Hai burung gereja.  Selamat pagi jelang siang. Kapan kamu bisa bicara seperti beo. Kamu cuma  bisa mencicit, tapi aku yakin kok kamu bisa mendengar suaraku. Aku boleh menatapmukan?
Sebetulnya aku ingin mengelusmu menyalurkan naluri sayangku. Seperti aku membelai si meong. Tapi setiap pagi kuamati, kamu mirip merpati. Jinak-jinak merpati. Jika aku dekati lari, aku cueki malah mendekat.
Biarlah aku amati saja kurenahmu dari pintu ini dengan kuyu. Sambil bersandar di pintu ini. Aku kuyu karena aku tiba-tiba didera rindu. Pernah tidak kamu rindu? Rindu sekolah lamaku. Sekolah impianku bersama mereka sahabat impian.
Di sana  banyak teman yang baik padaku. Mungkin aku juga rindu mereka. Bukan rindu sekolahnya saja. Tapi juga rindu penghuni sekolah itu. Sahabat impianku dan guruku.
Ada Lala, Pinky, Â Amel, Vivin, Ica, Caca,Yaya, Indah, Tiara, Yola, Hanya, Lona, dan Zika. Mereka teman cewekku. Adik kelasku juga.
Mereka teman yang jujur, dapat dipercaya, bisa diandalkan, setia kawan, saling menghormati, dan memiliki empati terhadap orang lain.
Mereka pendengar yang baik, suportif dalam suka dan duka, percaya dengan kemampuan orang lain, bisa menerima kondisi teman apa adanya, tidak suka menghakimi orang lain apalagi menghujat, dan mereka sahabat yang bisa memberikan kenyamanan saat berada di dekat mereka.
Persahabatan kami sehat, membawa kebahagiaan untuk semua. Aku tidak pernah merasa terbebani berada di dalam hubungan kami. Tidak merasa kesepian di dekat mereka karena mereka rame. Ada saja lelucon mereka.Â
Tidak seperti sekarang, sepi. Meski dari rumah tetangga ada musik. Di depan ada Ni Yati yang rame meninggkahi ulah anak-anaknya. Di dekat mereka aku
tidak akan terisolasi secara sosial seperti di kelasku saat itu.
Kalian masih ingat peristiwa itu kan? Aku ingin mengambil karet gelang yang sudah dirakit panjang. Kita ingin bermain tali. Akupun mengambil karet itu dari tas. Nahas, terburu-buru dan berbalik, aku menabrak Eri teman sekelasku. Fisikku mungkin lebih keras darinya. Ia terjungkal kala itu.