Namun, Kak Rifki tetap memberi penenang. Sabar dikit lagi. Begitu terus ia gumamkan tanpa ditanya oleh mereka. Rina, Kak Rifki, dan teman-teman Kak Rifki memang tenang saja. Seolah sudah sering menuju lokasi ini.
Di ujung kekesalan Dini dan teman sekelasnya, mereka pun sampai di depan bukit itu. Â Mereka terus berjalan hingga sampai di depan pondok. Mendengar ada orang ramai si ibu dan empat anaknya pun keluar. Mereka terlihat cemas.
Rina pun segera maju, "Maaf Bu, adek-adek. Rina dan teman-teman berkunjung. Rina dan teman-teman janji gak akan menyebarkan jika ibu dan adek tinggal di sini. Janji semua?" Tanya Rina.
Siswa berjumlah hampir 25 orang itu mengangguk dan mengeluarkan kelingking mereka.Â
"Uang teman-teman, aku kasih ke Ibu ini. Tiap pulang sekolah aku memberikan uang kalian sama Ibu ini. Din, kamu masih ingat ibu ini juga menang undian di Mall. Beliau dapat giliran terakhir nomor lima. Makanya aku pilih nominal belanja terkecil. Maaf juga, aku mempermainkan kalian. Pura-pura bodoh memilih uang kalian nominal kecil. "
"Biar kami tiap hari becandain kamu, Rin?" Tanya Dini polos.
Rina mengangguk. Pasrah. ***
Akhir kisahnya, Ayah Dini yang punya usaha rumah kontarakan membawa si Ibu dan keempat anaknya ke salah satu kontrakan mereka. Wali nagari mengizinkan si Ibu membuka ladang di tepi-tepi hutan. Ayah Kak Rifki bersedekah satu unit  motor bekas untuk transport si ibu bekerja.
Adapun Kak Navis teman Kak Rifki, orang tuanya memberi pekerjaan kepada si ibu menjadi karyawan di toko P dan D mereka. Tugas si Ibu membungkus gula pasir dan minyak goreng. Anak-anak beliau pun kembali bersekolah. Wah, bahagianya berbagi***
Salam literasi dari Yusriana, S.Pd.