Ini kedua kalinya aku menjejakkan kakiku di tanah tumpah darahku, Pasaman. Tak ada yang berubah sejak tiga tahun terakhir aku meninggalkanmu. Kini aku sudah duduk di semester 3 di fakultas pilihanku. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. FBS. Bahasa dan Sastra Indonesia.
Perlahan aku turun dari bus. Syukurlah aku tak menemukan Bou (Tante) atau Pram di depan rumahnya. Pintu rumah itu tertutup rapat. Sunyi dan merana. Sepertinya yang punya rumah sedang keluar. Mungkin Bou ke sawah atau ke kebun. Sebab hari masih pukul 14.30 ketika aku menoleh jam digital androidku.
Nyaman, aku melangkah menuju rumahku sekitar dua ratus meter dari jalan besar. Jalan menuju rumahku ternyata sudah beraspal. Baguslah berarti Udak (Bapak adik ayah) menang pada Pemilu lalu. Ia berjanji jika terpilih menjadi anggota DPRD, ia akan mengaspal jalan di kampung ini.
Dengan pengaspalan jalan tersebut, tentu memudahkan masyarakat berkendara ke sawah dan ke kebun mereka. Biasanya berjalan kaki, tapi sekarang mereka sudah memakai motor ke sawah dan ke kebun karena jalan sudah bagus.
Petani di kampungku berproduksi padi dan kopi. Aku kurang tahu jenis kopi apa itu. Yang jelas, kopi itu bila diblender berubah warna menjadi hitam kecoklatan. Wangi dan nikmat hingga kopi di kampungku sangatlah melegenda. Yah, mereka petani kopi makmur setiap panen.
Sekarang aku duduk di teras rumah. Ternyata rumahku pun kosong dan berkunci. Kemana semua orang akupun tak tahu. Biarlah. Aku duduk dulu menghilangkan penatku di bus tadi. Akupun mengeluarkan majalah dari tasku. Tadi, karena buru-buru aku belum sempat meminjam novel om Fredy S atau Tante Mira W.
Di dekat kampusku ternyata ada juga tempat penyewaan novel. Senang sekali, hobi bacaku masih bisa dilanjutkan. Hari ini aku baca majalah saja. Asyik baca majalah, seseorang menghampiriku. Mata kami bersiribok. Tubuhnya kurus, kecoklatan kulitnya, dan agak berdebu.
Aku menatap wajahnya. Darahku berdesir halus. Nafasku sesak manakala mata coklat itu menatapku sendu. Tatapan tiga, enam tahun lalu yang masih sama. Sendu dan medebarkan. Membuatku iba, merinding, dan serasa mau menangis. Mataku memanas.
Dagunya berjenggot tebal hingga ke telinganya seperti Brad Pitt. Yah, mereka memang mirip. Pram teman kecilku berkulit putih kemerahan. Bibir merah jambu. Gigi putih. Alis tebal dengan bulu mata lentik. Bola mata coklat dan rambut sedikit pirang kecoklatan. Dibiarkan panjang.
"Pram..." Panggilku grogi. Duh ternyata aku masih sama bodohnya seperti dulu-dulu. Masih saja grogi menatapnya dan berada di hadapannya.