Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mentalitas Orangtua Jelang Pendaftaran Sekolah Baru

11 Desember 2022   21:11 Diperbarui: 12 Desember 2022   18:46 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PPDB : viva.co.id

Tahun ajaran baru tinggal beberapa bulan lagi. Biasanya berkisar Juni dan Juli. Tapi ada juga sekolah atau pesantren yang memulai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada bulan Maret ini.

Jelang PPDB ini mulai berseliweran WA dari orangtua Siswa. Mereka tak segan meminta untuk memperbaiki nilai yang sudah final oleh guru semisal 80. Mereka ingin nilai tersebut diubah menjadi 90 guna mempersiapkan anak-anak PPDB pada sekolah impian mereka.

Kadang kala guru bingung mau memberi jawaban apa ketika hadir WA-WA tersebut. Biasanya, kalau saya dapat WA seperti itu, saya jawab bukan wewenang saya. Hal ini saya lempar saja kepada pihak pimpinan sekolah.

Entah berhasilkah mereka para orangtua ini melakukan perubahan atau tidak. Saya pun tak pernah mengikuti. Tentu tak ada asap jika tak ada api. Takkan ada permintaan jika tak ada peluang bukan?

Dalam hal perbaikan nilai di sekolah, dikenal dengan istilah remedial teaching. Program remedial adalah suatu kegiatan yang diberikan kepada siswa yang belum menguasai bahan pelajaran yang telah diberikan guru.

Program ini bermaksud mempertinggi penguasaan bahan ajar sehingga siswa diharapkan mampu mencapai tujuan belajar yang telah ditentukan. Program ini alat untuk mencapai ketuntasan belajar yang nantinya berdampak baik bagi prestasi belajar siswa.

Layanan remedial diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki prestasi belajarnya sehingga mencapai kriteria ketuntasan yang ditetapkan sekolah. Adapun kriteria ketuntasan ini berbeda-beda tiap sekolah. Ada 70, 75, dan 80.

Nah, ketika anak remedial, sudah tuntas mendapatkan nilai sesuai kriteria ketuntasan sekolah, misalnya 80, ternyata masih saja belum memadai bagi orangtua. Orangtua menginginkan menjadi 90. Inilah mentalitas orangtua jelang pendaftaran sekolah.

Mentalitas orangtua itu merupakan cara berpikir orangtua yang menganggap nilai tinggi sebagai faktor utama masuk sekolah. Ini mentalitas yang salah dan perlu diluruskan.

Bahwa nilai tinggi bukan satu-satunya penentu anak diterima di sekolah favorit. Tapi masih ada jalur prestasi dan jalur tahfizh Al Quran. Jika ada jalan lurus mengapa harus memilih jalan bengkok?

Tak ada sekolah formal harus mutlak didapat. Jika syarat menuju ke sana tak terpenuhi mengapa harus dipaksakan. Sekolah bukan masalah gengsi dan prestise. Tujuan utama sekolah adalah membuat anak menjadi pribadi yang baik dan bahagia.

Ilustrasi PPDB : viva.co.id
Ilustrasi PPDB : viva.co.id

Seringkali mentalitas orangtua ingin menjadikan anak sukses dan berhasil ternyata malah jadi bumerang dengan memaksakan mereka di sebuah sekolah tertentu. Jangan sampai niat baik membuat luka pada diri anak secara mental dan dampaknya jangka panjang, atau seumur hidup mereka.

Mentalitas apa saja yang membuat anak berbahaya di masa depannya akibat mentalitas orangtuanya dalam memilih sekolah? Mentalitas ini perlu orangtua ubah dan tinggalkan.

Pertama, Berusaha Mengabulkan Semua Keinginan Anak

Orangtua mana yang tak senang melihat anak tertawa, girang, dengan jajanan, dan gadget baru, semua orangtua ingin ini. Tapi hal itu sebenarnya semu. Tak semua keinginan mereka bisa orangtua penuhi.

Orangtua memiliki keterbatasan kemampuan, umur, dan uang untuk memenuhi kebutuhan anak seumur hidup mereka. Maka ajari anak untuk menemukan kebahagiaannya sendiri. Biarkan ia memilih sekolah impiannya. Biarkan ia berusaha mencapainya.

Orangtua hanya sebagai pengawas, penyedia fasilitas, dan mengevaluasi sambil mengarahkan kepada yang baik dan benar. Baik dan benar tentu sesuai kaidah norma agama dan hukum.

Orangtua tidak akan pernah bisa memaksa seorang anak untuk bahagia dengan segala yang orangtus berikan. Jadi tak perlu selalu berusaha untuk mengabulkan keinginan anak.

Hal yang paling dibutuhkan anak adalah orangtua selalu ada di saat mereka bahagia maupun sedih terutama di titik terendah pencapaian mereka.

Kedua, Membuat Anak Terlena dalam Manja

Banyak orangtua yang tak percaya bahwa perhatian orangtua akan membuat anak-anak bebas masalah. Mereka akan tumbuh dengan optimis. Justru sikap melenakan anak dan memanjakan anak akan membuat mereka tak percaya diri.

Hal ini akan membuat anak lamban merespon dan lamban mengambil keputusan. Tak sepenuhnya tepat memanjakan anak, karena bisa jadi anak sangat ketergantungan dan mental  tak berani mengungkapkan masalah. 

Kondisi ini bisa mengkondisikan psikologi tak stabil karena ia tak punya waktu sendiri yang cukup dan waktu untuk bereksperimen. Kadang anak belajar menjadi baik dari kesalahannya sendiri.

Ketiga, Tidak Berdiskusi dengan Anak

Sangat mudah melakukan  pengawasan kepada anak dalam mendorong kesuksesan dan membuat anak-anak menjadi lebih baik. Asal orangtua rajin berdiskusi dengan mereka.

Mereka yang dibesarkan dengan cara ini untuk mencapai kesempurnaan dalam segala hal mulai dari penampilan, kesukaan, olahraga, kecerdasan, atau apa saja bisa jadi pribadi yang percaya diri.

Tapi jika sebaliknya sikap orangtua memonopoli dan tidak berdiskusi dengan anak, ketika kesalahan terjadi, mereka merasa tidak berharga sebagai manusia dan menjadi sangat marah sehingga dalam beberapa kasus mereka akan melukai diri sendiri.

Bolos sekolah, melawan kepada guru dengan jiwa berontak, bahkan sampai bunuh diri karena frustasi. Ada beberapa siswa ketika ditanya mengapa tak semangat. Jawaban mereka ringan saja, "Saya tak ingin sekolah di sini. Orangtua yang memaksa."

Keempat, Memilih Sekolah Demi Atasi Kesulitan Anak di Rumah

Orangtua sering menyadari kesulitan dan kelemahan anak. Ini cenderung dijadikan dasar memilih sekolah anak. Atas anggapan dasar bahwa sekolah mampu mengatasi kesulitan dan kelemahan anak di rumah. Tujuan seperti ini, berpotensi membuat anak stres sebab ada tekanan-tekanan atau target yang tidak realistis.

Memilih sekolah anak sebaiknya berdasarkan potensi atau kelebihan yang dipunyai anak. Anak pun mudah mengikuti proses pembelajaran yang berlangsung. Ia senang belajar dan tumbuh motivasi berprestasi dari dalam diri mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun