Memiliki anak yang sukses tentu impian semua orangtua. Sukses di sekolah dasar, menuju sekolah menengah. Sukses sekolah menengah hingga perguruan tinggi, bekerja, dan berkeluarga. Itulah siklus sukses mereka di masa depan.
Bisa jadi sama rata dengan sukses orangtua atau lebih sukses dari orangtua mereka. Misalnya, orangtuanya seorang guru, anaknya menjadi pengusaha. Bisa juga orangtua pengusaha dengan satu perusahaan saja tapi anaknya bisa mengembangkan perusahaan beranak pinak.
Muncul cabang satu, dua, tiga, dan seterusnya. Apalagi jika usaha itu dikelola anak bertangan dingin maka semakin sukseslah usaha tersebut.
Sukses secara harfiah memiliki arti berhasil dalam berbagai aspek kehidupan. Dibilang sukses karena sebuah keberhasilan, terlepas dari apa pun keberhasilan itu. Beragam, tergantung dari sudut mana Anda memberi penilaian.
Sukses memang lebih kerap dikaitkan dengan kehidupan ekonomi dan sosial seorang seseorang. Masih berorientasi kepada kaya atau tajir. Rumah gedung bak istana, mobil banyak, deposito banyak, bahkan di kampung saya emas banyak juga ukuran sukses.
Ibu-ibu berlomba memperlihatkan status mereka. Terutama jika ada acara kawinan, akikahan, meninggal, atau keramaian lain. Mereka memakai kalung dua, satu pendek sesuai ukuran leher dan satu lagi panjang hingga dada berjuntai dengan liontin rupiah seperti medali.
Tangan kanan kiri pun memakai gelang emas dengan model rantai tebal. Tak ketinggalan empat jari. Masing-masing dua jari manis dan dua jari tengah tangan kanan kiri. Sudah mirip toko mas berjalan atau peragaan emas.
Ukuran sukses tentu bukan itu saja. Arti atau makna sukses setiap orang berbeda-beda. Ada yang memaknai sukses karena semua anaknya bersekolah di sekolah favorit. Bisa juga semua anaknya sudah bekerja dan menikah.
Tapi, pada hakikatnya sukses itu merupakan status yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai sesuatu. Baik sekolah, pekerjaan, percaya diri, menampilkan bakat, berani berdebat, berani tampil, dan berbagai aspek kehidupan dengan inti mandiri.
Sukses juga bisa menjadi status sosial tertentu yang menggambarkan kemakmuran atau mendapatkan ketenaran. Seperti artis, penulis, trainer atau ahli parenting, Master of Cremony (MC), dan model pekerjaan lain yang bisa kita maknai bahwa sukses seseorang, dia tak lagi menjadi beban dan tanggungan orangtua.
Sukses dapat juga disimpulkan, bukan hanya mengenai berapa banyak uang yang dimiliki anak kelak, seberapa tinggi jabatan atau popularitas anak kita, tetapi bagaimana anak kelak menyikapi bahwa hidup itu penuh rasa syukur, bahagia, dan mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri, orang lain, negara, dan agama.
Bagaima cara kita orangtua menyiapkan anak yang sukses seperti di atas? Sukses tak ada yang instan. Butuh proses, persiapan, dan latihan karena proses mencapai kesukseskan itu terkadang amat melelahkan. Jatuh bangun dengan derai air mata, marah, tersinggung, dan perlakuan buruk maupun perlakuan kasar.
Nah, untuk meraih sukses anak, orangtua harus menetapkan tujuan sukses lebih dulu. Tentukan sasaran yang ingin dicapai (cita-cita), bagaimana strategi terbaik mencapainya, dan langkah yang akan orangtua ambil jika mengalami kendala selama proses berlangsung.Â
Berikut 5 tips sederhana yang bisa orangtua terapkan sejak dini kepada anak agar sukses. Tips ini ada dalam keseharian kita orangtua. Kita hanya perlu menguatkan dan memvalidasinya saja pada pola pengasuhan anak di rumah.
Pertama, tanamkan konteks agama sejak dini kepada anak.Â
Mulailah dari ibadah-ibadah kecil, seperti berdoa setiap mengawali pekerjaan terutama membaca basmalah. Kemudian, ajak anak shalat tepat waktu. Jika adzan berkumandang tinggalkan pekerjaan, segera ajak anak berwudhu dan ajarkan shalat sunat sebelum shalat wajib.
Banyak pedagang menutup jualan mereka manakala mendengar adzan. Bersegera shalat karena sejatinya shalat itu di awal waktu. Di awal waktu agar orangtua-anak sempat shalat sunnah dulu. Misal, tahyatul masjid dan dua rakaat sebelum shalat wajib.
Agama dan ibadah-ibadahnya mengajari mereka sikap disiplin waktu. Mengajari anak sabar dalam menjalani hidup. Agama juga mendewasakan pengalaman batin mereka sehingga mereka tangguh jika kelak mendapati kendala dalam proses menuju sukses.
Kedua, tanamkan konsep rasa percaya diri kepada anak sejak dini
Percaya diri merupakan kemampuan anak untuk menyakinkan diri  sendiri bahwa ia miliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya dengan nilai positif baik untuk diri sendiri ataupun lingkungan sekitarnya.
Pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan atau kompetensi dalam dirinya yang dibawa sejak dalam rahim ibunya. Namun, tidak semua anak menyadari dan bisa menggunakan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga beberapa anak ada yang merasa tidak percaya dengan kemampuannya.
Beda dengan kemampuan Ayah Bunda, kemampuan sudah ada sejak dari rahim, tapi rasa percaya diri baru bisa muncul dan terbentuk dari proses sosialisasi yang dijalani oleh anak selama perjalanan hidupnya.Â
Rasa percaya diri terbentuk dari berbagai macam pengalaman anak yang terjadi pada saat berinteraksi sosial baik dengan Ayah Bunda di rumah, kakak-adik, Â lingkungan berupa tetangga, teman sebaya, dan rutinitas yang baru ataupun dengan yang lama.
Misalnya, anak diajak bersosialisasu shalat berjamaah ke masjid. Diajak ikut arisan komplek dan diminta membantu-bantu ngangkat minuman atau cemilan. Bisa juga dengan ikut serta kegiatan masjid berupa didikan subuh, gotong royong, dan menjadi panitia acara dimasjid.
Ketika mereka menggabungkan diri dalam rutinitas hidup bermasyarakat di atas, mereka mengasah kemampuan, bakat, belajar berbicara yang sopan dan santun dan pada akhirnya belajar mengukuhkan diri bahwa anak percaya diri.
Ketiga, tanamkan pada anak sejak dini bahwa pekerjaan rumah harus ia lakukan
Anak-anak yang dilibatkankan dalam pekerjaan rumah, kelak mereka akan menjadi karyawan yang mampu berkolaborasi dengan rekan kerjanya, lebih berempati kepada rekan kerja dan atasannya karena tahu secara langsung seperti apa perjuangan itu sejak dini, sehingga mampu melakukan tugas secara mandiri.
Mengajari anak pekerjaan rumah bisa memberi pelajaran hati-hati dalam bertindak. Misalnya Bunda membuat aturan cuci piring masing-masing sesudah makan. Ia akan membuang sampah makanan ke tong sampah tanpa tercecer. Berarti ia belajar menjaga kebersihan tempat kerjanya. Ia akan befhati-hati mencuci piring kesayangannya. Berarti ia belajar berhati-hati dalam bekerja dan belajar menjaga miliknya agar tidak pecah.
Sebelum menyuruh mereka melakukan pekerjaan rumah, jangan lupa untuk berdiskusi, sharing, dan membicarakan pembagian kerja sesuai umur mereka ya, Bunda agar anak merasa pekerjaan itu layak mereka kerjakan dan mereka senang melakukannya.
Keempat, Latih mereka menyampaikan peristiwa-peristiwa yang dialami seharian dan berjanjilah takkan menceritakan kepada siapapun.
Kegiatan ini harus rutin kita lakukan  kepada anak sejak dini. Latihan ini tanpa Ayah Bunda sadari sudah memberikan pelajaran berbicara, melatih menceritakan pengalaman sendiri, berani berbicara, dan menjadikan orangtua tempat utama curhat anak sejak dini.
Melatih kemampuan berbicara ini modal mereka kelak di sekolah formal saat terjadi tanya jawab dengan guru, saat belajar bahasa, menyelesaikan soal-soal berilustrasi panjang, berdiskusi, hingga menulis tugas-tugas.
Betapa banyak siswa saya di sekolah tak bisa berekspresi apalagi menyelesaikan tugas menulis mereka. Dari hampir 200 siswa di kelas saya, baru sekitar 15 orang siswa yang berani menulis di medsos dan kompasiana. Alasan mereka tak bisa mencapai 500 kata, tak ada ide, malu, hingga tak percaya diri.
Mereka kelak di Sekolah Menengah Atas, di Perguruan Tinggi, dan dunia kerja akan dituntut lebih banyak lagi menulis esay dan laporan berupa makalah, skripsi, hingga tesis jika mengambil S-2 , jurnal, proposal, rencana kerja, laporan bulanan, dan laporan tahunan saat bekerja.
Ilmu berbicara yang saya dapatkan ketika ada acara pidato Maulid Nabi, Isra Mi'raj, jadi MC pada acara didikan subuh di masjid ketika usia SD dan MDA sangat membantu ketika saya diminta menjadi ketua diskusi, MC seminar, MC Wisuda Kampus, dan MC acara di tempat kerja.
Beragam kritikan dan nasihat mengiringi perjalanan berbicara itu untuk menuju mantapnya percaya diri, jatuh bangun mental ketika menghadapi tamu undangan yang hadir. Sesuai acara tentu tamupun berbeda-beda. Setiap acara menimbulkan nervouse yang berbeda pula.
Terakhir, kelima, tempatkan anak sesuai pencapaiannya sejak dini.
Artinya, pujilah anak ketika ia benar dalam bertindak misalnya acungkan jempol sambil tersenyum. Peluk jika ia gagal atau salah. Perlihatkan pula wajah empati kita. Berkomentar jika ia sudah meminta.
Misalnya,"Duh, Bun, Aku gagal. Apakah aku ngecewain sekolah dan bunda?" Jika pernyataan seperti itu muncul dari dalam pikirin anak, beri ia pelukan. Usap bahunya atau punggungnya agar ia tenang. Perlahan beri pengertian yang logis kepadanya.
Ajak ia berdiskusi tentang hal yang dibicarakan. Misalnya, apa kelebihan lawan tandingnya. Mereka anak cerdas akan faham mengapa ia kalah dari lawannya. Mereka akan tuntas jika kita beri waktu untuk menjelaskan sebab-sebab mereka gagal. Diskusi ini mengajarkan mentalitas sportif sejak dini.
Ketika mereka mencuci piring, lalu pecah. Jangan marah. Ajak juga bicara. Bagaimana kronologi piring pecah. Mereka akan ingat selamanya sebab piring pecah karena sudah bercerita. Di masa datang mereka akan terampil mengkondisikan dan memperlakukan barang yang bisa pecah.
Semoga bermanfaat sahabat kompasiana. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H