Ketika terjadi diskusipun, alasan guru memperlakukan demikian agar anak mandiri. Bisakah kemandirian terukur dan tercipta dengan sistematika di atas? Jiwa anak berontak tak mau menyontek sedang guru mengintruksikan menyontek.
Guru seharusnya punya arsip soal sesuai jumlah anak, arsip tugas di buku nilai, dan catatan nilai tugas, dan nilai remedi anak. Anehnya ketika bertemu dengan guru tersebut di ruang BK, bersama guru wali kelas dan BK, guru mengaku bahwa tak tahu tugas si anak yang belum ada, belum lengkap, dan tuntas.
"Manalah Ibu tahu tugasmu yang belum lengkap." Kata beliau.
Guru mengaku setiap bertemu dengan anak, guru bilang, "Mana tugasmu, nak?" Sedang anak sendirian pada jurusan IPS di asrama. Siswa pun berjenis kelamin laki-laki. Hp tak ada. Ke mana anak akan meminta dan bertanya. Lagi alasan guru biar anak mandiri.
Administrasi guru dipertanyakan dalam hal ini. Hal seperti inilah yang membuat hati hiba ketika wali kelas, guru BK, dan kepala sekolah tetap membela gurunya, bukannya berdiri di tengah mencermati apa kekurangan guru dan apa kekurangan siswa.
Kedelapan, kepala dan guru melanggar Permendikbud dengan membiarkan anak tak tuntas di rapor karena rapor permanent tak bisa diubah lagi.
Ketika rapor dibagikan berpuluhlah anak dan orang tua menyerbu wali kelas menanyakan nilai tak tuntas ini. Mirisnya di antara anak-anak tersebut ada yang sudah remedi dan ada yang belum remedi karena alasan pembiasan mandiri. Rapor diprin meski anak belum tuntas.
Sementara di sekolah setara baik SMA Negeri dan SMK Negeri di bawah Dinas Pendidikan yang samamasih berpola lama, sesuai kurikulum 2013, rapor belum diprin jika anak belum tuntas.
Tetap memberi anak kesempatan remedi dulu dan memanggil orang tua. Barulah rapor diprin. Al hasil banyaklah anak berapor tak tuntas termasuk anak saya.
Saat dikonfirmasi kepada pengawss sekolah dan kepala sekolah, dalam rapat kepsek menyampaikan, kalau masalah ini sudah di beri tahu ke cabdin, dan petunjuk cabdin adalah, Â masalah nilai menjadi wewenang guru bersangkutan, tanpa intervensi dari siapapun.
Solusi sekolah katanya, hanya mengejar nilai di semester 2. Misalnya anak saya harus mampu meraih nilai 83 minimal di semester 2 agar rerata  menjadi 80. Pertanyaannya, apakah rapor seperti itu tak masalah dibawa saat mendaftar di PerguruanTinggi?