Sudah tiga hari Kak Eni tukang cuci kain kotor keluarga Mahrani tak datang-datang. Biasanya ia sering lewat menjajakan susu murni ke komplek tempat tinggal mereka.
"Susu murni. Susu murni." Begitu ia menjajakan susu itu. Biasanya Mahrani suka membeli susu itu sebungkus atau dua bungkus untuk suaminya.
Tapi hingga hari ketiga ini beliau tak datang-datang menjajakan susu. Atau mungkin ia sakit? Begitu tanya hati Mahrani. Kain kotor sudah menumpuk setinggi langit.
Akhirnya Mahrani memutuskan pergi ke toko elektronik. Lebih baik ia mengkredit satu unit mesin cuci kecil. Susah juga menggantungkan harapan mencuci pakaian kepada seseorang. Mana sekarang sedang bulan berakhiran ber-ber. Anak-anaknya butuh celana banyak. Dingin. Tiap sebentar mereka pipis.
Di kota mereka tinggal ini, intensitas hujan memang tinggi. Mungkin karena hutannya masih terjaga. Gunung Merapi, Gunung Singgalang, dan Bukit Barisan penyumbang awan berpotensi hujan untuk kota mereka.
Kota ini memang banyak julukan. Ada yang memberi julukan Kota Pendidikan karena banyaknya pesantren di kota ini. Ada yang menyebut Kota Serambi Mekkah karena kuatnya agama di sini. Ada pula menyebut Kota Hujan karena curah hujan yang tinggi.
"Bang, mau nengok mesin cuci, yang kecil aja, Bang. 7 kg." Tegur Mahrani pada penjual barang elektronik.
"Silahkan mba. Ini." Kata pemilik toko mengarahkan kepada deretan mesin cuci.
" DP berapa, ini, Bang?" Tanyanya.
" Bisa 200 ribu mba, angsuran 275 ribu sebulan selama 12 bulan.
"Oke, Bang, saya ambil ini.Tolong diantar ya, Bang!" Pintanya.
Mahranipun keluar dari toko setelah transaksi. Sekarang ia menuju ke pasar sayur. Ia akan membeli sayur bayam untuk si kecil.
Hari ini hari pasar. Berbaris-barislah mak-mak penjual sayur, ikan, beras, tahu, hingga telur, dan aneka snack ringan. Matanya tertuju pada penjual beras. Ia menghampirinya.
"Kak Eni!" Tegurnya.
"Eh, Bu Mahrani. Maaf saya belum bisa mengembalikan pinjamannya. Baru panen memang. Tapi cuma pas buat makan sekeluarga." Jelasnya.
"Lo, Kak Eni sekarang jual beras? Tak jual susu lagi? Kok tak datang nyuci kain ke rumah?" Mahrani mengajukan tiga pertanyaan sekaligus.
"He he he, maaf Bu tak sempat." Jawabnya ringan. " Ibu mau bawa beras?" Tanyanya balik.
"Tak usah,Kak. Kami dapat beras dari kantor Abang," jelasnya.
Berbasa-basi sesaat, iapun beranjak pergi. 'Duh untung aku sudah pesan mesin cuci,' bisik hati Mahrani.
Mudah sekali bagi Kak Eni memutus hubungan kerja tanpa meminta izin atau pamit. Terasa iba hatinya.
Memang, sejak Kak Eni meminjam emas dengan berat 1,25 gram, ia berubah. Rada malas bekerja. Menjual susupun sesekali.
Waktu itu ia datang mengadu, anaknya akan masuk SMP, tapi uang untuk mendaftar dan membeli seragam tak ada. Mahranipun iba. Ia meminjamkan cincin si kecil.
Kata Kak Eni sampai ia panen padi dari sawah. Tapi, sudah berbulan-bulan panen tak kunjung tiba. Malah sekarang Kak Eni memutus kerja membantu menyuci pakaian.
Sejak perjumpaan mereka di pasar sayur itu, Mahrani sudah tak pernah berjumpa lagi. Sudah berpuluh tahun. Sudah malas menagih hutangnya.
Hingga suatu hari Mahrani menemani suaminya berobat ke Rumah Sakit. Sudah sebulan, batuk suaminya tak juga berkurang. Batuk kering yang aneh. Menurunkan nafsu makan.
Di parkiran, Mahrani tak sengaja bertemu Kak Eni. "Eh, ada Kak Eni? Ngapain, Kak?" Tanyanya.
"Itu pondok Kak Eni, Bu. Kak Eni jualan." Tunjuknya. Nampaklah kedai sederhana berisi makanan seperti ampera Padang. Yah, memang layak disebut pondok kedainya. Mirip kedai kopi.
"Oh Syukurlah. Berarti hidup Kak udah bagus sekarang, " kata Mahrani.
""Iya, Bu. Anak Kak sudah bekerja di Kantor Pajak Padang." Jelasnya.
Mahrani melirik leher Kak Eni. Ia memakai emas, kalung dengan model rantai medan. Dengan mainan kalung berbatu merah maron. Tangannya juga memakai rantai emas. Dua jari manisnya memakai cincin yang tebal-tebal pula.
Duh, ternyata dia kaya bisik hati Mahrani.
"Sehat, Kak? Udah makmur nampaknya," canda Mahrani.
"Ini, Kak baru siap operasi kanker payudara." Jelasnya.
Hah, dada Kak Eni terlihat datar. Tak terperhatikan tadi olehnya. "Keduanya diangkat, Kak?" Tanya Mahrani.
Ia pikir dada Kak Eni datar karena faktor usia. Mulai jelita misalnya. Jelang lima puluh tahun (Jelita).
"Iya, keduanya diangkat."
Mungkinkah Kak Eni menderita kanker payudara karena tak jujur membayar hutang?
Pada tubuh manusia ada segumpal darah bernama hati. Darah terbentuk dari makanan yang kita makan. Jika makanan yang dimakan baik dan halal maka baik pulalah segumpal darah bernama hati.
Jika sebaliknya sumber makanan yang dimakan tidak baik dan tidak halal maka tidak baik pulalah segumpal darah bernama hati. Akan banyak penyakit yang menggerogoti tubuh karena hati sumber sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H