Ketika orangtua protes saat penerimaan rapor, kata wali atau pengasuh di asrama, pembimbing asrama tak ada urusan dengan sekolah anak. Anak yang harus menyelesaikan sendiri urusannya.
Hal ini bukan hanya menimpa siswa asrama sekolah saja. Tetapi merata untuk semua siswa yang tinggal di luar asrama. Lagi tanpa ada pesan WhatsApp, sms, selebaran, atau apalah kepada orangtua.
Artinya, guru pembimbing asrama, wali kelas, dan guru BK tak berfungsi di sekolah ini. Wali asrama hanya mengawasi anak di asrama. Wali kelas hanya membagikan rapor, dan guru BK?
Sudah benarkah sistem asrama dan sistem pengadaan pendidikan di sekolah ini?
Mari kita rujuk artikel bpmpntb.kemendikbud.go.id dalam rangka "Meningkatkan Kolaborasi Sekolah dan Orang Tua dalam Peningkatan Mutu Pendidikan" di sekolah.
Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah bukan hanya menandai perubahan dalam struktur pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga babak baru dalam tata kelola sektor pendidikan di tanah air agar bermutu.
Sebagai landasaan hukumnya bahwa perlu pelibatan peran masyarakat dalam pendidikan, terdapat dalam pasal 4 poin ke 6 Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.
Di sana ditegaskan bahwa pendidikan di Indonesia dan daerah diselenggarakan dengan memberdayakan komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Masyarakat dan orangtua menjadi kunci sukses desentralisasi pendidikan karena menjadi komponen penting usaha sekolah untuk meningkatkan mutu (Caldwell, 2005).Â
Lebih jauh Caldwell menegaskan tentang dua kiat bisa dilakukan sekolah dalam usaha meningkatkan outcome pendidikan melalui desentralisasi.
Pertama, melakukan capacity building