Matahari sudah memperlihatkan senyum manisnya pagi itu. Ia sudah menebar kehangatan yang merata kepada penduduk di kota sejuk itu. Ya, semalaman hujan mengguyur kota itu. Tiap orang menggigil kedinginan. Jalanan pun tampak basah. Sebagian berkilau keemasan tertimpa berkas Si Raja Siang itu.
Tak heran memang bila ada pula yang menjuluki kota itu dengan julukan 'Kota Hujan' atau ' Kota Dingin.' Intensitas hujan memang tinggi di situ. Sore, malam, dan sesekali pagi hujan datang menyapa. Mungkin karena kota itu masih hijau dilngkari Bukit Barisan, Bukit Tui, dan berpeluk Gunung Marapi dan Singgalang.
Kota ini memang dingin hingga banyak orang tua santri di pesantren itu mengeluh. Sudah kelas 8, putra atau putri mereka masih ada saja yang pipis di kasur atau mengompol. Bahkan satu santri, sempat pipis di Masjid pondok.
Ketika itu santiri sedang mabit menunggu pergantian shalat dari ba'da Maghrib menuju Isha. Semua bingung dan heran, mengapa tiba-tiba bau pesing? Bukan bau pipis kucing. Tajam sekali baunya. Seperti pipis orang. Ternyata oh ternya, salah satu santri ngompol.Â
Semua menoleh kepadanya. Satu di antara kakak kelas membantunya beres-beres. Karpet masjid dibuka dan dibawa keluar. Ditemani ustadznya santri itu keluar masjid untuk membersihkan diri. Tak ada yang mengomentari. Seolah kejadian itu sudah biasa. Atau memang santri di sini sudah dibekali ilmu no bullying atau stop bully.
Pram mengamati itu semua. Pelan tapi pasti penyesalan hanya bersekolah sampai SD menderanya. Terbayang wajah gurunya di MTs Muhammadiyah. Teringat pesan mereka satu per satu ketika menasihatinya agar kembali sekolah.
Ketika itu egonya tinggi. Ia merasa tak butuh sekolah. Toh yang penting dalam hidup ini uang dan uang. Itu pikiran bodohnya kala itu. Ia bisa menghasilkan uang bila membantu Ko Taher.
Tapi, ia hanya menghabiskan uang bila sekolah. Mak dan Ayahnya, tiap pagi mengeluh uang tak ada tapi mereka memberinya jga.
Suatu hari abangnya, Ruli pulang dari Sidempuan. Ia bawa uang banyak sesuai hitung-hitungan Pram di usia itu. Diam-diam ia mengikuti abangnya ke Sidempuan. Di sana ia turut bekerja pada Ko Taher tempat abangnya bekerja, tanpa sepengetahuan abangnya Ruli.
Tugasnya membawa becak mengantar pesanan kedai-kedai agak ke dalam kampung. Ia pun dinasihati Ko Taher. Tiap hari Ko Taher menyuruhnya pulang dan sekolah. Bahkan Ko Taher menambah beban kerjanya harus mengerjakan tugas pelayan toko sesudah kembali dari mengantar pesanan.
Pram melakukan semua dengan enjoy. Ia tak pernah mengeluh meski pekerjaannya dua kali lipat lebih berat. Ko Taher pun menyerah. Ia pun membagi ilmu berdagangnya dengan Pram. Tak tanggung-tanggung, Ko membuka cabang toko untuknya. Setiap hari, ia musti setor dua kali lipat dari toko yang sudah lama berdiri.
Nasib mujur, Pram menyanggupi. Hingga ia bisa pula mengembalikan semua modal Ko Taher. Tentu saja kesuksesan itu mendapat sambutan hangat dari Ko Taher. Apalagi Pram tak bersedia mengklaim toko itu  menjadi miliknya. Ia tetap rendah hati menjadi orang gajian, Ko.
"Pram! Udah mau adzan. Ayuk berwudhu lagi," ajak salah satu ustadz di sana. Pram kaget kala itu dan langsung berdiri.
Subuh itu terakhir Pram di masjid itu. Sudah 6 bulan ia mondok bersama beberapa preman yang dikumpulkan ustadz Azam kakak kandung Ko Taher di pondoknya. Beliau sudah meminta Pram tinggal lebih lama. Tapi melihat Vella pagi itu, menyadarkan Pram bahwa ia tak boleh berlama-lama di situ.
Luka yang ditorehkan istri keduanya Tinuk perlahan pupus, manakala ia tahu bahwa Vella istri pertamanya telah tertipu di Kota BKL. Uang 1 M yang ia larikan ternyata tak bermanfaat baginya. Sekarang ia menjadi tukang masak di pondok itu.
Pram bertekad pada dirinya akan ikhlas melepas Tinuk istrinya dan anak dalam kandungan Tinuk. Toh itu anaknya. Selamanya. Kata ustadz Azam, anak itu akan mencari dirinya kelak. Begitu penjelasan pimpinan pondok itu.
"Ayo bung! Kita shalat." Lagi Ustadz Esa membuyarkan lamunannya di subuh terakhir itu.
"Hmmm--- " jawab Pram malu. Sudah dua kali ia tertangkap melamun. Tiba-tiba ia ingat Ayunda mantan kecilnya. Putri mamak (om)nya yang pintar itu. Â Ayunda hobi sekali melamun. Katanya lewat lamunan ia bisa mendapatkan jawaban PR, ia bisa bikin puisi, cerpen, dan mencoba bikin novel.
'Ah, sekarang Ayunda pula yang mengganggu imajinasinya. Busyet!' Pram tersenyum dan sedikit berlari mengejar ustadz Esa pagi itu.
Mereka pun bersama santri shalat sunah sebelum subuh dan dilanjutkan shalat sbuh berjamaah. Ustadz Esa tampil imam pagi yang sejuk itu. Suaranya merdu mendayu. Bunyi tangis berhamburan ketika ia melafalkan, Â wa ummihi wa abih --- sebagai bagian dari Surah Abasa.
Usai sarapan, Pram pamit dan menenteng tas besarnya. Ia pun menemui Tek Nurma (Tante Nurma), adik mama Vella.
"Tek, saya pulang. Maaf saya tak bisa menemui Vella. Tolong sampaikan kepadanya bahwa saya sudah memaafkannya. Tapi cuma sebatas memaafkan. Saya juga sudah mengurus akta perceraian kami. Dokumennya sudah ada di sini. Saya sudah menikah lagi, Tek. Sebentar lagi istri saya akan melahirkan."
Pram menyerahkan map di tangannya. Sejak menikah dengan Tinuk, ia senantiasa membawa dokumen itu ke mana saja. Berharap bertemu Vella mantan istrinya. Ternyata doanya kabul. Di kota sejuk nan damai ini ia dipertemukan tak sengaja dengan Vella.
"Pram! Mengapa kamu tak berikan langsung kepada Vella? Tek Nurma menerima map itu dengan tangan kanannya. Tangan kirinya mengusap air mata di pipinya. Ia tak menyangka Pram sudah memliki dokumen akta cerai. Ia masih berharap mereka rujuk.
Tapi Pram ternyata sudah menikah. Tak mungkin ia menyodorkan keponakannya itu lagi kepada Pram. Sedih hatinya semuda ini Vella sudah rusak. Apa mungkin Vella bernasib seperti dirinya, tak bersuami lagi karena berbuat salah dengan suami pertamanya.
Tek Nurma terpaksa merelakan saja Pram berlalu dari hadapannya. Lelaki itu melangkah pelan. Air matanya menganak sungai. Perih hatinya manakala mengingat Vella dan nasibnya.
"Tek! Ada apa?"
Nah, kan Vella sudah berdiri di sampingnya. Tek Nurma mengulurkan map itu sambil berlinang air mata. Ia menatap Vella. Vella membuka map itu. Iapun sama seperti Eteknya hanya bisa tersedu-sedu. Mereka berpelukan, suara tangis mereka terdengar  memilukan.
Jauh di lubuk hatinya, ia berharap Pram mau menerimanya kembali. Ia menafikan kesalahannya. Ternyata Pram meliriknya pun tidak. Lelaki itu malah menyodorkan akta cerai. Menyesal kemudian itu tiadalah berguna sekarang. Â Perih hati Vella atas penolakan Pram ini.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mujur Pram tak memenjarakannya. Ia hanya ditalak dan diceraikan tanpa mengungkit uang 1 M yang ia bawa kabur. "Tek, apa boleh aku mengejar, Pram?"
"Jangan Vella. Pram sudah menikah lagi. Istrinya akan melahirkan. Kamu sudah tak memilki kesempatan lagi, Nak." Tangis Tek Nurma bertambah pilu.
Vella terdiam. Bertambah ngilu di dada kirinya. Luka hati Vella kian parah ketika ia mendapati Pram akan memliki anak dengan istri keduanya. 'Duh,' keluhnya dalam hati, 'Serasa dunia tak adil padanya' bisik hatinya lagi.
Satu tahun ia bersama Pram, tapi tak hamil-hamil juga. 'Ya, Tuhan, apa aku mandul?' Bisik Vella semakin terluka. Bertambah berkali lipat luka Novella ketika Pram pamit untuk pulang.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H