Kidung curhatan anak lelakiku di saat pulang sekolah antara idealis dan sandiwara hidup yang belum bisa ia maknai.
Aku terbelenggu dalam skema asrama ketika guruku memerintahkanku remedi dengan mencari tugas temanku yang sudah lengkap tugasnya karena guruku katanya tak tahu tugasku yang belum lengkap apa saja dan sukses membuat mamaku heran atas pernyataan guruku itu.
Ikhlaslah nilaimu 77 kata guruku yang baru saja resmi diangkat menjadi wakil kesiswaan di sekolahku dan memintaku menyampaikan pesannya kepada mamaku agar tak menuntut lagi guruku yang memberi nilai 77 itu meski prosedur penetapan nilai di bawah KKM oleh guruku yang tak sesuai prosedur guru profesional kata mamaku.
Aku menatap nanar guruku yang baru saja menjabat sebagai orang kedua di sekolah impianku itu yang tak faham-faham mengapa mamaku menuntut guruku bahwa ia telah melecehkan hak remediku dan hak pelengkapan tugasku karena aku disuruh menyontek tugas temanku yang sudah lengkap dan aku tak bisa melakukannya atas nama naluri kejujuranku yang masih polos, idealis, dan takut dosa.
Semua orang disekolah itu menatapku aneh ketika aku mengemukakan alasan mamaku menuntut remedi nilai 77-ku menuju batas KKM 80 karena kurangnya profesionalisme guruku tak punya catatan di buku nilainya tentang tugasku yang tak lengkap dan keidealismeanku tak mau monyontek tugas temanku yang sudah selesai remedi.
Kata ayahku, " Nak, jika kamu berada di tengah orang gila dan hanya kamu yang waras sendirian, maka berpura-puralah kamu gila agar kamu tak dikerubungi orang gila itu. Perlahan ketika mereka telah lengah atasmu, sambil berpura-pura gila berjalanlah menjauh dari mereka dan selamatkanlah dirimu tanpa menimbulkan curiga di antara mereka."
"Ma, harusnya aku menyontek kala itu, meski aku sadar bahwa karakter di sekolahku 'budayakan jujur' hanya slogan mati tak bernyawa pemanis nilai akreditasi sekolahku agar meraih murid-murid yang baik yang awalnya idealis sepertiku namun perlahan harus berbaur dengan pepatah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung karena guruku telah lupa 'budaya haram menyontek' dan 'budaya jujur' di sekolah impian itu demi nilai 80.
"Nak, bersyukurlah kamu tak mengikuti perintah gurumu itu dengan tebusan nilai tak sesuai harapan mamamu karena dunia kerja dan pendidikan sejati tetap menunggu anak-anak idealis sepertimu meski kini engkau belum bisa ikhlas namun perlahan kita akan ikhlas dan keadilan biasanya berada di ujung penyesalan mereka ketika hal yang sama menimpa anak mereka."
Telah mama kisahkan sebuah cerita kepadamu dan kepada mereka tentang peristiwa yang pernah mama alami dulu ketika mama semuda gurumu itu mama pernah tergelincir memberi anak nilai di bawah KKM tanpa mama panggil orang tua si anak sehingga ia tak naik kelas dan harus pindah sekolah.
Peristiwa itulah yang mama takutkan kalau menimpa anak gurumu itu kelak meski ia berdiri katanya di atas kebenaran sudah menagih tugas itu kepadamu nyatanya qisas itu tetap kita tuai hari ini kamupun menerima perlakuan yang sama dengan gurumu karena itu mari kita beri maaf gurumu itu agar kelak anak-anaknya tak mengalami nasib sepertimu dan murid mama itu.
Berat memang memberi maaf tapi tahukah kamu, nak bahwa sahabat pertama yang masuk surga adalah sahabat yang setiap malam menjelang tidur menengadahkan tangan dengan khusuk sambil berkata, Robbi, hamba sudah memaafkan siapa saja yang sudah bersalah, menyakitiku, memarahiku, menganiayaku, dan mencelaku hari ini. Ampuni mereka dan kekhilafan mereka hari ini kepadaku, Robb."
Begitulah curhat anak dan mama di saat pulang sekolah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H