Saat aku lewat di dekat GOR Bancah Laweh, Padang Panjang. Aku melihat salah seorang putra kakakku yang masih duduk di SMA, berboncengan dengan cewek. Mereka berdua berseragam sama, SMA.
Mepet cewek itu duduk padanya. Entah dilingkarkan tangannya ke pinggang Putra entah tidak, kurang jelas saat itu. Mereka berdua tertawa lepas di atas motor itu. Bahagia sekali kelihatannya.
Darahku berdesir. Bersamaan jantugkupun memompa kencang. Berdenyut ngilu. Hati tiba-tiba hampa. Entah perasaan apa ini. Aku menarik nafas dari hidung, menahannya di perut, lalu kuhempaskan kuat melalui mulut.
Cemburukah aku melihatnya membonceng cewek? Kurasa ya. Ya cemburu. Aku cemburu, bukan kesal, apalagi marah. Ada semacam perasaan tak rela. Mengapa? Aku juga tak tahu. Namun, hingga sekarang masih kebayang.
Itulah perasaan pertamaku manakala melihat anak yang kami sayangi sudah bisa membonceng cewek dengan mesra sambil tertawa lepas di atas motor pembelian kami. Terasa ngilu, perih, berdesir, dan tak rela. Lagi aku tak mengerti perasaan ini.
Seiring waktu, adik laki-lakikupun menikah. Seharusnya aku dan mamaku berbahagia. Kebetulan, ayah kami sudah tiada.
Namun, aku dan mamaku, merasakan hal berbeda. Kami banyak diam. Kami tak bahagia. Untung keluarga yang membantu banyak. Meski kami uring-uringan, selesai juga semua.
Di sinilah aku baru bisa menarik kesimpulan bahwa aku tak rela putra kakakku membonceng cewek karena 'takut'. Takut berpisah.
Ternyata benar, puber, pacaran, dan menikah adalah peristiwa alam menakutkan yang memisahkan secara alami antara ibu dengan putranya, ayah dengan putrinya, kakak dengan adik-adiknya, dan adik-adik dengan kakak-kakaknya.
Perpisahan dalam artian, anak remaja, dewasa, dan akhirnya membangun kehidupan sendiri. Pacaran lalu menikah dan hidup bersama istrinya. Kemudian punya anak dan lupa dengan mama, kakak, dan adiknya. Sibuk dengan keluarga barunya.
Betul, jika anak sudah puber, sinyal bagi Ayah Bunda akan ada perpisahan. Minimal karakter anak yang biasa manja dan senang berceloteh berubah pendiam. Tak jarang membuat Ayah Bunda bertanya, kok anak saya berubah? Dulu ceria sekarang pendiam.
Atau sebaliknya, dulu anak saya suka mengurug diri di rumah, kenapa sekarang suka keluar rumah? Sebetulnya ia diam karena sedang berperang antara pikiran, logika, emosi, dan perasaan. Sebaliknya ia senang keluar rumah karena ada sesuatu yang menarik di luar.
Apalagi jika orang tua kiler atau otoriter. Membuat anak merasa takut mencurahkan isi hati bahwa ia telah menyukai seseorang. Di sekolah guru melarang pacaran, di rumahpun diberi tekanan, "Awas, ya. Jangan sampai ayah dengar kamu pacaran. Ayah kurung kamu di rumah."
Wow, serem! Sementara teman sekitarnya dengan bangga bercerita punya pacar. Dengan teman sekelas, dengan anak luar sekolah, dengan anak SMA, SMK, bahkan ada dengan sopir angkot atau stokar bus. Biar ongkos perai.
Anak beranjak remaja, jangan heran bila anak mengatakan bahwa dirinya telah mendapatkan pacar pertamanya. Pada usia remaja, mereka mulai tertarik kepada orang lain, mengalami apa yang biasa disebut dengan puppy love atau cinta monyet.
Sebetulnya anak mulai tertarik kepada orang lain di usia yang sangat muda, saat gadis kecilku di PAUD. Ia menyukai salah satu cowok di PAUD-nya. Ketika menjemput, sepanjang jalan pulang, ia berceloteh bagaimana mereka menghabiskan waktu di PAUD.
Bila cowok itu sakit, ia bisa menangis saat bercerita. "Tak enak di sekolah Bunda, Fadhil gak ada," celotehnya. Air matanya menetes. Begitupun saat mereka harus berpisah karena akan masuk TK. Ia menangis karena beda TK.
Rasa "suka" akan serius terjadi saat anak menginjak usia pubertas. 9-10 tahun, dan mendapatkan pacar pertamanya pada usia 12-13 tahun. Ini tak mutlak dihadapi semua anak. Tergantung lingkungan sekolah dan temannya.
Hanya saja pada usia ini, ia sudah mulai bertanya-tanya kepada Ayah Bunda. Pacaran itu apa? Bolehkah pacaran. Bagaimana pacaran yang sehat. Seharusnya, pacaran atau tidak pacaran, Bun?
Tujuh tips berikut mungkin dapat membantu orangtua menghadapi anak remaja yang mengalami cinta pertama, agar kita selaku mama tidak cemburu dan dapat bersahabat dengan perasaan kita dan anak.
Pertama, Sadarilah, anak akan mengalami perasaan tertarik kepada seseorang ketika mereka memasuki masa pubertas, alami dan normal. Hormon androgen dan testosterone anak muncul. Anak laki-laki akan lebih tertarik pada fisik perempuan “sex appeal”, sementara anak perempuan lebih fokus pada aspek pertemanan.
Kedua, miliki sikap dan pandangan. Jika ada perbedaan, Ayah melarang pacaran sebaliknya Ibu mempebolehkan, maka bicarakan dengan baik samakan pendapat.
Ayah yang melarang pacaran berikan penjelasan kepada anak, alasan melarang dan mama sebaiknya mengikuti suami sehingga anak tidak pro kontra. Perkuatlah nasihat suami bahwa sekolah dan agamapun melarang pacaran.
Ketiga, naksir pada lawan jenis boleh, tapi baru sebatas boleh. Berteman saja dulu. Ketika anak bertanya bolehkah pacaran, beri ia pengertian, bahwa usianya masih kecil. Ia baru remaja yang butuh pendidikan dan konsentrasi belajar.
Keempat, sampaikan bahwa pacaran akan membuat fokusnya terbagi. Antara belajar dan memikirkan si dia. Otomatis fokus belajarlah yang menjadi korbannya. Juara bukanlah utama, namun menyelesaikan sekolah hingga lulus utama.
Pacaran memang ada sisi positifnya, mempunyai keberanian untuk belajar membangun hubungan, belajar membangun sikap percaya diri, belajar bersikap tegas (assertive), belajar memegang komitmen, berkompromi, menghargai perbedaan, belajar untuk menjadi lebih baik, dan saling mendukung, tapi belum saatnya.
Kelima, sekolah, kuliah, dan bekerja adalah hal utama dalam hidupnya. Ketika ia sudah bekerja, ia bisa menjemput kembali masa lalunya. Ia boleh dijodohkan dengan lelaki yang sudah ditaksirnya jika kita punya anak cewek dan sebaliknya jika kita punya anak cowok, bisa pula dijodohkan dengan cewek yang ditaksirnya.
Keenam, Beri pengertian agar putra atau putri kita memonitor tindak tanduk cewek atau cowok yang mereka taksir. Jika selama menuntut pendidikan ada kebaikan pada cowok atau cewek yang mereka taksir mungkin mereka berjodoh. Namun, jika terlihat tindak-tanduk amoral, berarti ia tak terbaik.
Selama belajar, mama ajaklah mereks dialog dan melakukan review tentang sosok yang mereka taksir, dengarkan aduannya.
Selama ia menyukai sosok itu, akan ada cerita mengalir tiap hari. Bisa sedih ketika ia menemukan sosok itu menyukai gadis lain.
Bisa gembira karena sosok itu masih pedekate saja. Memberikan coklat atau hadiah-hadiah kecil. Mama beri pengertian, hadiah itu layak diterima atau tidak. Jangan biarkan hadiah-hadiah itu membuatnya merasa termakan budi sehingga harus ada balas jasa.
Ketujuh, sebaiknya kembalikan saja coklat dan hadiah-hadiah darinya. Belum hak anak menerima. Belum ada ikatan saling nafkah menafkahi karena belum suami istri. Lagipun, hadiah itu dibeli dengan uang papa-mamanya, bukan hasil keringatnya. Sabar ya Bun menyimak ceritanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H