanak saudara yang hadir sabagai ungkapan bahwa saatnya mamasuki bulan Ramadhan.

Kita harus balimau ya , membersihkan ya diri, batin, dan pakaian.

Pakaian Balimau Bundo Kanduang di Lubuk Sikaping Pasaman foto by disbud sumbarprov.go.id
Pakaian Balimau Bundo Kanduang di Lubuk Sikaping Pasaman foto by disbud sumbarprov.go.id

"Keta le marpangir!" Begitulah ajakan teman. Ayo mandi! Itu artinya. Mandi yang dilakukan jelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Berasal dari Sipirok, Sumatera Utara. Tujuannya mandi taubat menyambut bulan suci.

Mandi marpangir seperti saya sampaikan di atas memakai Pangir bukan shampo atau sabun mandi. Tetapi memakai pangir terdiri dari daun pandan, daun serai, bunga mawar, kenanga, jeruk purut, daun limau, akar wangi, dan bunga pinang.

Bila sedang mudah ditemukan, terkadang ada juga yang menambahkannya dengan akar kautsar dan embelu. Biasanya bahan ini ada di kampung kami. Tak membeli cukup meminta kepada tetangga. Dipulung bersama dan dikeringkan.

Ada tujuh macam dedaunan dan rempah di dalam pangir tambah jeruk purut. Bahan bakunya pun banyak dijual dengan harga murah dan sudah siap. Pasar-pasar tradisional sudah menjual pangir dan ada saat menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya saja.

Tradisi “marpangir” (mandi pakai sejenis jeruk purut) itu sebetulnya sudah lama di kenal oleh masyarakat Batak dan Tapanuli. 

Ya, hingga sekarang pun di daerah Sipirok tradisi marpangir masih dilakukan. Marpangir bahkan merupakan suatu ritual yang di umum dilakukan menjelang bulan puasa. Umat muslim akan mandi marpangir bersama di batang aek (sungai).

Marpangir: Foto by idhtimes.com
Marpangir: Foto by idhtimes.com

Semoga budaya yang baik itu akan kembali ke jati diri baiknya. Muda-mudi agar segera menyadari khilaf mereka. Mandi balimau dan marpangir bukan momen tamasya tapi momen bersyukur dan menyucikan diri karena masih bisa bertemu Ramadhan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun