Saya berkunjung ke sekolah ber-asrama anak saya nomor dua, duduk di kelas XI SMA. Saya dibuatnya termenung. Bulan kemarin Top Ten, Ma urainya pelan. Tentu ada rasa takut saya akan marah.
Top Ten istilah mereka di asrama untuk 10 siswa yang melakukan pelanggaran tertinggi dengan poin sekian-sekian. Poin-poin ini dijumlahkan pada akhir bulan lalu diurutkan dari tertinggi  hingga terendah, lahirlah 10 siswa terbanyak poin pelanggaran sesuai peraturan berlaku di asramanya.
Susah bangun pagi, tak ke masjid subuh merupakan poin penghias pelanggarannya. Ketika Top Ten diraih sebagai peringkat satu untuk beberapa bulan, terancam keluar asrama katanya kala itu.
Inilah aduannya kepada saya selaku ibunya yang akan menampungnya kembali jika dikeluarkan dari asrama. Diskusi tepatnya ia dan saya. Meski hati ini perih, kecewa, dan cemas tapi saya tetap tersenyum. Sayapun mengajukan pertanyaan yang entah menyinggungnya atau tidak.Â
Disengaja Top Ten atau memang tak bangun? Ia hanya tersenyum tipis. Saya faham betul watak anak saya ini. Generasi Z yang terkenal banyak akal sejak kecil. "Sayang uang Ma, buang-buang uang di sini. Makan sekian kali sambal ikan dalam seminggu dan pembimbing tak membimbing dengan baik. Malah tak ada perhatian."
"Coba mama hitung, sambal ikan 3 kali seminggu. 30 ribu per hari X 3 = 90 ribu seminggu X 4 Minggu= 360 ribu uang + uang kegiatan asrama 125 ribu. Jadi, 485 ribu terbuang percuma karena ia tak makan ikan. Selain takut alergi, ia breaksi muntah selesai mengonsumsi ikan.
Uang kegiatan asrama 125 ribu tetapi ustadz-ustadznya membangunkan anak hitung-hitungan. Lanjutnya mencurahkan semua isi hatinya dan uneg-unegnya. Saya pun mendengar penuh antusias. Masuk akal sehat saya ceritanya karena alasan kami memasukkannya ke sekolah ber-asrama memang karena ia susah bangun pagi di rumah, pertama.
Saya ingin ia mandiri bangun tidur makanya usul masuk asrama. Kedua, sekolah tempatnya sekolah, memiliki disiplin satpam yang bagus menjaga gerbang sekolah hingga tak ada pilihan mereka berkeliaran jam sekolah. Artinya, meskipun mereka cabut, hanya cabut belajar beberapa menit.
Ketiga, menyiasati sistem PPDB zonasi. Sekolahnya berada saat ini bukan zonasi tempat kami tinggal meskipun sekolah ini paling dekat ke kompleks kami dibanding SMA yang menjadi zonasi kami.
Untuk bisa masuk ke sekolah ini harus bersiasat melalui jalur asrama. Itulah alasan kami ia bersekolah di sini dan tinggal di asrama. Kalau untuk mutu dan kualitas sebetulnya, semua sekolah di kota kami berkualitas dan baik tetapi penjagaan satpam ketat, sekolah ini nomor satu. He he he.