Kecelakaan Mahasiswa UI Harus Diusut Tuntas Meski Penabrak Pensiunan Polisi. Begitulah bunyi salah satu berita di surat kabar.Â
Miris membacanya. Mengapa harus ada usut-usutan. Bukankah penabrak sudah diketahui orangnya. Tentu tinggal memilih jalur damaikah atau jalur hukum.
Mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak begitulah kata pepatah Minang. Artinya, bahagia atau untung tak bisa diraih dan sengsara, rugi, atau kemalangan (kematian atau musibah) tak dapat dihindari.
Semua takdir dan putusan Allah. Penabrak tentulah merasa serba salah. Pernyataan maafpun kadang tak bisa terucap. Lidah kelu dan merasa bersalah.
Apalagi jika mobil pinjaman pula dan uang di saku tak ada buat ganti rugi. Menabrak otomatis mobil rusak dan harus ganti rugi. Mumet tentunya otak si penabrak sehingga kadang terlihat seperti tak merasa bersalah.
Demikian pula kita pihak keluarga yang ditabrak. Sedih, frustasi, trauma, kehilangan, iba hati, dan beragam rasa dirasakan oleh mom, dady, kakak, adik, tante, om, dan keluarga besar.
Andai halal membalas menabrak tentulah kita ingin pula menabrak si penabrak. Emosi membuncah karena orang yang disayang telah pergi selamanya dan takkan kembali lagi.
Ikhlas tentu itu kata kuncinya. Karena, meskipun kita melakukan hal yang sama kepada si penabrak, kita tabrak dan meninggal, toh tak mengembalikan yang telah tiada.
Tak jarang, korban tabrak dan penabrak setelah kejadian seperti ini malah menjadi sebuah keluarga. Mereka menjadi saudara angkat. Saling memberi dan saling berbagi. Sakit pasti atas kehilangan apalagi dengan cara tragis, kecelakaan.
Namun, kita musti melanjutkan hidup bagi yang ditinggal. Setiap yang bernyawa akan kembali kepada khaliknya. Beragam cara kembalinya. Ada yang sedang shalat, membaca Al-Quran, hingga kecelakaan.